Kamis, September 20, 2007

AYAT - AYAT CINTA [bagian kedua - tamat]




Ayat Ayat Cinta


"Novel Pembangun Jiwa"


Karya
Habiburrahman El Shirazi
Alumnus Universitas Al Azhar, Cairo








26. Ayat Ayat Cinta

Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku nyaris tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa disiksapun musim dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat menyiksa. Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki hari-hari yang sangat berat.
Suatu sore, satu jam sebelum buka, tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat keadaanku yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa pelindung tubuh yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku. Selama ini aku nyaris tidak pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok, tangan memegang kedua kaki erat-erat. Beberapa kali aku merasa sangat tersiksa bagaikan orang yang sedang sekarat.
“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha dengan mata berkaca-kaca.
“Apa itu?”
“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa dibebaskan sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat yang akan menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan pada keluarga Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau kau mengizinkan aku akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku uang tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”
“Maksudmu menyuap mereka?”
“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi untuk membebaskan orang tidak bersalah!”
“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”
“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah. Aku tak ingin jadi janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku lakukan?”
“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika kita melakukan hal itu dengan alasan terpaksa maka apa yang akan dilakukan oleh mereka, orang-orang awan yang tidak tahu apa-apa. Bisa jadi dalam keadaan kritis sekarang ini hal itu bisa jadi darurat yang diperbolehkan, tapi bukan untuk orang seperti kita, Isteriku. Orang seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu. Kau ingat Imam Ahmad bin Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habis-habisan ketika teguh memegang keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Al-Qur’an adalah kalam Ilahi. Ratusan ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan alasan keadaan darurat membolehkan mereka pergi untuk menghindari siksaan. Jika semua ulama saat itu berpikiran seperti itu, maka siapa yang akan memberi teladan kepada umat untuk teguh memegang keyakinan dan kebenaran. Maka Imam Ahmad merasa jika ikut pergi juga ia akan berdosa. Imam Ahmad tetap berada di Bagdad mempertahankan keyakinan dan kebenaran meskipun harus menghadapi siksaan yang tidak ringan bahkan bisa berujung pada kematian. Sama dengan kita saat ini. Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan isteriku menyuap maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang yang menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku, hidup di dunia ini bukan segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia, maka insya Allah kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan kau lakukan itu! Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”
Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia berkata dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal adhiim!” Paman Eqbal ikut sedih dan meneteskan air mata.
“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.
Aisha menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain kecuali itu isteriku. Hidup dan mati sudah ada ajalnya. Allahlah yang menentukan bukan keluarga Noura juga bukan hakim pengadilan itu. Jika memang kematianku ada di tiang gantungan itu bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Beribu-ribu sebab tapi kematian adalah satu yaitu kematian. Yang membedakan rasanya seseorang mereguk kematian adalah besarnya ridha Tuhan kepadanya. Isteriku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu di dunia ini dan aku lebih tak ingin kehilangan dirimu di akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Ka...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku. Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.”
Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk jiwa yang tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak hatinya dan bersih nuraninya.
“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha, memiliki rasa cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu. Kau mewarisi kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika beliau masih ada pasti akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan kau Fahri, aku belum pernah melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu dan sekuat dirimu dalam bertanggung jawab mempertahankan cinta suci di dunia dan di akhirat. Kau benar, hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada penghabisannya. Sesungguhnya sore ini aku mendapatkan nasihat agung yang tiada ternilai harganya.”
Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab azan, lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di dunia dan di akhirat. Ya Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami dapat terus bercinta selama-lamanya. Amin.”
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar biasa agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.
Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu [113]

* * *
Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara berteman duka dan air mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak bisa berbicara langsung dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya berpesan kepada Aisha agar minta tolong kepada Rudi membelikan kartu lebaran di Attaba dan mengirimnya tanpa memberitahukan keadaanku sebenarnya. Aku tak ingin membuat mereka berdua berduka tiada terkira. Aku telah berpesan pada Ketua PPMI agar jika ada teman mahasiswa dari Jawa pulang berkenan mampir ke rumah orang tuaku dan menceritakan masalah yang menimpaku dengan baik dan bijaksana.
Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah kunjungan yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak lama setelah shalat Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk. Setelah itu teman-teman satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan anak buahnya. Ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) dan bala kurawanya. Takmir masjid Indonesia. Beberapa staf KBRI yang rendah hati. Teman-teman S2 dan S3. Dan beberapa kenalan lainnya.
Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama Ustadz Jalal dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat yang aku tulis untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan melangsungkan akad nikah dengan salah seorang mahasiswa Indonesia.
“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh tahu?” Tanyaku pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.
“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz Jalal menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang yang diisyaratkan oleh Ustadz Jalal.
“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.
“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.
“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi tinggi.” kataku.
“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.
“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali suci pernikahan. Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.” pelanku.
“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu dengan segenap usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan menemukan mawaddah,” lirih Nurul.
“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.
Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas Khalid memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab kuning ala pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren milik ayah Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik. Dalam banyak acara diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk memimpin doa. Doanya panjang namun mampu membuat orang meneteskan air mata di hadapan Tuhannya.
Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau berpesan agar aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya rahmat Allah Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau mempertahankan diriku atas pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga menjelaskan bahwa sebenarnya Al Azhar mendapatkan tekanan dari keamanan untuk melakukan hal itu padaku. Sebelum pulang beliau memelukku erat-erat lalu mengecup ubun-ubun kepalaku.
“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja!” [114] Pesan beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar itu membuat diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia masih berkenan menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupa.
Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang. Syaikh Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara sepupunya, Ridha Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari jadwal yang ditetapkan karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Ridha Shahata berjanji akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut Ridha Shahata dari cerita Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria bisa memberikan kesaksiannya di depan pengadilan. Aku lebih banyak diam, dalam hati kukatakan, ‘Maria sangat susah diharapkan, jika memang aku harus mati di tiang gantungan berarti memang Tuhan berkehendak demikian.’
Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku belum pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di penjara, namun hari raya yang kulewati cukup mengesan. Aku ikhlas seandainya hari raya yang aku lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.


