Senin, September 17, 2007

Va' Dove Ti Porta IL Cuore



"Pergilah Ke Mana Hati Membawamu"



Oleh Susanna Tamaro
Diterjemahkan oleh A. Sudiarja, SJ




Aku terharu memandangnya. Rasanya seolah sebagian dirimu ada di sini di sisiku, bagian yang paling kucintai, bagian yang bertahun-tahun lalu telah memilih anjing yang paling sedih dan jelek dari dua ratus anjing di penampungan.




Dalam kesendirianku di rumah selama beberapa bulan terakhir ini, tahun-tahun penuh kesalahpahaman dan sakit hati saat kita bersama dulu pun lenyap. Ingatan yang membungkusku hanyalah ingatan tentang dirimu sebagai kanak-kanak, begitu blak-blakan dan rapuh dan kebingungan! Kepada anak itulah aku menulis, bukan kepada gadis arogan dan defensif belakangan ini. Dan mawar itu telah membisikkan gagasan itu padaku. Pagi ini ketika aku melewatinya, ia berkata, "Ambil kertas dan tulis surat padanya." Aku tahu, salah satu janji kita saat kau berangkat adalah bahwa kita tidak akan saling menyurati, dan dengan berat hati aku menyetujuinya. Tulisan ini pun takkan pernah sampai kepadamu di Amerika. Jika aku tak ada lagi saat kau kembali, tulisan- tulisan itu akan menantimu di sini. Mengapa aku berkata begini? Karena belum sampai sebulan yang lalu, untuk pertama kali dalam hidupku, aku jatuh sakit dan sakitku cukup berat. Sekarang aku tahu, di antara segala kemungkinan, ada juga kemungkinan ini, bahwa sekitar enam atau tujuh bulan lagi, mungkin aku tak akan berada di sini untuk membukakan pintu bagimu dan memelukmu.

Beberapa waktu yang lalu temanku berkata, jika seseorang yang tak pernah jatuh sakit tiba-tiba sakit, biasanya penyakit itu datangnya mendadak dan berat. Itulah yang terjadi padaku: pada suatu pagi, saat aku menyirami mawar itu, tiba-tiba seolah ada yang mematikan lampu. Jikalau Mrs Razman tidak melihatku melalui pagar yang membatasi kebun kita, nyaris pasti kau sudah yatim piatu sekarang. Yatim piatu? Begitukah sebutannya bila seseorang kehilangan neneknya? Aku tidak yakin. Mungkin kakek-nenek tidak dianggap cukup penting hingga perlu diciptakan sebutan bila kita kehilangan mereka. Kau tidak menjadi yatim piatu atau janda jika kau kehilangan kakek-nenekmu. Sepertinya lumrah saja bagi mereka untuk ditinggalkan, dilupakan, bagai payung-payung yang terlupakan.




Tatkala terbangun di rumah sakit, aku tak ingat apa-apa. Sementara mataku masih terpejam, aku merasa seolah-olah ada dua kumis panjang dan tipis tumbuh, mirip kumis kucing. Begitu membuka mata, sadarlah aku ada dua slang plastik kecil yang keluar dari hidungku dan menyusuri bibirku. Aku dikelilingi mesin-mesin asing. Beberapa hari kemudian aku pun dipindahkan ke kamar rawat. Di sana sudah ada dua pasien lainnya. Suatu siang Mr dan Mrs Razman menjengukku. "Anjing Anda menyalak seperti anjing gila. Dia telah menyelamatkan Anda," kata Mr Razman.




Ketika aku mulai bisa bangkit dari tempat tidur, aku kedatangan seorang dokter muda yang sudah beberapa kali datang memeriksa kondisiku. Ia menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidurku. "Karena Anda tidak mempunyai kerabat yang dapat mengurus dan memutuskan untuk Anda," katanya, "saya harus bicara langsung kepada Anda. Saya akan berterus terang." Ia terus bicara, tapi aku lebih memperhatikan dirinya daripada mendengarkannya. Bibirnya tipis dan, seperti kauketahui, aku tidak menyukai orang berbibir tipis. Menurut dia, kondisiku sangat buruk hingga tidak diperkenankan pulang. Ia menyebutkan dua atau tiga panti perawatan yang bisa kudatangi. Ia pasti membaca ekspresi wajahku, karena tiba-tiba ia menambahkan, "Jangan membayangkannya seperti panti wreda yang selama ini kita kenal. Sekarang segalanya telah berubah- kamar-kamarnya terang dan di sekitarnya ada halaman luas tempat orang bisa berjalan-jalan." Aku berkata padanya, "Dokter, Anda tahu orang Eskimo?" "Tentu saja saya tahu," jawabnya seraya berdiri. "Aku ingin mati seperti mereka," kataku. Dan karena tampaknya ia tidak mengerti, aku pun menambahkan, "Aku lebih suka jatuh tertelungkup di antara buah-buah labu di kebunku daripada hidup setahun lagi terperangkap di ranjang, di kamar berdinding putih." Saat itu ia sudah sampai di ambang pintu. Sambil tersenyum meremehkan, ia berkata sebelum lenyap dari pandangan, "Banyak orang berkata begitu, tapi pada saat-saat terakhir mereka berlari ke sini untuk minta dirawat dan gemetar seperti daun."




Tiga hari kemudian aku menandatangani kertas konyol berisi pernyataan bahwa jika aku meninggal dunia, itu semata-mata tanggung jawabku sendiri. Kuserahkan kertas itu kepada seorang perawat muda berkepala kecil yang mengenakan anting-anting emas besar; menjejalkan barang-barangku yang hanya sedikit ke dalam kantong plastik kecil, dan pergi ke perhentian taksi.




Begitu Buck melihatku di depan gerbang, ia mulai berlari berputar- putar kegirangan. Lalu, hanya untuk mengenyahkan keraguanku mengenai kegembiraannya, ia menghancurkan dua atau tiga petak bunga sambil menyalak-nyalak. Sekali itu aku tidak tega memarahinya. Ketika ia menghampiriku dengan hidung penuh tanah, aku berkata kepadanya, "Lihat, bung! Kita bersama lagi, kan?" Lalu kugaruk-garuk bagian belakang telinganya.




Hari-hari berikutnya aku nyaris tidak melakukan apa-apa. Sejak musibah yang menimpaku, bagian kiri tubuhku tak lagi mematuhi perintahku seperti sebelumnya. Tangan kiriku terutama menjadi amat lamban.




Aku benci mengalah pada keadaan ini, jadi aku pun memaksa diriku untuk lebih sering menggunakannya daripada tangan kananku. Pada pergelangan tangan itu kuikatkan simpul merah jambu sehingga setiap kali harus mengambil sesuatu aku ingat untuk menggunakan tangan kiri sebagai ganti tangan kanan. Ketika tubuh kita masih sehat, kita tidak menyadari betapa ini bisa menjadi musuh besar; dan bila kemauanmu untuk melawannya melemah barang sedetik saja, kau pun kalah.




Bagaimanapun sepertinya kekuatanku mulai berkurang, jadi kuberikan seperangkat kunci duplikat kepada Mrs Walter. Setiap hari ia mampir dan membawakan apa-apa yang kubutuhkan.




Ketika aku berjalan di sekitar kebun dan rumah, pikiran tentang dirimu semakin kuat hingga menjadi obsesi. Beberapa kali aku mengangkat gagang telepon dan mengirimimu telegram, namun setiap kali terdengar suara operator, aku berubah pikiran. Di sore hari, duduk di sofa-di depanku kekosongan dan di sekitarku kesunyian-aku bertanya-tanya apa kiranya yang terbaik yang harus dilakukan. Yang terbaik bagimu, tentu saja, bukan bagiku. Bagiku, tentu saja akan lebih baik bila kau berada di sisiku saat aku mengembuskan napas terakhir. Aku yakin, jika aku mengabarimu tentang sakitku, kau pasti akan bergegas pulang. Lantas? Lantas, siapa tahu, aku mungkin saja hidup tiga atau empat tahun lagi, mungkin di atas kursi roda, mungkin bahkan pikun, dan kau, demi kewajiban, akan menjagaku. Kau akan melakukannya dengan penuh dedikasi, namun bersama lewatnya waktu, dedikasi itu akan berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Kebencian karena tahun demi tahun berlalu dan kau menyia-nyiakan masa mudamu; karena cintaku, dengan efek bumerang, telah memaksa hidupmu menuju jalan buntu. Atau, begitulah yang dikatakan suara dalam diriku yang tak ingin meneleponmu. Namun begitu aku memutuskan suara itu benar, suara lain muncul, mengatakan yang sebaliknya. Apa yang akan terjadi padamu, aku bertanya-tanya, jika kau membuka pintu dan bukannya menemukan Buck dan aku menyambut kepulanganmu, melainkan rumah yang kosong, lama tak dihuni? Adakah yang lebih mengerikan daripada kepulangan yang tiada sempurna? Jikalau selembar telegram sampai kepadamu di sana memberitakan kematianku, apakah kau akan menganggapnya sejenis pengkhianatan? Akal bulus? Dalam bulan-bulan terakhir kau sangat kasar padaku, jadi aku menghukummu dengan pergi tanpa memberitahumu. Itu bukan lagi bumerang, melainkan jurang yang dalam; kurasa tak seorang pun tahan menghadapinya. Bayangkan, apa pun yang ingin kaukatakan kepada orang yang kau kasihi akan tetap terpendam dalam dirimu selamanya. Orang yang kaukasihi itu terkubur di sana, di bawah tanah, dan kau tak bisa lagi memandang matanya, tak bisa lagi memeluknya, tak bisa lagi mengatakan kepadanya semua yang belum kaukatakan kepadanya.




Hari-hari berlalu dan aku belum mengambil keputusan apa pun. Lalu pagi ini, mawar itu berbisik kepadaku, tulis sesuatu untuknya, catatan harian kecil mengenai hari-harimu yang akan disimpannya setelah kau tiada. Jadi, di sinilah aku sekarang, di dapur, menatap salah satu buku tulis lamamu dan menggigiti penaku seperti anak-anak yang kesulitan mengerjakan PR-nya. Menulis surat wasiat? Tidak persis begitu, tetapi lebih berupa sesuatu yang menyertaimu melewati tahun demi tahun, sesuatu yang dapat kau baca setiap kali kau merasa membutuhkan diriku di dekatmu. Jangan khawatir, aku tak ingin mengguruimu atau mencoba membuatmu sedih, aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu, dari hati ke hati, seperti dulu, sebelum beberapa tahun terakhir menjauhkan kita. Kini setelah aku hidup untuk waktu yang lama dan meninggalkan begitu banyak orang, tahulah aku bahwa kepergian orang-orang dalam hidup kita tidak memberati kita seperti halnya kata-kata yang tak pernah terucapkan di antara kita dan mereka saat mereka meninggal dunia.




Kau tahu, aku sadar aku harus menjadi ibu bagimu ketika aku sudah berumur, di usia seseorang biasanya sudah menjadi nenek. Ada banyak keuntungan karenanya. Kau beruntung, sebab ibu-nenek selalu lebih penuh perhatian dan baik hati daripada ibu-ibu; dan aku beruntung sebab bukannya menjadi pikun seperti wanita lain seusiaku dengan perkumpulan kartu dan acara-acara minum teh sore mereka, aku malah diseret kembali ke arus kehidupan. Meskipun demikian, entah di mana, sesuatu telah hancur. Kesalahannya tidak terletak padaku atau padamu, melainkan pada hukum alam.



Masa kanak-kanak dan masa tua mirip satu sama lain. Dalam kedua kasus itu, dengan alasan berbeda, kita tak berdaya, kita belum-atau tak bisa lagi-memainkan peranan aktif dalam kehidupan. Karenanya, respons kita sangat alami dan tidak penuh perhitungan. Masa remaja adalah saat-saat semacam kulit kerang yang tidak kasatmata mulai terbentuk dan membungkus tubuh kita, terus mengeras sepanjang masa dewasa. Proses pertumbuhannya sedikit mirip mutiara. Semakin besar dan dalam lukanya, semakin keras lapisan pelindung yang tumbuh mengelilinginya. Kemudian, dengan lewatnya waktu, seperti pakaian yang terlalu sering dikenakan, bagian-bagian tertentu mulai melar, tenunannya mulai kasar, gerakan mendadak membuatnya robek.