27. Diary Maria

Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed datang. Aku sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan mengucapkan selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak semata-mata berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua kemari mau minta pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”
“Aku tidak mengerti maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini?” jawabku.
“Kaset rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit. Begitu sadar ia menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak sadarkan diri kembali. Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar bisa mendatangkan dirimu beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan suara dan dengan sentuhan tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan ketika mendapatkan dirimu berada di sisinya, dia akan memiliki semangat hidup kembali. Maria itu ternyata persis seperti ibunya yang tidak mudah jatuh cinta. Namun sekali jatuh cinta dia bisa melupakan sama sekali orang yang dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga sakit seperti Maria sekarang, cuma tidak separah Maria,” kata Tuan Boutros.
“Tolonglah Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dirinya kembali memiliki cahaya hidup yang telah redup,” desak Madame Nahed.
“Kalau hanya memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa. Tapi kalau sampai menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa? Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam penjara. Apakah akan rekaman lagi?” jawabku.
“Kami akan minta izin kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke rumah sakit beberapa saat lamanya dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.
“Semoga bisa,” sahutku pelan.
Keduanya lalu keluar. Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan penuh harap berdoa mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit menemui Maria. Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa menjadi saksi dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan. Entah bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian dan jaminan apa yang mereka berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit sampai maghrib tiba. Saat azan maghrib berkumandang aku harus sudah berada di dalam penjara lagi. Borgolku dilepas. Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu. Baru pukul setengah delapan pagi. Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada waktu sembilan jam setengah. Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu Maria.
Tuan Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku heran, sama sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan melarikan diri. Aku tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika kau lari maka kami sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi jaminanmu.”
“Apa Tuan tidak kuatir aku akan melarikan diri?” tanyaku.
“Aku sudah mengenal siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang akan melakukan hal itu,” jawab Tuan Boutros mantap.
“Terima kasih atas kepercayaannya,” tukasku.
Rumah sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu dirawat. Begitu sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter langsung meminta temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta pada Madame Nahed menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal yang tak jauh dari rumah sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku dan lain sebagainya dengan proses yang cepat. Dia minta aku mandi dengan air kemerahan yang telah disiapkan seorang perawat. Lalu salin pakaian rumah sakit. Aku mandi dengan cepat. Setelah itu aku disuntik. Barulah aku diajak ke kamar di mana Maria tergeletak seperti mayat. Aku tak kuasa menatapnya. Maria yang kulihat itu tidak seperti Maria yang dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat dan layu. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus meleleh. Entah kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya memintaku untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk ke dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan getaran-getaran cinta,” katanya padaku.
Aku duduk di kursi dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga Maria. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata. Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi Maria tetap tidak sadar juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara. Dia minta agar aku mengucapkan kata-kata yang mesra, kata-kata pernyataan cinta pada Maria sambil memegang-megang tangannya atau menyentuh keningnya.
Kujawab, “Maafkan diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu. Aku tidak mungkin menyatakan cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang wanita, kecuali pada isteriku saja.”
“Tolonglah, lakukan itu untuk merangsang syarafnya dan membuatnya sadar. Kau harus mengatakan dan melakukan sesuatu yang memiliki efek pada syaraf dan memorinya. Dan lebih dari itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa cintamu padanya, mungkin itu akan menolongnya.”
“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menyesal.”
“Ini tidak sungguhan.”
“Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga tidak bisa untuk melakukan suatu kebohongan. Bagaimana jika aku mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar. Kemudian dia tahu aku membohonginya apakah itu bukan suatu penyiksaan yang kejam padanya?”
Dokter setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk berbicara pada Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam ketermanguan. Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir Maria bergetar menyebut sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut adalah namaku. Aku menjawab dengan menyebut namanya tapi ia tidak juga membuka matanya. Ingin aku menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar, agar ia tahu aku ada di dekatnya tapi itu tak mungkin aku lakukan. Tuan Boutros mengajakku berbicara enam mata dengan Madame Nahed di sebuah ruangan. Tuan Boutros menyerahkan sebuah agenda berwarna biru.
“Fahri, ini agenda pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan dan pengalamannya yang sangat pribadi yang terkadang kami tidak mengetahuinya. Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak pernah menyalahkanmu dalam masalah ini. Sebab kamu memang tidak bersalah. Kamu tidak pernah melakukan tindakan yang tidak baik pada Maria. Kami juga tidak bisa menyalahkan Maria. Bacalah beberapa halaman yang telah kami tandai itu agar kau mengetahui bagaimana perasaan Maria terhadapmu sebenarnya,” kata Tuan Boutros.
Aku menerima agenda pribadi Maria itu dan membaca pada halaman-halaman yang telah ditandai dengan sedikit dilipat ujung atas halamannya.
Kubuka lipatan 1:

Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25

Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah. Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya. Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling baik di antara keempat orang temannya.
Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan dan menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di kamarnya. Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,
“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”
“Satu bulan?”
“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar mandi kami dan merembes ke tempatmu?”
“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langi-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”
Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di langit-langit kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air menetes di langit-langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan pada teman-temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dan mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa penasaranku ingin tahu sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering diceritakan Yousef dan ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku. Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia, justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.

Lipatan 2:

Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00
Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku sekarang?Begitu menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku padanya. Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen. Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari kehadirannya di dalam hati.

Lipatan 3:

Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15
Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan menorehkannya dalam diary ini.
Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum padanya dia juga membalas dengan senyum sewajarnya.
Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.

Lipatan 4:

Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00
Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas. Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.
Oh, kekasihku sakit
Aku menjenguknya
Wajahnya pucat
Aku jadi sakit dan pucat
Karena memikirkan dirinya
Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet, pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’
Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya. Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama. Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara cinta yang bergemuruh dalam hatiku?

Lipatan 5:

Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15

Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku tak ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas. Minta tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.