Mula-mula kau tidak menyadarinya sama sekali, kau yakin kulit kerangmu masih utuh, hingga pada suatu hari tiba-tiba sesuatu yang remeh terjadi dan kau menemukan dirimu menangis seperti bayi. Jadi saat aku berkata keretakan alami terjadi di antara kita, seperti itulah yang kumaksudkan. Saat kulit kerangmu mulai terbentuk, kulit kerangku mulai pecah-pecah. Kau tidak tahan menghadapi air mataku dan aku tidak tahan menghadapi kekerasan hatimu. Meskipun aku tahu watakmu akan berubah bersama datangnya masa remajamu, saat perubahan itu terjadi, berat rasanya bagiku untuk menanggungnya. Seolah-olah yang berada di depanku adalah orang yang sama sekali baru dan aku tak tahu bagaimana menghadapinya. Di malam hari saat aku mengumpulkan pikiranku, aku merasa bahagia atas apa yang terjadi padamu. Aku berkata pada diriku sendiri, siapa pun yang meninggalkan usia remaja tanpa terluka tak pernah bisa menjadi orang dewasa yang sempurna. Namun keesokan harinya, ketika pertama kali kau membanting pintu di depan mukaku, rasanya berat sekali, hingga aku ingin menangis! Aku tak sanggup menemukan cukup kekuatan untuk menghadapimu. Jika usiamu sudah delapan puluh tahun, kau akan mengerti bahwa pada usia itu kau merasa seperti daun di akhir bulan September. Cahaya hari semakin berkurang dan pelan-pelan pepohonan mulai menyerap setiap hal yang menghidupinya. Nitrogen, klorofil, dan protein diserap ke dalam batang pohon, hijaunya sirna, juga elastisitasnya. Kau masih berdiri, namun jelas waktumu tak lama lagi. Helai demi helai daun-daun di sekitarmu berguguran, kau menyaksikannya; kau gemetar ketakutan kalau-kalau angin mungkin bertiup. Bagiku kaulah angin itu, daya hidup remajamu yang sarat perlawanan. Tidakkah kau pernah menyadari hal itu, sayangku? Kita telah melewatkan kehidupan di pohon yang sama, namun di dua musim yang sama sekali berbeda.




Aku teringat hari keberangkatanmu. Betapa kita sama-sama tegang! Kau menolak membiarkan aku menemanimu ke bandara, dan setiap kali aku mengingatkanmu untuk membawa sesuatu, kau menjawab, "Aku pergi ke Amerika, bukan ke padang gurun." Ketika kau tiba di pintu aku berkata dengan suara tertahan, "Jaga dirimu baik-baik!" Tanpa menoleh kau berkata, "Jaga Buck dan mawarku baik-baik!"




Kau tahu, aku sangat kecewa mendengar ucapan-ucapan perpisahan itu. Karena aku wanita tua yang sentimentil, aku mengharapkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih sederhana seperti ciuman atau kata-kata yang lembut. Hanya saja malam itu, ketika aku tidak bisa tidur dan berkeliling mengenakan daster di rumah yang kosong, aku tersadar bahwa memelihara Buck dan mawar itu sama saja artinya dengan memelihara bagian dari dirimu yang tetap hidup bersamaku, bagian dirimu yang bahagia. Aku juga sadar mengapa ucapanmu sinis; kau bukannya tidak peduli, kau hanya terlalu tegang dan nyaris menangis. Ini karena kulit kerang yang pernah kukatakan padamu sebelumnya. Kulit kerangmu sangat menyesakkan hingga kau sulit bernapas. Ingatkah kau apa yang selalu kukatakan kepadamu selama bulan-bulan terakhir itu? Air mata yang tidak keluar akan mengendap di hati. Akhirnya air mata itu akan mengeras di sekeliling hati kita dan melumpuhkannya, sama seperti endapan air kotor melumpuhkan gigi roda mesin cuci.




Aku tahu, metafor-metaforku yang sederhana membuatmu jengkel. Tapi, maklumlah, setiap orang menarik inspirasi dari dunia yang paling dikenalnya.



Untuk sementara aku harus pergi. Buck mendesah dan memandangku dengan mata memohon. Ia salah satu contoh keteraturan alamiah. Dalam musim apa pun, ia tahu kapan waktunya makan dengan ketepatan jam Swiss.




***




18 November




SEMALAM hujan sangat lebat. Begitu kerasnya menerpa kaca jendela hingga beberapa kali aku jadi terbangun. Waktu membuka mata pagi ini, cuaca masih tampak muram, jadi kubiarkan diriku meringkuk lebih lama di balik selimut. Betapa segalanya berubah bersama berlalunya waktu! Ketika masih seusiamu, akus epertighiro 4). Kalau tak ada yang menggangguku, aku dapat tidur bahkan sampai waktu makan siang. Tetapi sekarang, sebelum fajar aku selalu sudah terjaga, hingga hari terasa amat panjang, bagai tiada berakhir. Kejam, ya kan? Lagi pula, saat-saat dini hari merupakan waktu paling mengerikan, sama sekali tak ada yang mengganggumu. Kau hanya ada di sana, tahu pikiranmu hanya akan kembali ke masa lalu. Pikiran-pikiran orang tua tidak memiliki masa depan, dan kebanyakan menyedihkan atau setidaknya melankolis. Sering kali aku bertanya-tanya mengenai hal ini. Dua hari yang lalu aku menonton film dokumenter televisi yang membuatku merenung. Film itu tentang mimpi-mimpi binatang. Semua makhluk dalam dunia binatang, mulai dari jenis burung, sering kali bermimpi. Burung parkit dan burung dara bermimpi, bajing dan kelinci bermimpi, anjing dan sapi yang berbaring di rerumputan juga bermimpi. Semua bermimpi, tetapi tidak dengan cara yang sama. Binatang-binatang yang menjadi mangsa mimpinya pendek, mungkin lebih berupa kilasan-kilasan daripada mimpi.




4) Binatang sejenis musang yang senang tidur. Di Italia ada pepatah "dorme come un ghiro", artinya tidur sampai siang.







Binatang pemangsa sebaliknya mempunyai mimpi-mimpi yang panjang dan rumit. "Bagi binatang," kata sang komentator, "bermimpi adalah cara mengatur strategi demi kelangsungan hidup. Para pemangsa menciptakan metode-metode baru untuk memperoleh makanannya. Hewan yang menjadi mangsa-pemakan tumbuhan yang makanannya selalu tersedia di depan mereka-harus memikirkan satu hal: cara melarikan diri yang paling cepat."




Antilop misalnya, ketika tidur hanya melihat padang rumput terbuka di depan dirinya, namun singa mengulang terus adegan mengenai segala hal yang mesti dilakukan sebelum ia berhasil memangsa si antilop. Kurasa ini berarti semasa muda kau adalah karnivora dan setelah tua herbivora. Sebab selain tidurnya sedikit, orang tua tidak bermimpi, atau kalaupun bermimpi, ia tak ingat lagi mimpinya. Sebaliknya anak-anak dan remaja bermimpi jauh lebih banyak dan mimpi mereka begitu hidup hingga dapat mempengaruhi suasana hati hari itu. Ingatkah kau bagaimana kau mulai menangis begitu terbangun beberapa bulan belakangan itu? Kau duduk di sana di depan secangkir kopi dan diam-diam air matamu mengalir ke pipi. Aku bertanya mengapa kau menangis dan kau kelihatan semakin jengkel dan berkata, "Mana kutahu?" Di usiamu ada banyak hal yang harus diatur di dalam dirimu. Ada banyak rencana, dan di dalam rencana-rencana itu ada ketidakpastian. Pikiran bawah sadarmu tidak memiliki keteraturan atau logika yang jelas; pikiran itu memunguti kerak-kerak hari itu, tak peduli betapa hancur dan busuknya, lalu mengaduknya dengan campuran aspirasimu yang paling dalam dan kebutuhan raga yang paling mendasar. Jadi orang yang kelaparan bermimpi duduk di depan meja dan tak berhasil makan, yang kedinginan bermimpi berada di Kutub Utara dan tidak mempunyai mantel, dan yang merasa terhina bermimpi menjadi tentara haus darah.




Apa saja mimpi-mimpimu di sana, di antara kaktus dan koboi? Betapa ingin aku mengetahuinya. Apakah terkadang aku juga muncul di sana, mungkin mengenakan pakaian wanita Indian? Apakah Buck muncul juga, menyamar sebagai coyote? Apakah kau merindukan kampung halaman? Apakah kau memikirkan kami?




Kemarin sore, selagi aku duduk membaca di kursiku, tiba-tiba aku mendengar suara yang berirama di kamar. Aku mendongak dan melihat Buck tidur sambil mengetuk-ngetukkan ekornya ke lantai. Ekspresi wajahnya begitu bahagia, dan aku yakin ia memimpikan dirimu. Mungkin kau baru saja pulang dan ia senang sekali, atau mungkin ia teringat saat berjalan-jalan bersamamu. Anjing begitu terbiasa dengan perasaan manusia. Mereka telah lama sekali hidup bersama kita, hingga kita jadi mirip. Itu sebabnya banyak orang membenci anjing. Sebab terlalu banyak hal pada diri mereka yang tercermin dalam pandangan anjing yang lembut dan merendah itu, hal-hal yang lebih baik tidak mereka ketahui. Buck sering memimpikan dirimu belakangan ini. Aku sendiri tidak bisa memimpikanmu, atau mungkin aku bermimpi namun tak bisa mengingatnya.




Ketika aku masih kecil, seorang saudara perempuan ayahku yang baru saja menjanda tinggal bersama kami untuk sementara waktu. Ia sangat percaya hal-hal yang berbau spiritual. Setiap kali orangtuaku tidak melihat, sambil bersembunyi di sudut yang gelap, diam-diam ia mengajariku mengenai kekuatan luar biasa dari pikiran. "Kalau kau ingin berhubungan dengan seseorang yang jauh," katanya, "kau harus menaruh fotonya di antara kedua telapak tanganmu, lalu melangkah tiga kali membentuk salib, dan berkata, ’Ini aku, aku di sini.’" Dengan begitu, menurut dia, aku bisa berkomunikasi secara telepati dengan orang itu.




Siang ini sebelum menulis, aku melakukannya. Kira-kira pukul lima. Di tempatmu pasti masih pagi. Apakah kau melihatku? Mendengarku? Aku melihatmu di salah satu bar yang penuh cahaya dan ubin warna- warni dan orang-orang yang makan roti lapis isi daging. Tempat itu penuh, namun aku bisa langsung melihatmu, karena kau mengenakan sweater yang terakhir kubuatkan untukmu, yang rajutannya merah dan biru. Namun, bayangan itu hanya sesaat dan sangat cepat, mirip film-film di televisi, hingga aku tak sempat memandang matamu. Apakah kau bahagia? Lebih dari apa pun, inilah yang penting bagiku, bahwa kau bahagia.




Ingatkah kau betapa sering kita berdiskusi tentang apakah aku harus membiayai sekolahmu di luar negeri? Kau bersikeras kepergianmu ini mutlak bagimu, bahwa pikiranmu akan mati jika kau tidak meninggalkan lingkungan menyesakkan tempat kau tumbuh selama ini. Kau baru saja menyelesaikan sekolah menengah dan kau sama sekali tidak tahu apa yang ingin kaulakukan kelak bila dewasa nanti. Sebagai gadis kecil minatmu sangat banyak: kau ingin menjadi dokter hewan, penjelajah, dokter bagi anak-anak miskin. Semua ambisi ini lenyap tanpa bekas. Perhatian yang pernah kautunjukkan terhadap sesama semakin berkurang bersama lewatnya waktu. Dalam waktu singkat sikap dermawan dan belas kasihmu telah berubah menjadi sinisme. Kau menarik diri dan menjadi obsesif terhadap nasibmu yang tidak bahagia. Jika kebetulan kita menonton berita yang kejam di televisi, kau menertawakan aku karena merasa shock dan simpati.



Kau berkata, "Pada usiamu yang sekarang, memangnya masih ada yang bisa membuatmu terkejut? Tak tahukah kau? Seleksi alamlah yang mengatur dunia!"