Lipatan 6:

Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30

Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia. Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat. Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga menjawab.
Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya. Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love is a sweet torment!


Lipatan terakhir:

Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25

Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah jam meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha, seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.

Air mataku tak bisa kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam diary pribadinya. Aku cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut dalam perasaan haru dan cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku sudah menjadi milik Aisha. Dan aku harus setia lahir batin, dalam suka dan duka, juga dalam segala cuaca.
“Hanya kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di tanganmu,” ucap Madame Nahed pelan dengan air mata meleleh di pipinya.
“Bukan aku. Tapi Tuhan,” jawabku.
“Ya. Tapi kau perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”
“Aku sudah melakukannya semampuku.”
“Lakukanlah seperti yang diminta dokter. Tolong.”
“Andai aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah katakan semuanya pada dokter.”
“Kalau begitu nikahilah Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Sebagaimana aku tidak bisa hidup tanpa Boutros.”
“Itu juga tidak mampu aku lakukan. Aku sangat menyesal.”
“Kenapa Fahri? Kau tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa mencintainya maka kasihanilah dia. Sungguh malang nasibnya jika harus mati dalam keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon demi rasa cintamu pada nabimu.”
“Masalahnya bukan cinta atau kasihan Madame.”
“Lantas apa?”
“Aku sudah menikah. Dan saat menikah aku menyepakati syarat yang diberikan isteriku agar aku menjadikan dia isteri yang pertama dan terakhir. Dan aku harus menunaikan janji itu. Aku tidak boleh melanggarnya.”
“Aku akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada Maria. Aku yakin Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan itu dia, baru datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara empat mata dengan Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut Aisha. Keduanya lalu berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang akan dikatakan Madame Nahed pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka hatinya. Dan aku sama sekali tidak punya niat sedetikpun untuk menduakan Aisha dengan Maria. Aku tidak pernah berpikir kalau Maria mencintaiku sedemikian rupa.
* * *
Setelah berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”
“Aku yakin Maria seorang muslimah.”
“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”
“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah secara lesan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu muslimah.”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa, semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.
“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum maghrib kau harus sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan melakukan semua petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata Maria begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu aku mengambil cincin itu. Aku tak bisa menahan isak tangisku. Aisha memelukku, kami bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisha.
Setelah itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka berdua menyambut kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku. Seorang ma’dzun syar’i mewakili Tuan Boutros menikahkan diriku dengan Maria dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua dokter muslim yang ada di rumah sakit itu.
Setelah itu dokter setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku lakukan untuk membantu Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan Maria yang ada di ruang itu. Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa di ubun-ubun kepala Maria seperti yang aku lakukan pada Aisha. Aku hampir tidak percaya bahwa gadis Mesir yang dulu lincah, ceria dan kini terbaring lemah tiada berdaya ini adalah isteriku. Segenap perasaan kucurahkan untuk mencintainya. Aku membisikkan ke telinganya ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang yang mendalam. Aku lalu menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit. Tapi dia tetap diam saja. Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia. Aku ingin melakukan lebih dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak sambil memanggil-manggil nama Maria.
Tiba-tiba aku melihat sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin Maria mulai mendengar apa yang aku katakan. Aku kembali menciumi tangannya. Lalu mencium keningnya. “Maria, bangunlah Maria. Jika kau mati maka aku juga akan ikut mati. Bangunlah kekasihku! Aku sangat mencintaimu!” kuucapkan dengan pelan di telinganya dengan penuh perasaan.
Kepalanya menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua matanya. Aku memegang kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.
“F..f..Fahri..?”
“Ya, aku di sisimu Maria.”
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun dengan suara yang lemah,
“Aku mendengar kau berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”
“Benar. Aku sangat mencintaimu,Maria?”
“Kenapa kau pegang tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”
“Boleh! Karena kau sudah jadi isteriku.”
“Apa?”
“Kau sudah jadi isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”
“Siapa yang menikahkan kita?”
“Ayahmu. Apa kau tidak mau jadi isteriku?”
Mata Maria berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa menikah setelah kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”
“Dia yang mendorongku untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di tanganmu adalah pemberian Aisha. Anggaplah dia sebagai kakakmu.”
“Aku tak menyangka Aisha akan semulia itu.”
“Fahri, aku mau minta maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men...”
“Aku sudah tahu semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah membalasnya.”
Maria tersenyum. “Aku ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin merasakannya dalam keadaan sadar.” Pinta Maria dengan sorot mata berbinar. Aku memenuhi permintaannya. Seketika wajahnya kelihatan lebih bercahaya dan segar.
“Maria.”
“Ya.”
“Berjanjilah kau akan mengembalikan semangat hidupmu.”
“Setelah aku menemukan kembali cintaku maka dengan sendirinya aku menemukan kembali semangat hidupku. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita paling berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita paling sengsara.”
Aku melihat jam dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara. Dengan mata berkaca aku berkata, “Maria, aku keluar sebentar memberitahukan keadaanmu pada dokter, ayah ibumu dan Aisha.”
Maria mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia mendengar sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk diiringi dokter setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisha diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisha mengangguk. Aku memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Fahri. Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”
“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali ke penjara. Aku belum menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang pelan-pelan menjelaskan padanya semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat menghormatimu.”
Aku lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nadia. Aku mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nadia menatapku dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium tangannya. Dia kini jadi ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia lihat. Tuan Boutros menjelaskan pada Maria bahwa diriku ada urusan penting sekali. Aku menatap wajah Maria dalam-dalam. Dia menantapku penuh sayang. Air mataku hendak keluar tapi kutahan sekuat tenaga.
“Tersenyumlah dulu sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum sebisanya. Maria tersenyum manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua wanita itu memiliki senyum yang sama manisnya.
“Nanti Aisha akan menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau jangan terkejut jika ada hal-hal yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu. Jangan pernah kau lupakan sedetik pun Maria, bahwa aku sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada sesembahannya.”
Aku mengambil kata-kata yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria sangat senang mendengarnya. Seorang isteri sangat suka dihadiahi kata-kata indah tanda cinta dan kasih sayang.
“Terima kasih Fahri, kau sungguh romantis dan menyenangkan.”
Aku melangkah keluar bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara. Di luar aku memeluk Aisha erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam pelukannya. “Aisha, temani Maria dan ceritakan semua yang sedang aku alami dengan bijaksana padanya. Aku yakin kau mampu melaksanakannya. Semoga saat sidang nanti dia bisa memberikan kesaksiannya.”
“Insya Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan lupa nanti malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu, diriku, anak kita, dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk mendengarkan doa hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.




28. Sidang Penentuan

Sidang penentuan itu pun datang. Amru dan Magdi datang dengan wajah tenang. Syaikh Ahmad dan isterinya juga datang. Orang-orang Indonesia di Mesir banyak yang datang. Namun Maria, dan Aisha belum juga datang. Sudah dua puluh menit menunggu mereka belum juga kelihatan. Noura dan keluarganya beberapa kali memandangku dengan pandangan yang merendahkan. Apapun yang akan terjadi aku pasrah kepada Tuhan.
Akhirnya hakim memulai sidang. Sambil menunggu Maria datang, Amru mengajukan Syaikh Ahmad dan isterinya sebagai saksi. Mereka berdua tampil bergantian memberikan kesaksian. Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menangis saat memberikan kesaksiannya. Ia merasa sangat sakit hatinya atas apa yang dilakukan Noura. Sambil terisak dan sesekali menyeka matanya Ummu Aiman berkata, “Entah dengan siapa Noura melakukan perzinahan. Tapi jelas bukan dengan Fahri. Apa yang dikatakan Noura bahwa Fahri memperkosanya adalah fitnah yang sangat keji. Noura sungguh gadis yang tidak tahu diri. Ia telah ditolong tapi memfitnah orang yang dengan tulus hati menolongnya. Aku hanya bisa bersaksi bahwa selama Noura di Tafahna ia menceritakan kejadian malam itu dan tidak pernah menyebut bersama Fahri dari jam tiga sampai azan pertama. Ia bercerita malam itu ia bersama Maria sampai pagi. Jika pengadilan ini akhirnya memenangkan seorang pemfitnah maka kelak di hari kemudian seorang pemfitnah akan dibinasakan oleh keadilan Tuhan.”
Kulihat reaksi Noura. Dia hanya menundukkan kepala. Sementara ayah dan ibunya menatap Ummu Aiman tanpa kedip dengan tatapan garang dan kebencian. Jaksa penuntut mencerca Ummu Aiman dengan beberapa pertanyaan dan Ummu Aiman menjawabnya dengan tenang. Beberapa kali ia menjawab, ‘Tidak tahu!’
Ketika Ummu Aiman turun dari memberikan kesaksian, Maria datang. Ia duduk di atas kursi roda didorong oleh adiknya Yousef. Di iringi Aisha, Tuan Boutros, Madame Nahed, Paman Egbal, Bibi Sarah, dan seorang polisi berdasi yang gagah. Melihat Maria datang serta merta Syaikh Ahmad bertakbir diikuti oleh gemuruh takbir orang-orang Indonesia. Polisi berdasi langsung mendekati Syaikh Ahmad berbincang sebentar lalu mendekati Amru. Dia tampak menyerahkan beberapa berkas. Amru melihat berkas itu sebentar lalu tersenyum padaku. Amru meminta kepada hakim untuk mendengarkan kesaksian Maria. Saksi kunci dalam kasus ini. Sebab dialah yang mengerti dengan pasti apa yang dilakukan Noura malam itu. Benarkah Noura berada di kamarku antara jam tiga sampai azan pertama ataukah justru Noura bersama Maria. Hakim mempersilakan Maria berbicara setelah disumpah akan memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya. Maria pun berbicara dengan suara agak lemah. Wajahnya tampak memerah karena emosi. Ia berusaha menahan emosinya. Mikrofon yang dipegangnya cukup membantu memperjelas suaranya.
“Pak Hakim dan seluruh yang hadir dalam sidang ini, saya berani bersaksi atas nama Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa Noura malam itu, sejak pukul dua malam sampai pagi berada di kamarku. Ia sama sekali tidak keluar dari kamarku. Ia selalu bersamaku. Jika dia mengatakan pukul tiga aku mengantarnya turun ke rumah Fahri itu bohong belaka. Dalam rentang waktu itu dia sama sekali tidak keluar dari rumahku. Jika Noura mengatakan pemerkosaan atas dirinya terjadi dalam rentang waktu itu sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ada pemerkosaan waktu itu padahal dia berada di kamarku. Dan Fahri berada di kamarnya. Untuk membuktikan omongan saya ini, saya punya bukti nyata. Begini, kira-kira pukul tiga lebih sepuluh menit Maria menelpon ke salah satu temannya dengan telpon rumahku. Dia menelpon teman satu kelasnya bernama Khadija yang tinggal di Wadi Hof. Dia berbicara kira-kira sepuluh menit. Dan kami bawa bukti tercatat dari kantor telkom adanya percakapan itu. Bahkan rekaman pembicaraan Noura dengan Khadija juga ada. Kebetulan Khadija juga datang bersama kami. Dia bisa menjadi saksi. Dengan bukti kuat ini, aku berharap Bapak Hakim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Apa yang dikatakan Noura adalah fitnah belaka. Dia harus mendapatkan ganjaran atas tuduhan kejinya. Entah setan apa yang membuat Noura yang dulu jujur dan baik hati kini berubah menjadi tukang fitnah yang tidak memiliki nurani. Dia menyerahkan kegadisannya pada orang lain lalu menuduh Fahri yang melakukannya. Aku sangat menyesal menolong perempuan berhati busuk seperti dia. Demi Allah Yang Maha Mengetahui, aku tidak rela atas tuduhan yang dilontarkan Noura kepada Fahri. Aku tidak rela. Jika sampai Fahri divonis salah maka Noura akan menjadi musuhku di hadapan Allah di akherat kelak..ugh..ugh..ugh..!” Maria batuk lalu jatuh tak sadarkan diri di kursi rodanya. Madame Nahed yang tahu akan hal itu langsung mengambil Maria dan menggeledeknya keluar ruangan bersama Yousef. Mungkin langsung membawanya kembali ke rumah sakit.