Mula-mula ucapan-ucapan seperti ini membuatku terkejut. Sepertinya aku duduk bersebelahan dengan monster. Aku melirikmu dan bertanya-tanya, dari mana gerangan kau muncul, inikah yang telah kau contoh dari teladanku? Aku tak pernah menyahutimu, sebab kurasa waktu berdialog telah berakhir, apa pun yang kukatakan hanya akan menimbulkan pertengkaran. Di satu sisi aku takut pada kelemahanku sendiri, khawatir aku akan buang-buang tenaga, dan di lain sisi aku merasa pertentangan terbuka seperti itulah yang kau cari-cari, dan setelah pertentangan terbuka pertama, akan disusul pertentangan lainnya, semakin lama semakin keras. Dapat kurasakan energi menggelegak di balik kata-katamu, energi yang nyaris tak tertahankan dan siap meledak. Aku tak ingin terpancing, berpura-pura mengabaikan seranganmu, dan karenanya kau terpaksa mencari pelepasan lain.




Dan kau pun mengancam akan pergi, lenyap dari hidupku tanpa jejak. Mungkin sangkamu aku akan bersikap seperti wanita tua yang putus asa, yang dengan rendah hati memohon agar kau tidak pergi. Ketika kukatakan kepergianmu ide yang bagus, kau mulai ragu. Kau seperti ular yang kepalanya tegak dan rahangnya terbuka, siap menyerang, namun tiba-tiba yang akan diserang itu lenyap. Lalu kau mulai bernegosiasi, membuat usulan-usulan yang tidak jelas, hingga akhirnya pada suatu hari saat minum kopi, dengan keyakinan baru kau berkata, "Aku akan pergi ke Amerika."




Aku menyambut keputusan ini seperti keputusan lainnya, penuh minat dan hangat. Aku tak ingin sikapku mendesakmu tergesa-gesa menentukan pilihan yang tidak benar-benar kau yakini. Dalam minggu-minggu berikutnya kau terus bicara tentang Amerika. "Bila aku tinggal selama setahun di sana," kau terus mengulangnya, "setidaknya aku bisa belajar bahasa dan tidak membuang-buang waktu." Kau marah sekali waktu aku berkata, tidak ada salahnya membuang-buang waktu. Dan kau paling marah ketika aku berkata bahwa hidup bukanlah perlombaan, melainkan membidik target: menghemat waktu tidaklah penting, yang penting membidik titik di tengah-tengah. Kau pun menepis dua cangkir kita dari meja, kemudian menangis sesenggukan. "Kau bodoh," katamu, seraya menutup wajah dengan tangan. "Kau bodoh. Tidak tahukah kau memang itulah yang kuinginkan?" Berminggu-minggu kita bagai dua prajurit yang telah menanam ranjau di medan perang dan sama-sama berhati-hati agar tidak menginjaknya. Kita tahu di mana dan apa ranjau itu dan kita berjalan saling menjauh, berpura-pura yang kita takuti adalah sesuatu yang lain. Ketika ranjau itu meledak dan kau menangis, mengatakan padaku kau tidak mengerti apa-apa; kau tidak akan pernah mengerti apa pun, aku harus berusaha keras menyembunyikan kebingunganku. Ibumu, bagaimana ia mengandungmu, kematiannya-aku tak pernah membicarakannya, dan sikap diamku membuatmu percaya bahwa aku tak peduli semua itu, bahwa semua itu tidak penting. Tapi ibumu adalah putriku, mungkin kau tidak menyadarinya. Atau barangkali kau menyadarinya, tetapi alih-alih membicarakannya, kau lebih suka menyimpannya dalam benakmu? Kalau bukan itu, bagaimana caranya aku menjelaskan caramu memandangku sesekali, atau ucapan penuh kebencian yang kau lontarkan padaku? Kau tidak memiliki ingatan apa-apa tentang ibumu, selain kehampaan di tempat seharusnya ia berada; kau masih terlalu kecil saat ia meninggal. Namun, aku memiliki 33 tahun yang sarat kenangan, 33 tahun ditambah sembilan bulan aku membawanya di dalam kandunganku.




Mana mungkin kau menganggap aku tidak peduli terhadap semua ini?




Perasaan dan egoisme yang besar, itulah yang membuatku tak pernah membicarakan masalah itu. Aku malu membicarakan ibumu karena mau tak mau itu akan merembet ke pembicaraan tentang diriku, tentang kesalahanku, entah nyata maupun tidak; dan aku egois karena aku mengira cintaku cukup besar untuk menggantikan ketiadaan cintanya, cukup besar untuk mencegah dirimu kehilangan dirinya dan bertanya padaku, "Siapakah ibuku, mengapa dia mati?"




Ketika kau masih kanak-kanak, kita bahagia. Hatimu yang kecil penuh dengan kegembiraan, namun kegembiraanmu selalu rumit dan dalam. Bayang-bayang pikiran yang serius selalu menanti setelahnya, hingga dari tawa kau bisa melangkah ke keheningan dengan begitu mudahnya. "Ada apa, apa yang kaupikirkan?" aku bertanya, dan kau, seolah bicara mengenai camilan soremu, menjawab, "Aku bertanya-tanya apakah langit berujung atau membentang hingga keabadian." Aku bangga kau seperti itu, kepekaanmu mirip kepekaanku. Aku tidak merasa ada jurang di antara kita: kita adalah teman dan rekanan. Aku memiliki angan-angan-aku memupuk angan-angan itu-segalanya akan seperti ini selamanya. Tapi sayangnya kita tidak terkurung dalam bola-bola sabun, yang melayang gembira di udara. Ada sebelum dan sesudah di dalam hidup kita, dan sebelum dan sesudah ini memerangkap kita, mengelilingi kita bagai jaring-jaring. Konon katanya dosa ayah diwariskan pada anak-anak.




Di dalam diriku tidak ada fokus, tidak ada pusat, dan aku tidak sanggup melihat hal itu tercermin di dunia di luar diriku. Aku harus ingat hal ini saat aku memintamu menyapu dedaunan itu!




Hubungan antara dirimu dan rumah serta apa pun di dalam dan di sekitarnya adalah salah satu hal yang hanya dapat dipahami setelah kau mencapai usia tertentu. Pada usia enam atau tujuh puluh kau tiba-tiba sadar bahwa rumah dan kebunmu lebih dari sekadar kebun dan rumah tempat kau hidup nyaman, entah karena kebetulan atau karena tempat itu indah. Tapi itu rumahmu, kebunmu, mereka milikmu, seperti rumah kerang adalah milik kerang yang hidup di dalamnya. Cairan-cairanmu telah membentuk kulit kerang itu, sejarahmu ada di antara garis-garisnya, rumah kerangmu membungkusmu, dan mungkin kehadiranmu, kebahagiaan, dan kegetiran yang kau rasakan di sana akan terus hidup di sana bahkan setelah kau tiada.




Kemarin sore rasanya aku tak ingin membaca, jadi aku menonton televisi. Sebenarnya lebih tepat aku mendengarkan, sebab tidak sampai setengah jam aku sudah tertidur. Aku mendengar penggalan kata-kata, mirip percakapan penumpang lain yang terputus-putus saat kau setengah tertidur di kereta api. Saat itu televisi menyiarkan program tentang sekte-sekte religius kontemporer. Para reporter mewawancarai orang-orang suci, beberapa benar-benar suci, beberapa tidak, semuanya melontarkan aliran kata-kata. Aku berkali-kali mendengar kata karma diucapkan, dan ini membuatku teringat pada guru filsafatku di sekolah menengah dulu.




Ia masih muda dan untuk waktu itu bisa dibilang seorang nonkonformis. Ketika menerangkan Schopenhauer, ia bicara sedikit tentang filsafat Timur. Dari sana ia memperkenalkan konsep karma. Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan istilah itu dan makna-masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Bertahun-tahun lamanya pikiran bawah sadarku menganggap karma merujuk pada semacam hukum balas dendam, mata ganti mata, siapa yang menabur dialah yang menuai, hal-hal seperti itu. Aku tidak memikirkan tentang karma atau apa pun yang berhubungan dengannya sampai ketika kepala sekolah taman kanak-kanakmu memanggilku untuk membicarakan perilakumu yang aneh. Kau membuat gempar seluruh sekolah. Pada jam mendongeng, sekonyong-konyong kau mulai bicara tentang kehidupanmu sebelumnya. Mula-mula para guru menganggapnya sikap kanak-kanak biasa. Mereka berusaha tidak membesar-besarkan ceritamu dan membuatmu terperangkap dalam kontradiksi. Tapi, kau sama sekali tidak terpancing, kau bahkan mengucapkan kata-kata dari bahasa yang tidak mereka kenal. Ketika kejadian berulang ketiga kalinya, kepala sekolah memanggilku. Demi kebaikan dan masa depanmu, ia menyarankan agar aku membawamu ke psikolog anak. "Dia menderita trauma," katanya, "wajar dia bersikap seperti ini-dia berusaha menghindari kenyataan." Tentu saja aku tak pernah membawamu ke psikolog. Bagiku kau seperti anak yang bahagia, aku cenderung percaya fantasimu itu tidak muncul dari ketidakberesan yang kau alami sekarang, tetapi dari sesuatu yang sama sekali berbeda. Aku tak pernah mendorongmu membicarakannya, dan kau tak pernah terdorong membicarakannya. Mungkin cerita-cerita yang begitu menggemparkan guru-gurumu langsung lenyap dari ingatanmu hari itu juga.



Kulihat pembicaraan tentang hal-hal semacam itu sudah menjadi mode tahun-tahun terakhir ini. Dulu topik-topik ini hanya diperuntukkan bagi segelintir orang, tetapi sekarang semua orang membicarakannya. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah surat kabar aku membaca bahwa di Amerika bahkan ada kelompok-kelompok kesadaran reinkarnasi. Orang-orang itu berkumpul dan berbicara mengenai kehidupan mereka sebelumnya. Jadi seorang ibu rumah tangga mungkin berkata, "Pada abad kesembilan belas aku ini perempuan jalanan di New Orleans, dan karena itulah sekarang aku tak bisa setia pada suamiku." Atau seorang petugas pompa bensin yang rasis menjelaskan alasan kebenciannya dengan fakta bahwa ia pernah dimakan oleh suku Bantu ketika mengadakan ekspedisi pada abad ke-16. Kebodohan yang menyedihkan! Karena kehilangan akar kebudayaannya sendiri, mereka menciptakan eksistensi masa lalu untuk mengisi ketidakpastian masa kini. Jika lingkaran kehidupan memiliki makna, aku yakin maknanya pasti berbeda dengan ini.




Setelah kejadian di taman kanak-kanak itu, aku membeli banyak buku yang kurasa bisa membantuku lebih memahamimu. Salah satu esai yang kubaca mengatakan, anak- anak yang mengingat dengan tepat kehidupan mereka sebelumnya adalah anak-anak yang akan meninggal mendadak dan dengan cara yang kejam. Beberapa obsesimu-pipa gas yang bocor, sebentar lagi semua bakal meledak-tak dapat dijelaskan oleh pengalaman-pengalaman masa kecilmu, sehingga aku dengan senang hati menjelaskannya seperti ini. Ketika kau lelah atau cemas atau tenggelam dalam mimpi, kau dikuasai ketakutan yang tidak masuk akal. Bukan hantu atau penyihir atau manusia serigala yang membuatmu takut. Kau takut seluruh alam semesta tiba-tiba meledak. Saat-saat pertama kau muncul di kamarku pada tengah malam, ketakutan setengah mati, aku langsung bangun dan menenangkanmu dan kemudian aku mengantarmu kembali ke kamarmu.




Kau terbaring di sana menggenggam tanganku dan memintaku menceritakan dongeng yang berakhir bahagia. Khawatir aku akan mengatakan hal-hal yang membuatmu gelisah, kau mula-mula menggambarkan bagaimana tepatnya jalan cerita yang kau inginkan, dan aku pun menceritakannya tepat seperti yang kauminta. Kuulangi dongeng itu satu, dua, tiga kali, setelah aku yakin kau sudah tenang, aku beranjak pergi ke kamarku. Saat itulah aku mendengar suaramu yang mengantuk bertanya, "Begitukah akhirnya? Benarkah selalu begitu akhirnya?"