Setelah Maria, Khadija memberikan kesaksian memang benar pada malam itu sekitar jam tiga lebih Noura menelponnya dan menceritakan kisah sedihnya. Namun Noura minta agar tidak memberitahukan Bahadur bahwa dia menelponnya. Amru lalu memberikan selembar kertas dari kantor telkom Mesir berisi perincian pemanggilan dan penerimaan panggilan nomor telpon rumah Maria. Yang membuat heran adalah Amru membunyikan rekaman pembicaraan Noura-Khadija via telpon malam itu. Setelah itu Amru mengajukan kesaksian paling mengejutkan yaitu kesaksian lelaki ceking bernama Gamal yang pada saat pengadilan pertama menjadi saksi pihak Noura. Kini Gamal bersaksi kembali:
“Pak Hakim dan hadirin semuanya. Saya ingin memberikan kesaksian yang sejujurnya. Di tempat ini saya hendak berkata apa sebenarnya yang saya alami. Sebenarnya apa yang saya katakan pada pengadilan pertama tidak benar. Saya minta maaf atas kesaksian palsu saya. Saya khilaf. Dan pada kesempatan kali ini saya mengaku dengan sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Saya tidak melihat nona Noura turun dan masuk rumah Fahri. Sebab malam itu saya tidur di rumah bersama isteri dan anak saya. Saya bukan seorang pemburu burung hantu. Itu semua rekayasa belaka. Terima kasih.”
Setelah mendengar semua kesaksian itu Amru berpidato dengan bahasa yang luar biasa kuatnya. Ia meyakinkan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa Noura seorang pemfitnah. Berkali-kali dengan bahasa yang kuat dan tajam dia menghabisi Noura. Kulihat Noura pucat dan meneteskan air mata. Selesai Amru bicara Noura angkat tangan dan minta kepada hakim untuk bicara. Hakim memberinya waktu lima menit. Noura berdiri dan menuju podium. Di sana dia berbicara dengan kepala menunduk sambil menangis terisak-isak:
“Pak Hakim dan hadirin sekalian. Selamanya kebenaran akan menang. Jika tidak di pengadilan dunia maka kelak di pengadilan akhirat. Selamanya rekayasa manusia tiada artinya apa-apa dibanding kekuasaan Tuhan. Hadirin, jika ada gadis malang di dunia ini yang semalang-malangnya adalah diriku. Sejak kecil sampai beberapa bulan yang lalu aku diasuh oleh orang yang bukan orang tua kandungku. Waktu bayi aku tertukar di rumah sakit dengan bayi lain. Aku hidup dalam keluarga bermoral setan. Namun aku selalu tabah dan terus bertahan. Sampai akhirnya malam itu. Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu sebelum aku diusir dan diseret si jahat Bahadur ke jalan terlebih dahulu aku diperkosanya…hiks..hiks..!” Noura tersedu sesaat lamanya. Ruang pengadilan diselimuti keheningan berbalut kepiluan dan rasa kasihan.
“Aku merasa bisa menyembunyikan aib yang menimpaku. Aku kira tidak akan terjadi apa-apa denganku. Waktu terus berjalan sampai akhirnya Allah mempertemukan diriku dengan kedua orang tua kandungku lewat bantuan banyak orang termasuk, Fahri, Maria, Nurul, Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman. Kedua orang tua kandungku adalah orang terpandang dan dari keluarga besar terhormat. Mereka menerima kedatanganku dengan penuh rasa bahagia luar biasa. Petaka itu datang kembali ketika perutku semakin membesar. Mereka menanyakan padaku siapa yang telah menghamiliku. Aku tak mau berterus terang bahwa Bahadur yang menghamiliku dengan memperkosa. Aku sudah sangat benci dengan dirinya. Akhirnya aku berbohong pada mereka yang menghamiliku adalah Fahri. Sebab aku sangat mencintai Fahri dengan harapan Fahri nanti mau menikahiku. Namun yang kulakukan ternyata tak lain adalah dosa besar yang sangat keji aku telah menghancurkan kehidupan orang yang kucintai dan di sisi lain aku telah membiarkan penjahat yang menghamiliku tertawa terbahak-bahak. Semua rekayasa yang telah diatur rapi juga diporak-porandakan oleh kekuasaan Allah Swt. Di sini, sebelum di akhirat nanti, aku akui dengan sejujurnya Fahri tidak bersalah. Dia bersih. Dan kepadanya dan kepada keluarganya serta siapa saja yang terzhalimi atas kebodohanku aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku memang ditakdirkan untuk hidup malang di dunia. Namun aku bertekad memperbaiki diri agar tidak malang di akhirat kelak.”
Atas dasar semua bukti yang ada dan pengakuan Noura akhirnya mau tidak mau Dewan Hakim memutuskan diriku tidak bersalah dan bebas dari dakwaan apa pun. Takbir dan hamdalah bergemuruh di ruang pengadilan itu dilantunkan oleh semua orang yang membela dan bersimpati padaku. Seketika aku sujud syukur kepada Allah Swt. Aisya memelukku dengan tangis bahagia tiada terkira. Paman Eqbal dan bibi Noura tak mampu membendung air matanya. Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Nurul dan suaminya yaitu Mas Khalid datang memberi selamat dengan mata berkaca. Satu persatu orang-orang Indonesia yang di dalam ruangan itu memberi selamat dengan wajah haru. Amru memberi tahu bahwa Kolonel Ridha Shahata, sepupu Syaikh Ahmad yang memiliki posisi cukup penting di Badan Kemanan Negara juga punya andil dalam membantu mendapatkan bukti dari kantor telkom dan memaksa Gamal berkata jujur. Suatu bukti bahwa dunia belum kehilangan orang-orang yang baik dan cinta keadilan.

29. Nyanyian dari Surga

Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka. Dokter mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk memulihkan kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani serius. Ada gejala paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar kelas satu bersebelahan dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia banyak yang menjenguk, meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester ganjil Al Azhar. Sementara musim dingin semakin menggigit.
Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian di pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah yang naik drastis. Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu tidak pecah. Kalau pecah maka nyawanya bisa melayang.
Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak kalah kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia bahkan sering tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap Maria seperti adiknya sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan menemani Aisha menunggui Maria.
Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia terkejut mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh masya Allah, Subhanallah! Ya..ya...baik. Kalau begitu kau naik metro saja turun di Maadi. Aku jemput di dekat loket tiket sebelah barat. Okey? Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”
Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,
“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin menemuimu. Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah Maadi.”
Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.
PadaMu
Kutitipkan secuil asa
Kau berikan selaksa bahagia
PadaMu
Kuharapkan setetes embun cinta
Kau limpahkan samudera cinta
Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia belum juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan hembusan nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup. Sungguh aku tak tega melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya. Seringkali ada lelehan air mata di sudut matanya. Entah apa yang dialaminya di alam tak sadarnya.”
Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”
“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan kepalanya lalu beranjak keluar.
Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat kontras dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro dulu. Dulu pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai jilbab, pakaiannya sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh berbeda dengan Aisha.
“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu.
“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak besar. Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku terkejut membaca tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.
“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre di New York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul Adhim direktur penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh Ahmad untuk tranfer honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku itu sedang dicetak lagi karena satu bulan diluncurkan langsung habis.” Cerita yang dibawa Alicia benar-benar menghapus semua duka yang pernah kurasa. Sangat mudah bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.
“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.
“Ingin.”
“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”
Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam keadaan seperti itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama dua buku yang diberikan Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah buku kecil. Tebalnya cuma 65 halaman. Namaku terpampang sebagai pengarangnya. Aku jadi malu pada diri sendiri, aku hanya menulis ulang dan merapikan pelbagai macam bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan dalam Islam. Bukan menulis suatu yang baru. Di dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown dan Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku secara singkat. Lalu buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis Prof Dr. Abdul Wadud Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah. Editornya sama.
Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.
“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian. Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul Adhim, kau akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic Centre di Amerika sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis. Tiket, surat undangan dan jadwal kegiatannya ada di hotel, tidak terbawa,” kata Alicia.
“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.
“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”
“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”
“Semoga.”
Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan hari untuk menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk mempermudah mengurusi visa masuk ke Amerika.
“Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita alami,” kata Aisha setelah Alicia pergi.
* * *
Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya. Aisha melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan kamar kelas satu berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah. Berarti di luar sana udara benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8 derajat. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa dinginnya kutub utara yang puluhan derajat di bawah nol. Suasana malam senyap dan beku.
“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah melihat orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.
Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada siapa-siapa di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang pulas di sofa tak jauh dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu kelihatannya kelelahan. Kami melangkah pelan mendekati Maria. Dan aku mengenal apa yang diigaukan oleh Maria. Aku pasang telinga lekat-lekat dan memperhatikan dengan seksama. Subhanallah, Maha Suci Allah! Yang terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu. Aku tak kuat menahan haru.
“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bagaimana bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.
“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal yang belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.
Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan lancar. Tak ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar. Maria melantunkan ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah melahirkan nabi Isa. Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah menurunkan mukjizat-Nya, Isa yang masih bayi bisa berbicara.

Fa atat bihi qaumaha tahmiluh,
qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian fariyya.
Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin
wa maa kaanat ummuki baghiyya.
Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi shabiyya.
Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya.
Wa ja’alani mubaarakan ainama kuntu
wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.

(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.
Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.
Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara pada anak kecil yang masih dalam ayunan?’
Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan dia menjadikan aku seorang nabi.
Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat selama aku hidup) [115]

Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam alam bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan meneteskan air mata. Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat dalam memorinya. Dan itu adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa yang dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes. Cahaya keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin benderang. Bibir Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa sebenarnya yang menggerakkan bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia sampai pada akhir surat Maryam. Namun bibirnya tidak juga berhenti bergetar, terus melanjutkan surat setelahnya. Surat Thaaha. Subhanallah!
Thaaha.
Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa
Illa tadzkiratan liman yakhsya