Namun pada malam-malam yang lain, meskipun aku percaya tidak baik bagi anak-anak untuk tidur bersama orangtua, aku tak tega menyuruhmu kembali ke tempat tidurmu. Begitu aku merasakan kehadiranmu di dekat meja tempat tidur, tanpa membalikkan tubuh aku meyakinkanmu, "Semuanya baik-baik saja, tidak akan ada yang meledak, kembalilah ke kamarmu." Lalu aku berpura-pura terlelap. Aku mendengar napasmu yang lembut saat kau berdiri tak bergerak di sana, lalu tempat tidur berderit, dan dengan hati-hati kau menyelinap ke sebelahku dan tidur kelelahan, seperti tikus yang tiba di tempat persembunyiannya sehabis ketakutan. Pagi-pagi kuangkat dirimu-tubuhmu sehangat roti panggang dan kau tertidur pulas-dan mengembalikanmu ke kamarmu. Ketika bangun kau nyaris tak ingat apa pun, kau nyaris selalu yakin kau telah melewatkan sepanjang malam di tempat tidurmu sendiri.




Ketika kepanikan-kepanikan ini menyerangmu di siang hari, dengan lembut aku berkata, "Lihat, betapa kokohnya rumah kita. Lihat betapa tebal dindingnya, mana mungkin meledak?" Namun, usahaku untuk meyakinkanmu sama sekali sia-sia, dengan mata terbelalak kau terus mengamati kekosongan di depanmu sambil mengulang-ulang, "Semua bisa meledak." Tak pernah aku berhenti bertanya-tanya mengenai ketakutanmu ini. Ledakan apakah yang kau maksudkan itu? Mungkinkah itu ingatan tentang ibumu, tentang akhir hidupnya yang tragis dan mendadak? Apakah itu milik kehidupan yang dengan enteng kau ceritakan kepada guru-guru sekolah taman kanak-kanakmu? Atau mungkinkah kedua hal itu bercampur aduk di suatu sudut tak terjangkau dalam ingatanmu? Tak seorang pun tahu. Apa pun kata orang, aku yakin di dalam kepala manusia ada lebih banyak bayangan daripada cahaya. Buku yang kuceritakan itu juga mengatakan bahwa anak-anak yang ingat kehidupannya yang dulu lebih banyak terdapat di India dan wilayah Timur lainnya, di negara-negara di mana konsep seperti itu secara tradisional diterima. Tidak sulit bagiku untuk mempercayainya. Tapi bayangkan apa yang akan terjadi bila aku menghampiri ibuku dan mulai bicara menggunakan bahasa lain, atau mengatakan kepadanya, "Aku tak tahan menghadapimu, aku lebih menyukai ibuku dalam kehidupan yang lalu." Percayalah, dia akan mengirimku ke rumah sakit jiwa hari itu juga.




Adakah jalan untuk membebaskan diri dari takdir yang diciptakan oleh lingkungan dan genetikmu? Aku tak tahu. Mungkin di satu titik pada rangkaian klaustrofobia yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya seseorang berhasil melihat sebuah anak tangga di atasnya dan dengan segenap tenaga berusaha naik ke sana. Menghancurkan satu mata rantai, membiarkan udara segar masuk ke kamar-kurasa inilah rahasia kecil siklus kehidupan. Kecil namun melelahkan, dan menakutkan dalam ketidakpastiannya.




Ibuku menikah pada usia enam belas, pada usia tujuh belas tahun ia melahirkan aku. Sepanjang masa kecilku-bukan, sepanjang hidupku-aku tak pernah melihatnya menunjukkan isyarat kasih sayang. Ia tidak menikah karena cinta. Tak seorang pun memaksanya menikah, dialah yang memaksa dirinya sendiri, terlebih karena ibuku kaya raya dan mendambakan nama bangsawan, meskipun ia wanita Yahudi dan lebih cocok mengenakan sepatu bot. Ayahku, yang usianya jauh lebih tua dari ibuku, adalah bangsawan yang menyukai musik. Ia terpesona oleh bakat menyanyi ibuku. Setelah memiliki pewaris yang dibutuhkan untuk meneruskan nama bangsawan mereka, mereka menjalani sisa hidup dengan penuh kedengkian dan dendam. Ibuku meninggal karena kecewa dan marah, dan tak pernah terpikir olehnya bahwa sebagian kesalahan itu kemungkinan merupakan salahnya. Dunia yang kejam ini bersalah karena tidak menawarinya pilihan-pilihan yang lebih baik. Aku sangat berbeda darinya, dan pada usia tujuh tahun, setelah terbebas dari ketergantungan kanak-kanak, aku mulai tidak tahan menghadapinya.




Ia membuatku sangat menderita. Ia tak henti-hentinya marah, selalu dan hanya karena alasan-alasan kecil. "Kesempurnaan" yang dibanggakannya membuat aku merasa diriku jahat, dan kesepian merupakan harga kejahatanku. Awalnya aku berusaha menjadi seperti dirinya, namun semua itu canggung dan selalu berakhir menyedihkan. Semakin aku berusaha, semakin aku jengah. Pengingkaran diri membuatmu jijik pada dirimu sendiri, dan setelah itu kau pun akan marah. Begitu aku menyadari cinta ibuku mementingkan kulit luar, yaitu bagaimana aku seharusnya dan bukannya bagaimana aku sebenarnya, aku mulai membencinya, di dalam kerahasiaan kamar dan hatiku.



Agar terlepas dari perasaan ini aku bersembunyi di dunia milikku. Malam hari di atas tempat tidur aku akan menyelubungi lampu dengan kain dan membaca buku-buku petualangan hingga larut malam.




Aku senang berfantasi. Selama beberapa waktu aku berkhayal menjadi bajak laut di Laut Cina, bajak laut istimewa yang merampok demi membantu orang miskin. Dari fantasi itu aku beralih ke fantasi altruistik; kurasa aku akan menjadi dokter dan pergi ke Afrika untuk merawat anak-anak kulit hitam. Pada usia empat belas tahun aku membaca biografi Schliemann dan menyadari aku tak mungkin merawat orang-orang sakit karena cinta sejatiku adalah arkeologi. Dari antara semua karier yang kukhayalkan, aku masih yakin arkeologilah satu-satunya pilihan yang tepat bagiku.



Dan sebenarnya, demi mewujudkan impianku, untuk pertama dan terakhir kali, aku menentang ayahku: aku ingin ia mengirimku ke jurusan sastra dan bahasa Yunani dan Romawi. Tidak mungkin dan tidak ada gunanya, katanya, lagi pula kalau aku ingin belajar sastra dan bahasa Yunani dan Romawi, aku harus mempelajari bahasa-bahasa yang lebih modern. Akhirnya, aku mendapatkan apa yang kuinginkan, dan aku meninggalkan ginnasio dengan penuh kemenangan. Namun, aku keliru. Ketika pada akhir sekolah menengah aku mengutarakan keinginanku masuk universitas di Roma, jawaban ayahku tegas, "Aku tidak ingin membicarakannya." Dan sesuai dengan kebiasaan waktu itu, aku pun tunduk tanpa membantah sepatah kata pun. Orang-orang muda sering kali percaya bahwa memenangkan sebuah perjuangan berarti memenangkan peperangan; itu salah. Sekarang bila memikirkannya lagi, aku percaya jika aku terus berusaha, akhirnya ayahku akan menyerah juga. Penolakannya yang tegas tersebut merupakan bagian dari sistem pendidikan saat itu. Tak seorang pun percaya anak-anak muda mampu membuat keputusan sendiri. Akibatnya, ketika mereka menunjukkan pemikirannya sendiri, mereka harus bisa membuktikannya. Karena aku langsung menyerah, itu membuktikan pada orangtuaku bahwa keinginan itu hanyalah impian semusim.




Bagi ayah dan ibuku, anak-anak terutama merupakan tugas sosial. Mereka mengabaikan perkembangan pribadiku; dan pada saat yang sama mereka sangat keras soal aspek-aspek paling dangkal mengenai perilaku yang baik. Aku harus duduk tegak di meja dengan siku menempel di kedua sisi tubuhku. Kalaupun ketika melakukannya segenap pikiranku terfokus pada cara paling praktis untuk mengakhiri hidupku, itu tidaklah penting. Yang tampak, itulah yang penting; yang lain boleh diabaikan.




Maka aku pun tumbuh dengan perasaan bahwa aku sejenis kera yang harus dilatih dengan hati-hati, bukannya manusia dengan kebahagiaan dan kekecewaan dan kebutuhan untuk dicintai. Kekecewaan segera saja menciptakan kesepian teramat besar dalam diriku, perasaan kesepian yang semakin menyelimutiku bersama dengan lewatnya waktu, seperti kehampaan yang kumasuki dengan gerakan penerjun yang pelan dan canggung. Rasa kesepian itu juga muncul dari pertanyaan- pertanyaan yang kuajukan kepada diriku sendiri dan tak bisa kujawab. Pada usia lima atau enam tahun aku akan memandang sekitarku dan bertanya-tanya, mengapa aku berada di sini? Dari mana aku datang, dari mana datangnya semua hal yang kulihat di sekitarku, ada apakah di balik semua itu, apakah semuanya selalu ada di sini bahkan kalaupun aku tidak ada, apakah semua itu abadi selamanya? Aku melontarkan semua pertanyaan yang diajukan kanak-kanak yang peka ketika mereka mulai melihat kerumitan dunia ini. Aku yakin orang-orang dewasa menanyai diri mereka pertanyaan-pertanyaan ini, dan mereka mengetahui jawabannya. Setelah dua atau tiga kali aku mencoba bertanya kepada ibu dan pengasuhku, aku sadar mereka bukan saja tidak mengetahui jawabannya, melainkan juga pertanyaan ini tak pernah terpikir oleh mereka.




Karenanya perasaan kesepianku pun semakin besar. Aku harus memecahkan setiap teka-teki tanpa bantuan. Semakin hari aku semakin mempertanyakan segala sesuatu, pertanyaan-pertanyaanku selalu semakin dalam, semakin mengerikan, hanya memikirkannya saja aku sudah ngeri.




Kematian pertama dalam hidupku terjadi saat aku berusia enam tahun. Ayahku mempunyai anjing berburu, namanya Argo. Anjing itu jinak dan menyenangkan dan dia teman bermain favoritku. Siang demi siang kuhabiskan dengan memberinya makan kue-kue yang dibuat dari lumpur campur rumput, atau kadang-kadang aku menjadi penata rambut dan ia pelangganku, dan tanpa mengeluh ia akan berjalan-jalan di kebun dengan jepit-jepit rambut menghiasi telinganya. Namun pada suatu hari, ketika aku mendandaninya dengan mode rambut baru, aku melihat benjolan di bawah lehernya. Selama beberapa minggu ia tak pernah lagi berlari dan melompat-lompat seperti biasanya-ia bahkan tidak lagi berdiri di depanku dan mendesah penuh harap setiap kali aku makan sesuatu.




Suatu siang aku pulang dari sekolah, dan tidak menemukan Argo menungguku di gerbang. Mula-mula kusangka ia pergi ke suatu tempat bersama ayahku. Tetapi ketika aku melihat ayahku duduk di ruang kerja tanpa Argo di kakinya, aku pun mulai cemas. Aku pergi ke luar, dan sambil berteriak keras-keras aku memanggilnya ke seluruh kebun, lalu masuk lagi ke rumah dan mencari ke mana-mana dua atau tiga kali.




Jenjang sekolah menengah di Italia, dua tahun terakhir, yang menentukan bisa tidaknya seseorang melanjutkan ke perguruan tinggi.




Malam itu, saat aku memberikan ciuman selamat malam wajib kepada orangtuaku, aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk bertanya kepada ayahku, "Di mana Argo?" "Argo," katanya tanpa mendongak dari surat kabarnya. "Argo telah pergi." "Tapi kenapa?" tanyaku. "Karena dia bosan dengan perlakuanmu."




Tidak sensitif? Picik? Sadis? Jawaban apa itu? Begitu aku mendengar kata-kata itu, sesuatu dalam diriku lahir. Aku mulai tidak bisa tidur, dan di waktu siang sesuatu yang tak berarti bisa membuatku menangis. Setelah sebulan atau dua bulan, seorang dokter anak dipanggil. "Anak ini kecapekan," katanya, dan ia memberiku minyak ikan. Mengapa aku tidak bisa tidur, mengapa aku selalu membawa-bawa bola yang penuh bekas gigitan Argo, tak seorang pun bertanya kepadaku.




Berdasarkan ingatanku, episode itu menandai langkahku memasuki dunia orang dewasa. Pada usia enam tahun? Benar, pada usia enam tahun. Argo telah pergi karena aku jahat, karenanya perilakuku tidak lagi netral; perilakuku mempengaruhi sekitarku, perilakuku merusak, membuat sesuatu lenyap.




Takut melakukan kesalahan lain, pelan-pelan aku jadi apatis, ragu-ragu, pasif. Di malam hari aku menggenggam bola itu sambil menangis, lalu berkata, "Argo, kumohon, kembalilah, kalaupun aku salah aku mencintaimu lebih dari apa pun." Ketika ayahku membawa anjing baru, melihatnya pun aku tak mau. Aku ingin dia tetap seperti itu, sesuatu yang asing bagiku.




Dalam membesarkan anak-anak saat itu, kemunafikan sangatlah dominan. Aku ingat benar berjalan-jalan bersama ayahku pada suatu hari dan menemukan bangkai burung robin di bawah pagar tanaman. Tanpa takut aku mengangkat bangkai burung itu dan menunjukkannya kepada ayahku. "Lepaskan!" serunya segera. "Tidakkah kau tahu burung itu sedang tidur?" Seperti cinta, kematian adalah topik yang tak boleh dibahas. Tidakkah akan beribu kali lebih baik kalau ia mengatakan Argo telah mati? Ayahku dapat memelukku dan mengatakan, "Aku terpaksa membuatnya mati karena dia sakit dan sangat menderita. Di tempat tinggalnya sekarang dia jauh lebih bahagia." Tentu saja aku akan lebih banyak menangis, aku akan merasa putus asa, berbulan-bulan aku akan pergi ke tempat dia dikuburkan, di situ aku akan berbicara panjang-lebar kepadanya. Tapi perlahan-lahan aku akan mulai melupakannya, hal-hal lain akan membuatku lebih tertarik, aku akan mempunyai minat lain dan Argo akan lenyap di balik pikiran-pikiran lalu menjelma sebagai ingatan indah masa kecilku. Tapi dengan cara ini, sebaliknya, Argo menjadi sesuatu yang mati dan kubawa terus dalam diriku.




Itu sebabnya kukatakan aku menjadi dewasa pada umur enam tahun, karena pada usia itu kebahagiaanku digantikan kegelisahan, keingintahuanku digantikan ketidakpedulian. Apakah ayah dan ibuku monster? Tidak, sama sekali tidak. Untuk waktu itu mereka sama sekali normal.




Hanya setelah tualah ibuku mulai menceritakan beberapa hal tentang masa kanak-kanaknya. Ibunya meninggal ketika ia masih kecil. Sebelum ia lahir, ada seorang kakak laki-laki yang meninggal pada usia tiga tahun akibat radang paru-paru. Ia dikandung tak lama setelahnya, dan sungguh sial baginya karena dilahirkan tidak saja sebagai perempuan, melainkan juga pada hari kematian kakaknya. Untuk mengenang kesedihan yang kebetulan ini, selama usia menyusu ia selalu diberi pakaian berkabung. Di atas buaiannya terpampang potret kakaknya, dalam cat minyak; setiap kali ia membuka mata potret itu mengingatkannya bahwa ia hanyalah pengganti, jiplakan kabur dari orang lain yang lebih baik. Kau mengerti? Jadi mana mungkin aku menyalahkannya karena telah bersikap dingin, menyalahkan pilihan-pilihannya yang tolol, sikapnya yang tertutup? Dan bila kita bisa mundur lebih jauh lagi dan melihat ibunya, atau neneknya, siapa yang tahu apa lagi yang akan kita temukan.




Ketidakbahagiaan biasanya mengikuti garis perempuan; menurun dari ibu ke anak perempuan, laksana kelainan genetika. Dan bukannya melemah dari generasi ke generasi, kelainan ini malah semakin kuat, sulit dilenyapkan, dan dalam. Bagi lelaki masalahnya sangat berbeda, mereka memiliki karier, politik, perang, mereka bisa menyalurkan energi mereka. Kita tidak. Selama ratusan generasi kita hanya berkutat dari kamar tidur, dapur, dan kamar mandi; kita telah mengambil ribuan langkah dan gerakan, dan setiap langkah dan gerakan memiliki kemarahan dan ketidakpuasan yang sama. Apakah aku telah menjadi feminis? Tidak, jangan khawatir, aku hanya mencoba melihat dengan jelas ada apa di balik semua ini.




Ingatkah kau bagaimana pada setiap Agustus kita pergi ke sebuah semenanjung untuk menonton kembang api yang ditembakkan ke atas laut? Sesekali kita melihat satu kembang api meledak sebelum naik cukup tinggi. Nah, setiap kali aku memikirkan hidup ibuku atau nenekku, atau kehidupan banyak orang yang kukenal, kenangan itulah yang berkelebat di benakku-kembang api yang meledak sebelum sempat melesat tinggi di langit.




***




21 November




AKU membaca entah di mana bahwa Manzoni, ketika menulis I Promessi bangun setiap pagi dengan hati gembira karena akan bertemu lagi dengan semua tokohnya. Aku tidaklah demikian. Meskipun bertahun-tahun telah berlalu, aku masih juga tidak merasakan kegembiraan untuk membicarakan keluargaku. Ibuku tetap tinggal dalam ingatanku sekaku dan sekejam serdadu. Pagi ini, untuk sedikit mengendurkan ketegangan antara diriku dan dia, antara diriku dan kenanganku, aku berjalan-jalan di kebun. Semalam hujan turun, di barat langit cerah namun awan kelabu masih menggantung di belakang rumah. Sebelum gerimis turun lagi aku masuk ke rumah. Tak lama kemudian gerimis itu berubah menjadi hujan angin. Di dalam rumah sangat gelap hingga aku harus menyalakan lampu. Kucabut kabel televisi dan lemari es agar tidak rusak bila tersambar petir, lalu kumasukkan senter ke saku dan pergi ke dapur untuk pertemuan harian kita.




Namun begitu duduk, aku sadar diriku belum siap. Mungkin terlalu banyak muatan listrik di udara, hingga pikiranku melesat ke sana kemari bagai bunga-bunga api. Jadi aku bangkit dan berkeliling sebentar di rumah, tanpa tujuan, ditemani Buck si pemberani. Aku masuk ke kamar tempat aku dulu tidur dengan kakekmu, lalu ke kamarku yang sekarang-kamar ibumu-lalu ke kamar makan yang sudah lama tak terpakai, dan akhirnya ke kamarmu. Selama aku keluar-masuk kamar- kamar ini aku teringat kesan pertama yang kudapatkan dari rumah ini saat aku pertama kali memasukinya: aku sama sekali tidak menyukainya. Rumah ini bukan aku yang memilih, melainkan suamiku, Augusto, dan ia tergesa-gesa waktu memilihnya. Kami membutuhkan tempat tinggal dan tidak bisa menunggu lagi. Karena rumah ini cukup besar dan ada kebunnya, menurut dia rumah ini dapat memenuhi semua kebutuhan kami. Ketika kami pertama kali membuka pintu gerbang, menurutku tempat ini benar-benar buruk, bahkan bisa dibilang tak punya selera: warna dan bentuk ruangannya tak ada yang sama. Dari satu sisi, rumah itu seperti rumah vila model Swiss, sedangkan dari sisi lain, dengan jendelanya yang bulat besar dan atapnya, rumah itu mirip rumah Belanda yang menghadap ke kanal-kanal itu. Jika kau memandangnya dari jauh, dengan ketujuh cerobong yang semuanya berbeda, tahulah kau rumah itu hanya ada di dalam dongeng. Meski dibangun pada tahun dua puluhan, rumah itu tidak menunjukkan kekhasan masa itu. Rumah itu seperti tidak memiliki identitas, dan ini membuatku tidak tenang. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk membiasakan diri pada gagasan bahwa rumah itu milikku, bahwa keberadaan keluargaku termuat dalam tembok-tembok rumah itu.




Saat aku berada di kamarmu, kilat menyambar tak begitu jauh hingga aliran listrik mati. Alih-alih menyalakan senter aku berbaring di tempat tidur. Di luar terdengar deru hujan lebat dan lecutan angin, sedang di dalam terdengar berbagai suara, deritan dan debam-debam lembut, erangan kayu yang mengatur diri. Sesaat kupejamkan mataku dan rumah ini terasa bagai kapal layar besar yang meluncur di padang rumput. Badai baru luruh menjelang makan siang. Dari jendela kamarmu aku melihat dua dahan pohon kenari telah tumbang ke tanah.




Kini aku kembali ke dapur, medan pertempuranku. Aku sudah selesai makan dan mencuci sedikit peralatan makan. Buck terlelap di kakiku, kelelahan oleh hujan badai pagi tadi. Semakin tua usianya, semakin ia takut pada hujan badai, hingga sulit baginya untuk kembali merasa tenteram.




Salah satu buku yang kubeli ketika kau di taman kanak-kanak mengatakan bahwa keluarga tempat kau dilahirkan ditentukan oleh kehidupanmu di masa lalu. Kita mendapatkan ayah ini atau ibu itu karena hanya ayah ini atau ibu itu yang memungkinkan kita untuk memahami sesuatu dengan lebih baik lagi, untuk mengambil langkah maju meskipun sangat kecil. Tapi jika benar demikian, aku bertanya-tanya, mengapa segala sesuatu berhenti selama bergenerasi-generasi? Mengapa alih-alih melangkah maju, kita malah menoleh ke belakang?




Menurut artikel yang baru-baru ini kubaca di surat kabar, bisa jadi evolusi tidaklah seperti yang selalu dipikirkan orang. Teori-teori terakhir mengatakan perubahan tidak terjadi secara bertahap. Kaki yang lebih panjang atau paruh yang multiguna tidak terbentuk perlahan-lahan, milimeter demi milimeter, generasi demi generasi. Tidak, semua itu muncul tiba-tiba; dari ibu ke anak segalanya berubah, segalanya berbeda. Tulang-belulang yang ditinggalkan-seperti tulang rahang, kuku, tengkorak dengan gigi berbeda-membuktikan hal ini. Bentuk- bentuk lanjutan tak pernah ditemukan di kebanyakan spesies. Si kakek seperti ini, cucu lelakinya seperti itu, ada lompatan antara satu generasi ke generasi berikutnya. Bagaimana jika kehidupan batin manusia seperti ini juga?




Perubahan-perubahan menumpuk diam-diam, perlahan-lahan, sangat pelan, dan pada suatu hari perubahan-perubahan itu meledak. Sekonyong-konyong seseorang memotong siklus itu, memutuskan menjadi berbeda.




* Novel terkenal di Italia yang ditulis oleh Alessandro Manzoni, terbit antara tahun 1825-1827.







Nasib, faktor keturunan, cara kita dibesarkan, di manakah sesuatu dimulai, dan di manakah yang lain berakhir? Jikalau kau berhenti dan sesaat merenungkan misteri ini, hatimu pun akan cemas.




Tak lama sebelum aku menikah, saudara perempuan ayahku-seorang spiritualis-menyuruh temannya yang peramal membaca horoskopku. Suatu hari ia mendatangiku dengan selembar kertas di tangan dan berkata, "Lihatlah, inilah masa depanmu." Di kertas itu ada gambar geometris; banyak gambar planet dan garis-garis serta sudut-sudut menarik. Aku ingat saat itu aku berpikir tak ada harmoni pada gambar itu, tak ada kontinuitas, hanya serentetan lompatan dan kelokan yang demikian tajam hingga nyaris tak terkontrol. Di baliknya si peramal menulis: "Langkah yang sulit, kau harus mempersenjatai diri dengan segala kebajikan sebelum kau dapat menjalaninya dengan tuntas."




Aku benar-benar terpukul. Hingga saat itu hidupku tampaknya sangat dangkal, memang ada beberapa kesulitan, tapi sepertinya sama sekali bukan apa-apa, lebih merupakan retakan dan bukannya jurang masa remaja. Bahkan kemudian, sebagai wanita dewasa, istri, ibu, janda, dan nenek, semuanya biasa-biasa saja. Satu-satunya peristiwa luar biasa, jika dapat dikatakan demikian, adalah kematian tragis ibumu. Namun jika kulihat hidupku dengan saksama, pada dasarnya gambar itu benar. Di balik kulit luar yang keras dan tetap, di balik rutinitas membosankan dalam kehidupan wanita kelas menengah, ada gerakan yang terus-menerus, kemenangan-kemenangan kecil, luka-luka, kegelapan yang tiba-tiba, dan jurang-jurang yang dalam. Sering kali dalam hidupku aku merasa putus asa, aku merasa seperti serdadu yang berjalan di tempat dan tak pernah sampai ke mana pun. Waktu berubah, manusia berubah, segala sesuatu di sekitarku berubah, dan bagiku sepertinya aku masih sama.




Kematian ibumu membuatku berhenti berjalan di tempat. Pandanganku mengenai diriku sendiri, yang sudah cukup sederhana, tiba-tiba runtuh. Mungkin aku sudah menghasilkan sedikit kemajuan, batinku, namun sekarang aku malah mundur dan mencapai titik paling rendah. Ada hari-hari ketika aku khawatir tidak akan berhasil, tampaknya pemahaman minimum yang kuperoleh sejauh ini telah hancur sekali pukul. Untunglah aku tidak dapat membiarkan diriku merana berkepanjangan; hidup terus berjalan, pun tuntutan-tuntutannya.




Kaulah kehidupan itu. Saat kau datang tubuhmu masih mungil, tak berdaya. Kau tidak memiliki siapa pun di dunia ini, dan kau memenuhi rumah yang sunyi dan getir ini dengan tawa dan tangismu yang tak terduga-duga. Aku ingat melihat kepala bayimu yang besar, bergerak di antara meja dan tempat tidur, seraya berpikir, semuanya belum berakhir. Berkat faktor kebetulan yang sama sekali tidak terduga, aku diberi kesempatan lain.




Kebetulan, suatu kali suami Mrs Morpurgo memberitahuku bahwa dalam bahasa Ibrani, kata itu tidak ada. Untuk menunjukkan sesuatu yang bersifat kebetulan, kau terpaksa menggunakan kata asing, hazard yang berasal dari bahasa Arab, az-zahr. Aneh bukan? Aneh namun menenteramkan: di mana ada Tuhan, tak mungkin ada kebetulan, bahkan untuk bunyi sederhana untuk mendeskripsikannya sekalipun. Segala sesuatu disusun dan diatur oleh Tuhan, segala sesuatu yang menimpamu terjadi karena suatu maksud. Aku selalu iri pada mereka yang memandang alam semesta tanpa ragu seperti ini-bagi mereka, pilihan itu sangat ringan. Sedangkan bagiku, meskipun bermaksud baik, aku tak pernah dapat memandang segala sesuatu seperti ini lebih dari dua hari berturut-turut. Jika aku memikirkan kengerian dan ketidakadilan di dunia ini, aku selalu kembali ke kebiasaan burukku; alih-alih membenarkannya dan bersyukur, aku selalu dipenuhi kemarahan dan pemberontakan.




Dan sekarang aku akan melakukan sesuatu yang sangat berani: aku akan mengirimimu ciuman. Aku tahu, kau benci ciuman, ya kan? Bila menerpa kulit kerangmu, ciuman itu memantul bagai bola tenis. Tetapi biarlah, entah kau senang atau tidak, aku akan mengirimimu ciuman, kau tidak bisa melakukan apa-apa mengenainya, ciuman ini transparan dan ringan dan melayang menyeberangi lautan.




Aku lelah. Dengan gelisah, kubaca kembali semua yang telah kutulis sampai sekarang. Apakah kau akan memahaminya? Begitu banyak hal memenuhi kepalaku, semuanya ingin keluar dan mereka saling dorong seperti para wanita yang bersesakan di obralan akhir musim. Aku tak pernah dapat mengatur pikiran-pikiranku hingga mereka bergerak menurut nalar dari awal hingga akhir. Kadang-kadang aku berpikir, mungkinkah itu karena aku tak pernah belajar di perguruan tinggi? Aku telah banyak membaca buku, aku penasaran mengenai banyak hal, tetapi selalu sambil memikirkan popok, kompor, juga perasaanku sendiri.




Seorang ahli botani yang melintasi padang rumput akan memetik bunga secara teratur, ia tahu apa yang membuatnya tertarik dan apa yang tidak; ia memilih, memutuskan, dan menentukan relasi-relasi. Namun, seorang gipsi akan memilih bunga-bunga itu dengan cara berbeda, ia memilih bunga yang satu karena warnanya kuning, yang lain karena biru, yang lain lagi karena harum, yang berikutnya karena tumbuh di tepi jalan. Aku yakin beginilah caraku mengumpulkan pengetahuan. Ibumu senantiasa menyalahkan aku soal itu.




SETIAP kali kami berdiskusi, segera saja aku menyerah. "Kau sama sekali tidak bisa berargumen," katanya. "Seperti semua orang borjuis, tak benar-benar mampu membela apa yang kau yakini."




Sebagaimana kau dikuasai oleh semacam kegelisahan liar entah apa namanya, demikian pula ibumu dikuasai oleh ideologi. Baginya, kenyataan bahwa aku lebih suka membicarakan hal-hal kecil daripada yang besar-besar cukup menjadi alasan untuk marah kepadaku. Ia menyebut diriku reaksioner dan sakit oleh fantasi borjuis. Menurut pandangannya, aku ini kaya dan karenanya aku mengabdi pada limpahan kemewahan dan tentu saja itu jahat.




Dari caranya memandangku, kadang-kadang aku yakin bila ia memimpin sebuah pengadilan, ia akan memvonisku dengan hukuman mati. Aku bersalah karena hidup dalam rumah luas berkebun dan bukannya di gubuk atau rumah petak di kampung. Bukan cuma itu, aku mewarisi sejumlah uang untuk menunjang kehidupan kami. Agar tidak melakukan kesalahan yang dilakukan orangtuaku, aku menaruh minat atau setidaknya mencoba menaruh minat pada apa yang dikatakannya. Aku tak pernah menertawakannya, dan aku tak pernah membiarkannya tahu betapa aneh gagasan-gagasannya bagiku, meskipun aku yakin ia tahu aku enggan menghadapi ucapan-ucapannya yang aneh itu.




Ilaria belajar di universitas di Padua. Sebenarnya ia bisa masuk Trieste, tapi ia tidak tahan hidup berdekatan terus denganku. Jika aku mengatakan ingin mengunjunginya, ia hanya menjawab dengan kebisuan tak bersahabat. Studinya berjalan cukup lamban. Entah dengan siapa ia tinggal, ia tak pernah mau memberitahuku. Aku amat mencemaskannya, karena tubuhnya sangat lemah. Waktu itu tahun 1968, terjadi kerusuhan Mei di Paris, yaitu gerakan mahasiswa besar-besaran ketika universitas-universitas diduduki. Dari cerita-ceritanya yang langka lewat telepon, aku sadar aku tak sanggup lagi mengikutinya. Ia selalu bersemangat mengenai sesuatu dan sesuatu ini selalu berganti- ganti setiap saat. Kumainkan peranku sebagai ibu, mencoba memahaminya, namun rasanya sukar sekali. Segalanya kacau, sulit dipahami, terlalu banyak ide baru, terlalu banyak kemutlakan. Alih-alih bicara dengan kata-katanya sendiri, Ilaria mengucapkan satu slogan di belakang slogan lainnya. Aku mencemaskan keseimbangan psikisnya, khawatir kecenderungannya bersikap arogan diperkuat oleh perasaan bahwa dirinya adalah bagian dari sekelompok orang yang memiliki kepastian-kepastian dan dogma-dogma kaku yang sama.




Pada tahun keenamnya di universitas, kebisuannya yang lebih panjang daripada biasanya membuatku sangat khawatir hingga aku naik kereta dan pergi mengunjunginya. Sejak ia tinggal di Padua, aku belum pernah melakukan hal seperti ini. Saat membuka pintu ia terkejut. Alih-alih menyambutku, ia malah memarahiku. "Siapa yang mengundangmu?" dan tanpa memberiku kesempatan menjawab ia menambahkan, "Harusnya kau memberi tahu kau mau datang. Aku baru saja mau keluar. Pagi ini aku ada ujian." Karena ia masih mengenakan baju tidur, jelas ia berbohong. Pura-pura tidak menyadarinya aku pun berkata, "Tidak apa-apa. Kalau begitu aku akan menunggu dan kita akan merayakan hasilnya bersama-sama." Tak lama kemudian ia memang pergi, begitu tergesanya hingga buku- bukunya tertinggal di meja.




Setelah sendirian di apartemennya, aku melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan seorang ibu. Aku mulai menggeledah laci-laci, mencoba mencari tanda-tanda yang akan membantuku memahami arah hidupnya. Aku tak bermaksud memata-matai atau mengecamnya, aku tidak tertarik untuk menginterogasinya, hal-hal seperti ini tak ada dalam karakterku. Hanya saja ada kecemasan besar dalam diriku dan aku tak bisa tenang sampai aku menemukan suatu tanda. Selain brosur dan pamflet propaganda revolusioner, aku tidak menemukan apa-apa, tidak surat maupun buku harian. Pada salah satu dinding kamar tidurnya ada poster bertulisan "Keluarga itu khayalan dan sifatnya menstimulir. Seperti kamar gas". Ini bisa menjadi tanda.




Ilaria pulang sebelum senja, wajahnya sama lelahnya seperti waktu ia pergi tadi. "Bagaimana ujiannya?" tanyaku, dengan nada sayang. Ia mengangkat bahu. "Seperti yang lain," katanya, lalu menambahkan, "karena itukah kau datang, untuk mengecekku?" Aku ingin menghindari pertengkaran, jadi dengan tenang aku menyahut bahwa hanya satu yang kuinginkan, yakni mengobrol sebentar dengannya.




"Mengobrol?" ulangnya kurang percaya. "Tentang apa? Tentang minat mistikmu?"




"Tentang dirimu, Ilaria," kataku lembut, mencoba menatap matanya. Ia tak mau memandangku, dan malah menatap sebatang willow tua seraya menghampiri jendela. "Aku tak ingin bicara apa-apa, setidaknya tidak denganmu. Aku tak ingin membuang-buang waktu membicarakan obrolan rahasia model borjuis." Lalu ia berpaling dari willow itu ke jam tangannya dan berkata, "Aku telat, ada rapat penting. Kau harus pergi." Aku mengabaikannya, dan alih-alih keluar, aku malah menghampiri dan meraih tangannya. "Apa yang terjadi?" aku bertanya, "apa yang membuatmu menderita?" Napasnya makin cepat. "Sedih hatiku melihatmu seperti ini," aku menambahkan. "Kalaupun kau menolakku sebagai ibu, aku tidak menolakmu sebagai anakku."




"Aku ingin menolongmu, namun jika kau tidak menginginkannya, aku tak dapat melakukannya." Dagunya mulai bergetar seperti ketika masih kanak-kanak. Ia nyaris menangis. Disentakkannya tangannya dari genggamanku, lalu berbalik ke dinding. Tubuhnya yang kurus bergetar oleh tangisan. Kubelai rambutnya, kepalanya terasa panas, sementara tangannya sedingin es. Tiba-tiba ia berbalik dan memelukku, menyembunyikan wajahnya di bahuku. "Mama," katanya, "aku... aku...."




Telepon berdering.




"Biarkan saja," bisikku.




"Tidak bisa," jawabnya seraya mengusap mata.




Ketika ia mengangkat telepon, suaranya kembali keras dan asing. Dari pembicaraan singkat itu aku tahu sesuatu yang serius telah terjadi. Begitu meletakkan gagang telepon ia berkata, "Maaf, sekarang kau benar-benar harus pergi." Kami keluar bersama. Di pintu ia memelukku sejenak, cepat, dan dengan perasaan bersalah. "Tak seorang pun dapat menolongku," bisiknya mendekapku. Aku menemaninya sampai ke sepedanya yang diparkir di tiang tak jauh dari situ. Ia naik ke atasnya, menyisipkan dua jarinya di bawah kalungku, seraya berkata, "Mutiara ini, ya kan? Izin khususmu. Sejak lahir kau tak pernah memiliki keberanian untuk melangkah tanpanya!"




Setelah bertahun-tahun, peristiwa itulah yang paling kuingat tentang ibumu. Aku sering mengenangnya. Bagaimana mungkin, pikirku, dari semua hal yang kami alami bersama, peristiwa itulah yang selalu pertama muncul dalam ingatanku? Hari ini, saat aku mengenangnya untuk kesekian kalinya, aku teringat sebuah pepatah lama yang mengatakan lidah berdenyut-denyut di tempat gigi yang sakit. Apa hubungannya? Kau pasti bertanya. Justru sangat berkaitan, percayalah. Peristiwa itu selalu muncul kembali dalam benakku karena itulah satu-satunya kesempatan aku dapat melakukan perubahan. Ibumu menangis, memelukku; sesaat kulit kerangnya terkuak dan menciptakan celah kecil tempat semestinya aku bisa menyelinap masuk, dan begitu berada di dalam sedikit demi sedikit aku akan memperluas tempatku. Aku bisa menjadi sesuatu yang pasti dalam hidupnya, namun untuk melakukannya butuh ketetapan hati. Ketika ia berkata "Kau harus pergi," seharusnya aku tetap tinggal. Seharusnya aku menyewa kamar di penginapan dekat-dekat situ, setiap hari datang mengetuk pintunya, terus berusaha hingga celah itu menjadi jalan masuk. Aku nyaris berhasil, aku tahu.




Namun, nyatanya aku tidak melakukannya. Karena pengecut, malas, dan alasan kesopanan yang keliru, aku mengabulkan permintaannya. Aku membenci campur tangan ibuku, aku ingin menjadi ibu yang berbeda dan memberi Ilaria kebebasan. Di balik topeng jiwa yang besar seperti itu sering kali bersembunyi ketidakpedulian, keinginan untuk tidak terlibat. Ada batas yang sangat tipis, melewatinya atau tidak merupakan keputusan yang tak dapat ditunda, keputusan yang kau ambil atau tidak. Kau baru menyadari pentingnya keputusan itu ketika momen itu telah lewat. Saat itulah kau menyesalinya; saat itulah baru kau mengerti bahwa campur tanganlah yang diperlukan, bukan kebebasan. Cinta tidak menyapa si pemalas, kadang-kadang cinta membutuhkan tindakan yang tepat dan berani. Mengerti, kan? Aku menyembunyikan kepengecutanku yang tak habis-habisnya di balik topeng mulia kebebasan personal.




Gagasan tentang takdir muncul bersamaan dengan bertambahnya usia. Umumnya, tak seorang pun seusiamu pernah memikirkannya. Kau memandang kejadian apa pun sebagai dampak keinginanmu sendiri. Kau merasa seperti pekerja yang membangun sendiri batu demi batu jalan bebas hambatan yang harus kau lalui. Hanya lama setelahnya baru kau memperhatikan bahwa jalan itu sudah ada, orang lain telah merintiskannya bagimu, kau hanya perlu melanjutkan perjalanan. Penemuan ini biasanya terjadi saat usia kita empat puluhan, ketika itulah kau sadar bahwa segala sesuatu tidak semata-mata bergantung pada dirimu saja. Saat itu sangat berbahaya, tak jarang orang terpeleset ke dalam sejenis fatalisme klaustrofobia. Untuk dapat mengenali realisme takdir, kau harus melewati beberapa tahun lagi. Sekitar usia enam puluhan, ketika jalan di belakangmu lebih panjang daripada yang terbentang di depanmu, kau melihat sesuatu yang belum pernah kau lihat sebelumnya: jalan yang telah kau tempuh ternyata tidak lurus-lurus saja, tetapi bercabang-cabang, pada setiap langkah ada belokan, anak panah yang menunjukkan arah yang baru-jalan setapak menikung di satu sisi, rerumputan menghilang ke dalam hutan di sisi lain. Kau telah menyusuri jalan-jalan kecil itu tanpa memperhatikannya dan ada jalan-jalan lain yang sama sekali tak terlihat olehmu; kau tak tahu ke manakah jalan-jalan yang telah kau ambil itu akan mengantarmu, atau apakah jalan-jalan itu akan membawamu ke tempat yang lebih baik atau buruk; kau tidak tahu, namun tetap saja kau menyesalinya. Kau dapat melakukan sesuatu namun tidak melakukannya, kau malah mundur dan bukannya maju ke depan. Kau masih ingat permainan ular tangga? Ya, kehidupan berlangsung lebih kurang seperti itu.




Ketika jalanmu bercabang kau berpapasan dengan kehidupan lainnya. Berkenalan atau tidak dengan mereka, terlibat dengan mereka atau membiarkan mereka lewat begitu saja, semua itu semata-mata bergantung pada keputusan sesaat.


Meskipun mungkin kau tidak mengetahuinya, hidupmu dan hidup orang-orang yang dekat denganmu dipertaruhkan saat kau memilih, entah berjalan lurus atau berbelok.




***


22 November



SEMALAM cuaca berubah, angin timur bertiup dan dalam beberapa jam semua awan telah disapunya. Sebelum mulai menulis, aku jalan-jalan di kebun. Angin masih kencang, menembus sampai ke sumsum tulang. Buck kegirangan, ia ingin bermain. Ia berjalan di sisiku dengan kerucut bunga cemara di moncongnya. Dengan sedikit kekuatan yang masih kumiliki, aku berhasil melemparkan kerucut itu sekali, tidak jauh, tapi tetap saja Buck merasa puas. Setelah mengecek pohon mawarmu, aku pergi menyapa pohon kenari dan pohon ceri; pohon-pohon kesayanganku.



Ingat bagaimana kau suka mengejek ketika melihatku berdiri membelai salah satu pepohonan kita? "Apa yang kau lakukan?" kau berkata. "Itu bukan kuda." Ketika aku mengatakan menyentuh sebatang pohon tidak berbeda dengan menyentuh makhluk hidup mana pun, malah mungkin lebih baik, kau mengangkat bahu dan berlalu dengan jengkel. Mengapa lebih baik? Karena jika aku membelai kepala Buck, misalnya, aku merasakan sesuatu yang hangat dan bergetar, namun di baliknya selalu ada sesuatu. Mungkin ia berpikir sebentar lagi waktunya makan malam, atau masih terlalu lama; mungkin ia merindukanmu atau hanya teringat mimpi buruk. Tahukah kau? Seperti manusia, anjing memiliki terlalu banyak pikiran, terlalu banyak kebutuhan. Dan baik anjing maupun manusia tak dapat memperoleh ketenangan dan kebahagiaan seorang diri.



Berbeda dengan pepohonan. Sejak tumbuh hingga matinya, pohon tetap berada di tempat yang sama. Dibandingkan dengan apa pun juga, akar-akarnya berada lebih dekat dengan pusat Bumi, dan puncaknya lebih dekat ke langit. Cairan mengalir dalam dirinya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Pohon itu mekar dan menguncup menurut cahaya. Menunggu hujan, menunggu matahari, menunggu satu musim lalu musim lainnya, dan menunggu matinya. Tak satu pun hal-hal yang membuatnya bertahan hidup bergantung pada kehendaknya. Pohon itu ada, titik. Sekarang mengertikah kau betapa menyenangkan membelai pohon? Karena mereka berdiri kokoh, karena napas mereka sangat pelan dan tenang serta teramat dalam. Entah di mana di kitab suci, tertulis bahwa Tuhan memiliki lubang hidung yang lebar. Mungkin ini agak tidak sopan, tetapi setiap kali aku mencoba membayangkan seorang Tuhan, yang terbayang olehku adalah sebatang pohon ek.



Di rumah masa kecilku ada pohon ek. Pohon itu begitu besarnya sehingga diperlukan dua orang untuk bisa memeluk batangnya. Sejak berusia empat atau lima tahun, aku suka sekali mendatanginya. Aku duduk di sana, merasakan kelembapan rerumputan di bawah tempatku duduk, dan angin segar berembus di rambut dan wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam dan tahu ada tatanan yang lebih tinggi atas segala sesuatu dan bahwa aku serta semua yang kulihat termasuk di dalamnya. Meskipun aku tidak mengerti musik, sesuatu dalam diriku bernyanyi. Aku tak tahu melodi macam apakah itu, bukan lagu, melainkan lebih mirip melodi yang lahir dari embusan napas di dekat hatiku; dan embusan ini membungkusku, raga dan pikiran, bersinar bagai cahaya dan mengalun bagai musik. Hidup membuatku bahagia, dan tak ada apa pun yang mengisi benakku selain kebahagiaan itu.



Mungkin aneh dan berlebihan bagimu bahwa seorang anak mempunyai intuisi seperti itu. Sayangnya, kita terbiasa membayangkan masa kanak-kanak sebagai periode kebutaan, ketidaksempurnaan, bukannya periode terbaik sepanjang hidup kita. Padahal, hanya dengan memandang mata bayi yang baru lahir, kau akan menyadari begitulah kenyataannya. Cobalah bila ada kesempatan, hilangkan prasangka dan amati seorang anak dengan saksama. Bagaimana matanya? Kosong, seperti tidak sadar? Ataukah matang, menerawang, bijaksana? Bayi tahu bagaimana caranya bernapas dalam-dalam, kitalah, orang dewasa, yang kehilangan kemampuan ini. Pada usia empat atau lima tahun aku masih belum tahu apa-apa tentang Tuhan atau agama, maupun tentang segala hal ngawur yang dilakukan manusia dengan mengatasnamakan keduanya.



Tahukah kau, ketika tiba waktunya memutuskan apakah kau perlu mengikuti pelajaran agama di sekolah, aku tak dapat mengambil keputusan. Di satu pihak aku ingat betapa buruknya sikapku terhadap dogma. Namun, di lain pihak aku yakin pendidikan tak hanya mencakup budi, tetapi juga jiwa seseorang. Masalah itu terpecahkan dengan sendirinya sewaktu hamster pertamamu mati. Kau memegangnya dan menengadah bingung memandangku. "Di mana dia sekarang?" tanyamu. Aku menyahut dengan mengulang pertanyaan itu, "Menurutmu, di mana dia sekarang?" Ingatkah kau pada jawabanmu? "Dia ada di dua tempat. Sebagian di sini, sebagian di antara awan-awan." Siang itu juga kita menguburnya dengan upacara kecil. Kau berlutut di depan gundukan tanah dan berdoa, "Semoga kau bahagia, Tony. Suatu hari kita akan bertemu kembali."



Mungkin aku belum pernah memberitahumu, tapi lima tahun pertamaku bersekolah kulewatkan di sekolah susteran, Yayasan Sacro Cuore (9. Percayalah, sekolah ini benar-benar merusak pemikiranku yang sedikit-banyak memang sudah rumit. Sepanjang tahun di pintu gerbang sekolah para suster mendirikan sebuah panggung dengan palungan besar. Ada bayi Yesus bersama ayah dan ibunya, sapi, keledai, dan di sekitarnya tampak gunung-gunung bubur kertas yang dipenuhi domba. Setiap domba mewakili seorang murid dan domba-domba itu akan dipindahkan, menjauh atau mendekat dengan kandang Yesus, berdasarkan perilaku si murid selama seharian itu. Setiap pagi kami harus melewati panggung itu sehingga mau tak mau kami harus melihat posisi kami. Di seberang kandang ada jurang yang amat dalam dan di situlah domba-domba paling nakal ditempatkan, di tepinya, dengan dua kaki menggantung di udara. Dari usia enam hingga sepuluh tahun, langkah-langkah yang diambil oleh dombaku menentukan hidupku. Dan aku tak perlu mengatakan padamu bahwa dombaku nyaris tak pernah bergerak jauh dari tepi jurang itu.



Dalam hati, dengan segenap kekuatan, aku berusaha menghormati sepuluh perintah Allah yang telah diajarkan kepadaku. Itu kulakukan karena sifat menyesuaikan diri yang dimiliki kanak-kanak meskipun bukan itu saja: aku sungguh yakin bahwa seorang manusia harus baik, jujur, dan tidak sombong. Walau begitu, aku selalu saja nyaris gagal. Mengapa? Karena alasan-alasan tolol. Ketika aku menghampiri suster kepala sambil menangis, ingin mencari tahu mengapa untuk kesekian kali dombaku dipindahkan, ia menjawab, "Karena pita yang kau pakai kemarin terlalu besar.... Karena salah satu temanmu mendengarmu bersenandung sendiri saat meninggalkan sekolah.... Karena kau tidak mencuci tangan sebelum makan." Tahu kan, maksudku? Sekali lagi kesalahan-kesalahanku menyangkut masalah kecil belaka, sama seperti yang dituduhkan ibuku. Guru-guru kita tidak memedulikan koherensi batin, mereka hanya mementingkan kesesuaian lahiriah. Pada suatu hari, ketika dombaku sampai di tepian jurang, tangisku pun meledak. Aku berkata, "Tapi aku sayang bayi Yesus." Dan tahukah kau apa yang dikatakan biarawati yang berdiri di dekat sana? "Ah, kau tidak hanya nakal, tapi juga pembohong. Kalau kau benar-benar menyayangi bayi Yesus, kau akan menyimpan bukubuku catatanmu dengan lebih rapi." Lalu dengan jarinya ia menjentik dombaku sehingga jatuh ke jurang.



Setelah kejadian itu, selama dua bulan aku tak bisa tidur. Begitu memejamkan mata sepraiku bagai berubah menjadi lidah api dan suara-suara mengerikan mengejekku, "Tunggu saja, kami akan datang menjemputmu!" Tentu saja aku tak pernah menceritakan semua ini kepada orangtuaku. Ketika ibuku melihat wajahku pucat dan tegang ia berkata, "Anak ini kelelahan," dan aku pun harus menahan napas dan meneguk sendok demi sendok obat sirup.



Siapa tahu berapa banyak kanak-kanak peka dan pandai yang berpaling seterusnya dari masalah spiritual karena episode-episode seperti ini? Setiap kali aku mendengar seseorang mengatakan betapa indah tahun-tahun sekolah mereka, betapa mereka menyesal masa-masa itu telah berlalu, aku tak sanggup berkata apa-apa. Bagiku itu salah satu masa terburuk dalam hidupku, atau mungkin yang benar-benar paling buruk mengingat perasaan tak berdaya yang selalu kurasakan. Selama di sekolah dasar terjadi peperangan yang alot antara keinginanku untuk tetap setia pada apa yang kurasakan dan keinginan untuk menerima apa yang dipercaya orang lain, meskipun instingku mengatakan itu keliru.



Memang aneh, tetapi sekarang ketika aku mengenang kembali emosi-emosi itu, aku mendapat kesan bahwa krisis dalam pertumbuhanku tidak terjadi pada masa remaja, seperti umumnya, tetapi pada masa kanak-kanak. Ketika aku berusia dua belas, tiga belas, dan empat belas tahun, aku telah dikuasai oleh kesedihanku yang tak kunjung sirna. Pertanyaan-pertanyaan metafisik yang besar pelan-pelan digantikan oleh fantasi-fantasi baru yang tidak berbahaya. Aku pergi ke gereja bersama ibuku pada hari Minggu dan hari-hari besar. Aku berlutut dengan wajah penuh penyesalan untuk menerima hosti (10, tapi sementara melakukannya, aku memikirkan hal-hal lain: ini hanyalah salah satu hal yang harus kulakukan agar dapat hidup tenang. Itulah sebabnya, aku tidak mendaftarkanmu ikut pelajaran agama dan aku tak pernah menyesali keputusanku itu. Ketika dengan keingintahuan kanak-kanakmu kau menanyakan hal itu, aku berusaha memberimu jawaban yang langsung dan obyektif, seraya menghormati misteri yang ada dalam setiap diri kita. Dan saat kau berhenti mengajukan pertanyaan, diam-diam aku berhenti membicarakannya. Ini salah satu hal di mana kita tidak bisa mendorong atau menarik terlalu keras, sebab kalau tidak hal yang menimpa pedagang keliling akan menimpamu juga: semakin giat mereka menawarkan dagangan mereka, semakin orang akan curiga. Denganmu, aku berusaha untuk tidak memadamkan apa yang telah ada. Selebihnya aku menunggu.



9) Arti harfiahnya Hati Kudus; nama sebuah kongregasi para suster.
10) Roti kecil dalam upacara gereja Katolik, yang diimani sebagai tubuh Kristus.




Namun, jangan kira perjalananku begitu sederhana. Meskipun pada usia empat tahun aku telah merasakan napas yang mengilhami segala hal, pada usia tujuh tahun aku melupakannya. Mula-mula, memang benar aku masih mendengar melodinya, tidak terlalu jelas, tapi ada. Rasanya bagai sungai yang mengalir melintasi ngarai pegunungan. Jika aku berdiri diam di tepi jurang dan mendengarkan, aku akan dapat menangkap suaranya. Tapi akhirnya, sungai itu berubah menjadi radio tua usang. Satu menit melodi itu memekakkan telinga, menit berikutnya aku tidak dapat mendengar apa-apa.



Ayah dan ibuku tidak melewatkan kesempatan untuk mengomel karena kebiasaan bernyanyiku. Sekali saat makan malam, aku bahkan ditampar-tamparan pertamaku-hanya karena tanpa sadar aku bernyanyi. "Tidak boleh menyanyi waktu makan!" bentak ayahku. "Kalau bukan penyanyi, jangan menyanyi," ibuku menambahi. Aku menangis dan sementara air mataku mengalir aku berkata, "Tapi aku mendengar melodi di dalam diriku." Bagi orangtuaku, apa pun yang bukan bagian dari dunia konkret ini sama sekali tak terpahami. Lalu bagaimana mungkin aku berpegangan pada melodiku? Mungkin bisa saja jika aku ditakdirkan menjadi orang suci. Namun, nyatanya aku ditakdirkan menjadi orang yang amat sangat normal.
Pelan, tapi pasti melodi itu hilang dan bersamaan dengan itu hilang juga perasaan bahagia mendalam yang selalu menyertaiku di masa kecilku. Kau tahu, kebahagiaan itulah yang paling kusayangkan. Tentu saja setelahnya ada saat-saat aku merasa gembira, namun dibandingkan dengan kebahagiaan, kegembiraan hanyalah bagaikan bohlam lampu dengan Matahari. Kegembiraan selalu memiliki obyek, kau gembira karena sesuatu, kegembiraan adalah kondisi yang eksistensinya bergantung pada hal-hal eksternal. Kebahagiaan, sebaliknya, tidak memiliki obyek. Ia menguasaimu tanpa alasan; bagai Matahari, ia membakar dan bahan bakarnya berasal dari hatinya sendiri.



Dalam perjalanan waktu aku meninggalkan diriku sendiri, bagian paling dalam dari diriku, agar bisa menjadi orang lain, sebagaimana diharapkan orangtuaku. Kutanggalkan kepribadianku dan mendapatkan sebuah karakter. Akan kau buktikan sendiri bahwa dunia menghargai karakter jauh melebihi kepribadian.



Berlawanan dengan pendapat populer, karakter dan kepribadian tak pernah berjalan bersama; nyatanya, yang pertama biasanya mengenyahkan yang kedua sekali dan untuk selamanya. Ibuku, misalnya, memiliki karakter yang kuat. Ia yakin mengenai setiap tindakannya dan tak satu pun, sama sekali tak ada, yang dapat menghancurkan keyakinan ini. Aku justru kebalikannya. Tak satu aspek pun dalam kehidupan sehari-hari yang membuatku hanyut. Setiap kali akan memilih, aku selalu ragu, aku menunda-nundanya terlalu lama hingga akhirnya siapa pun di dekatku kehabisan sabar dan memutuskannya untukku.



Jangan kau kira mudah bagiku untuk melepaskan kepribadianku dan berpura-pura. Sesuatu jauh di dalam diriku terus-menerus memberontak. Sebagian diriku ingin terus menjadi diriku sendiri, sementara bagian yang lain, bagian yang ingin dicintai, bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia. Aku membenci ibuku, sikapnya yang menekankan segi-segi luar. Aku membencinya, namun perlahan-lahan, berlawanan dengan kemauanku, aku menjadi seperti dirinya. Inilah pemerasan besar dan mengerikan dari setiap pengasuhan anak, pemerasan yang tak mungkin dihindari karena tak seorang anak pun dapat hidup tanpa cinta. Karena itulah, kita meniru model yang dipaksakan pada kita meskipun kita tidak menyukainya sama sekali, meskipun menurut kita itu salah. Dampak mekanisme ini terus ada hingga kita dewasa. Saat kau menjadi ibu hal itu muncul kembali entah kau suka atau tidak, kau mungkin bahkan tidak memperhatikannya, namun hal itu sekali lagi membentuk tindakan-tindakanmu. Begitupun aku. Tatkala ibumu lahir, aku sangat yakin bahwa aku akan berbeda dari ibuku. Dan sebenarnya memang berbeda, hanya saja perbedaan itu ternyata palsu dan hanya di permukaan saja. Agar aku tidak memaksakan sebuah model yang harus ditiru ibumu, sebagaimana yang telah dilakukan padaku oleh ibuku saat aku masih sangat muda, aku membiarkannya bebas memilih, aku ingin dia merasa setiap tindakannya diterima. Aku terus-menerus berkata kepadanya, "Kita dua orang berbeda dan dalam perbedaan ini kita harus saling menghormati."



Ada satu kesalahan dalam semua ini, kesalahan yang besar. Tahukah kau, kesalahan apa itu? Itu adalah kekuranganku dalam hal identitas. Meskipun aku telah dewasa, aku tidak yakin mengenai apa pun. Aku tidak berhasil mencintai diriku dan memberi penghargaan kepada diriku. Berkat kepekaan lembut dan keberuntungan yang menjadi karakter kanak-kanak, ibumu segera mengetahui semua ini: ia tahu bahwa aku lemah, rapuh, dan mudah dikuasai. Gambaran dalam benakku, bila aku memikirkan hubungan kami, adalah bagai sebatang pohon dan tanaman merambat yang merusaknya. Pohon itu lebih tua, lebih tinggi, ada di sana sejak lama, dan mempunyai akar yang lebih dalam. Tanaman yang tumbuh di kakinya dan berumur satu musim tidak hanya mempunyai akar, tetapi juga jenggot, sulur-sulur.
Di bawah setiap sulur tanaman ini ada alat pengisap dan dengan alat-alat ini tanaman itu memanjat naik ke batang si pohon.



Setelah satu atau dua tahun, tanaman itu sudah mencapai puncak pohon. Sementara si pohon kehilangan dedaunannya, tanaman merambat itu tetap hijau. Ia terus berkembang dan menumbuhkan sulur-sulur, membungkus seluruh pohon itu. Air dan Matahari hanya untuknya. Pada saat itulah pohon itu mengering dan mati. Yang tinggal hanya batangnya, sebagai penyangga malang bagi tanaman yang merambatinya.



Sesudah kematiannya yang tragis, selama beberapa tahun aku tak lagi memikirkan dirinya. Berkali-kali aku sadar telah melupakannya dan aku menyalahkan diriku sendiri karenanya. Memang benar, ada kau yang menjadi pusat perhatianku, namun aku tak yakin ini alasan sebenarnya, atau mungkin saja ini hanya sebagian alasan. Perasaan gagalku terlalu besar bagiku untuk bisa aku akui. Hanya selama beberapa tahun terakhir ini saja, ketika kau mulai menjauhkan diri dan mencari jalanmu sendiri, ingatan akan ibumu kembali muncul di benakku, membuatku terobsesi. Yang paling kusesalkan adalah aku tak pernah memiliki keberanian untuk menghadapinya bahwa aku tidak mengatakan, "Kau sama sekali keliru, kau melakukan sesuatu yang tolol." Aku tahu slogan-slogan yang digunakannya sangat berbahaya, aku tahu seharusnya aku langsung menghentikan hal-hal seperti itu demi kebaikannya, namun aku malah diam saja, tidak melakukan apa-apa. Masalahnya bukan kemalasan, aku tahu topik-topik yang kami diskusikan amat sangat esensial. Yang membuatku melakukan-atau gagal melakukan-yang kulakukan adalah sikap yang diajarkan ibuku kepadaku. Agar dicintai aku harus menghindari konflik dan berpura-pura menjadi orang yang bukan diriku. Ilaria tentu saja senang menguasai, karakternya lebih kuat daripada aku, dan aku takut menghadapi konfrontasi langsung, aku takut menentangnya. Padahal jika aku sungguh-sungguh mencintainya, seharusnya aku marah, seharusnya aku bersikap tegas kepadanya, seharusnya aku memaksanya melakukan hal-hal ini atau