( Thaaha.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
agar kamu jadi susah
Tetapi sebagai tadzkirah
bagi orang yang takut kepada Allah
) [116]
Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah dihafal Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia mengatakan hanya hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia membaca surat Thaaha. Aku benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak rahasia dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti keyakinan dalam hatinya. Dengan air mata terus mengalir di sudut matanya yang terpejam ia melantunkan ayat-ayat suci itu seperti sedang asyik bernyanyi dalam mimpi. Malam yang dingin terasa hangat oleh aura getar bibir Maria. Ia mengajak pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi Musa melawan Fir’aun. Ia terus bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan lagu surga.
Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa
wasia kulla syai in ilma
Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq
wa qad aatainaaka min ladunna dzikra
(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah,
yang tiada tuhan selain Dia, pengetahuannya
meliputi segala sesuatu.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu
sebagian kisah umat yang telah lalu,
dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu
dari sisi Kami suatu peringatan
) [117]
Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya semakin deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku hanya bisa ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat tangannya. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya bergerak dan mendendangkan zikir dengan nada aneh:
Allah. Allah. Allah.
Aku ingin Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku rindu Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku cinta Allah.
Allah. Allah. Allah
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah. Allah. Allah.
CahayaMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
SenyumMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
BelaianMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CiumanMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CintaMu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Allah. Allah.Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Perlahan ia mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir matanya tampak mulai terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka. Subhanallah!
“Maria!” sapaku pelan.
“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.
“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”
“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”
“Kenapa sedih?”
“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”
Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan mati? Tanyaku dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak baik itu. Tapi kenapa dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.
“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!” ulangnya.
“Kenapa?”
“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup bagiku. Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”
“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”
“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat istana megah hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah melihat bangunan istana yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada pernah terpikir dalam benak manusia. Luar biasa indahnya. Ia memiliki banyak pintu. Dari jarak sangat jauh aku telah mencium wanginya. Aku melihat banyak sekali manusia berpakaian indah satu persatu masuk ke dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada terbayangkan indahnya. Kepada mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa indahnya ini apa?” Mereka menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu yang terbuka itu aku bisa sedikit melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat menakjubkan. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang mampu melukiskan. Aku sangat tertarik maka aku ikut barisan orang-orang yang satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki mau melangkah masuk seorang penjaga dengan senyum yang menawan berkata padaku, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu khusus untuk orang-orang yang berpuasa. [118] Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat kecewa. Aku lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang juga sedang penuh dimasuki anak manusia berpakaian indah. Aku mau ikut masuk. Seorang penjaga yang ramah berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini Babush Shalat. Pintu khusus untuk orang-orang shalat. Dan Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat sedih. Hatiku kecewa luar biasa. Aku melihat di kejauhan masih ada pintu. Aku berjalan ke sana dengan harapan bisa masuk lewat pintu itu. Namun ketika hendak masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus untuk orang-orang yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku hendak masuk selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir namanya Babut Taubah. Aku juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus untuk orang-orang yang taubatnya diterima Allah. Dan aku tidak termasuk mereka. Aku kembali ke pintu-pintu sebelumnya. Semuanya tertutup rapat. Orang-orang sudah masuk semua. Hanya aku sendirian di luar. Aku menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak ada yang membuka. Aku hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni surga kau tidak perlu mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah pintu-pintu itu dengan kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak memiliki kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang lain dengan air mata menetes di sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu di depan Babur Rahmah. Aku mengharu biru pada Tuhan. Aku ingin menarik belas kasihNya dengan membaca ayat-ayat sucinya. Yang kuhafal adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan. Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karena Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata,
“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa maumu?”
“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”
“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya?”
“Apa itu kuncinya?”
“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”
“Aku tidak mengikuti ajarannya.”
“Itulah salahmu.”
“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.”
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah berilah aku kunci itu. Aku tidak mau merugi selama-lamanya.” Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah. Akhirnya hati Bunda Maryam luluh. Dia duduk dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang,
“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kunci masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia suka!’ [119] Jika kau ingin masuk surga lakukanlah apa yang diajarkan olah Nabi pilihan Allah itu. Dia nabi yang tidak pernah bohong, dia nabi yang semua ucapannya benar. Itulah kunci surga! Dan ingat Maria, kau harus melakukannya dengan penuh keimanan dalam hati, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa keimanan itu, yang kau lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan cepat kembali kemari, aku akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama. Aku akan membawamu ke surga Firdaus!”
Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air. Aku terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati sedih. Aku ingin masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana, Bunda Maryam menungguku di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang aku alami. Oh Fahri suamiku, maukah kau menolongku?”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”
“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu aku berwudhu sekarang juga!”
Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong Maria yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang infus. Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku dengan sorot mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasahnya. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia berkata:
Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!
Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan matanya meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup rapat. Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan jantungnya telah berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Aisha juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan bibir bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:
“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya.”
Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii

(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku. [120]
)
Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”
Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya. O, apakah di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya? Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?



Selesai, Rabu 8 Oktober 2003
Pukul 01: 03 dini hari.
Bangetayu Wetan, Semarang




Kitab-kitab yang mendampingi penulisan novel ini:

As-Sunnah wal Bid’ah, (Sunah dan Bid’ah), karya Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhwi, Maktabah Wahbah, Cairo, Cet. I, 1999.
At Tadzkirah (Peringatan), karya Imam Syamsuddin Al-Qurthubi, Dar Ibnu Khadun, Alexandria, Cet. I, 1997.
Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-fatwa Kontemporer) Juz II & III, karya Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Darul Qalam, Cairo. Cet. I, 2001.
Kitab Ar-Ruuh (Kitab Ruh) karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Fajr, Cairo, Cet I, 1999.
Limadza Yakhafunal Islam? (Kenapa Mereka Takut Kepada Islam?), karya Prof. Dr.Abdul Wadud Syalabi, Darul I’tisham, Cairo, 1999.
Makanatul Mar’ah Fil Islam (Posisi Wanita dalam Islam), karya Prof. Dr. Muhammad Biltaji, Darus Salam, Cairo, Cet.I, 2000.
Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Quran (Sumber Pengetahuan Ilmu-ilmu Al-Qur’an), karya Syaikh Prof. Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani, Muassasah At Tarikh Al Arabiy, Beirut-Lebanon, Cet. III, 1991.
Tuhfatul ‘Arus aw Az Zawaj Al Islamiy As Sa’id, (Hadiah Untuk Pengantin atau Perkawinan Islami Yang Bahagia), karya Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Al Maktabah Al Islamiyyah, Amman, 1410 H.
Tuhfatul ‘Aris wal ‘Arus (Hadiah untuk Pengantin Lelaki dan Pengantin Perempuan), karya Syaikh Muhammad Ali Qutb, Darul Anshar, Cairo, tanpa tahun.

[1]
Rasa malas melakukan sesuatu.
[2]
Belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama.
[3]
Membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh Imam.
[4]
Ilmu tafsir paling pokok.
[5]
Kereta listrik, disebut juga trem.
[6]
Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah.
[7]
Semoga Allah melimpahkan berkah padamu.
[8]
Dan semoga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua.
[9]
Daging yang telah dicincang halus dengan mesin.
[10]
Juice
[11]
Tunggu sebentar.
[12]
Ada apa lagi?
[13]
Terima kasih.
[14]
Yaitu membaca A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim.
[15]
Stasiun, terminal.
[16]
Tanda bahwa shalat berjamaah segera didirikan.
[17]
Sekolah Tinggi Juru Dakwah.
[18]
Saudara.
[19]
Kapten, Shubra satu!
[20]
Baik, Orang Indonesia.
[21]
Aku saudaramu.
[22]
Dari China?
[23]
Tidak. Aku orang Indonesia.
[24]
Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!
[25]
Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.
[26]
Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya Syarmuthah (Hai pelacur), Ya bintal khinzir (Hai anak babi).
[27]
Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana mukhthi’ah?
[28]
Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan.
[29]
Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan harian.
[30]
Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya digunakan untuk mengumpat dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya).
[31]
Syarmuthah: Pelacur.
[32]
Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke atas nabi, bacalah shalawat ke atas nabi!
[33]
Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa pemiliknya benar-benar mahasiswa pada fakultas, jurusan dan program tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya diperlukan untuk urusan-urusan resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji, meminta atau memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.
[34]
Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik.
[35]
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.
[36]
Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan!
[37]
Kau berbicara bahasa Jerman.
[38]
Ya. Sedikit-sedikit.
[39]
Apakah Anda tuan Fahri.
[40]
Ya nama saya Fahri.
[41]
Maaf, bisa tuliskan nama Anda.
[42]
Terima kasih, sampai bertemu lagi.
[43]
Air buah asam.
[44]
Kondektur.
[45]
Sari air tebu. (Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas).
[46]
Dan jika kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya (QS. An-Nisaa’: 86)
[47]
Semoga sukses.
[48]
Kaset yang merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil.
[49]
Ruzz bil laban: Bubur dari beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan dalam kulkas.
[50]
Ayam bakar.
[51]
Apa pendapat kalian.
[52]
Lantai apartemen paling atas dan menghadap langit (atap apartemen).
[53]
Roti Isy dan Ful adalah makanan pokok orang Mesir.
[54]
Syuun thullab dirasat ulya: Bagian yang mengurusi mahasiswa pascasarjana.
[55]
Hati.
[56]
Semacam sausage, bentuknya bundar memanjang.
[57]
Apakah Anda Tuan Fahri.
[58]
Tuan Fahri, apakah kau punya waktu?
[59]
Hari ini?
[60]
Ya. Hari ini setelah shalat ashar.
[61]
Tidak, terima kasih, sayang aku tidak ada waktu selepas shalat ashar! Aku punya janji.
[62]
Silakan duduk.
[63]
Terima kasih banyak.
[64]
Kembali.
[65]
Di mana Alicia?
[66]
Sungguh suatu kebetulan.
[67]
Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah.
[68]
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
[69]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
[70]
Hei Kapten, apa kabar, zaman kok syurumburum (nggak jelas begini).
[71]
Kedai kopi.
[72]
Aku menyesal sekali. Demi Allah, saya sangat menyesal.
[73]
Sate kambing.
[74]
Apakah Anda turis?
[75]
Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman?
[76]
Aku mencintaimu karena Allah, Saudaraku!
[77]
Makanan dibuat dari singkong rebus yang telah di beri ragi. Sangat mirip dengan payem Bandung.
[78]
Paman Fahri dari Indonesia.
[79]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Thabrani.
[80]
Kenapa mereka takut kepada Islam?
[81]
Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia mendapat!”
[82]
Imam Warasy, seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil qiraahnya dari Imam Nafi bin Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam Abu Ja’far Al-Qari dan tujuh puluh tabiin. Dan mereka semua mengambil qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay bin Kaab dari Rasulullah Saw.
[83]
rekreasi.
[84]
Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya.
[85]
Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti wudhu.
[86]
Allah memberkahimu, Anakku.
[87]
Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku ingin ibu’ dan ‘Ibu (3)’ yang terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.
[88]
Surat Al-Furqaan: 74
[89]
Terima kasih atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.
[90]
Perkenalan
[91]
Auditorium, balai pertemuan.
[92]
Surat Ar-Rahman: 70-73.
[93]
Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama.
[94]
Dari penggalan puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul Verlaine (1844-1896) terdapat dalam Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952, hal. 88.
[95]
Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan kegembiraan.
[96]
Semoga berkah Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad)
[97]
Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Sinni.
[98]
Hadits riwayat Ibnu Jarir.
[99]
Dipetik dari puisi berjudul “Kekasih” karya Paul Eluard, Penyair Perancis abad ke-19 paling terkemuka dari golongan surealis.
[100]
Ar-Rahmaan: 57-60.
[101]
Asy Syura: 27.
[102]
Al-Israa: 29
[103]
Risalah Kerinduan
[104]
Terima kasih, suamiku.
[105]
Terima kasih kembali.
[106]
Perkemahan.
[107]
Surat Luqman: 13,16, dan 17.
[108]
Petikah puisi berjudul “Sajak” karya Penyair Amerika, John Cornford, diterjemahkan oleh Chairil Anwar.
[109]
Wahai penjahat.
[110]
Jubnah: keju putih seperti tahu.
[111]
Ya Allah matikanlah diriku dalam keadaan mati syahid di jalanMu. Amin.
[112]
Keamanan Negara.
[113]
Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari puisi berjudul “Saat-saat Sadar” karya penyair Belgia, Emile Verhaeren (1855-1916), yang sangat terkenal pasca perang dunia pertama.

[114]
Dan siapa yang bertakwa kepada Allah maka dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
[115]
QS. Maryam: 27-31.
[116]
QS. Thaaha: 1-3.
[117]
QS. Thaaha: 98-99
[118]
Imam Syamsuddin Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam kitabnya At Tadzkirah banyak menjelaskan tentang deskripsi surga sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits-hadits nabi, termasuk jumlah pintu surga dan nama-namanya.
[119]
Hadits riwayat Imam Muslim.
[120]
QS. Al-Fajr: 27-30


-=o0O0o=-


dicopas dari isnan nur web ugm



::
::

Tidak ada komentar: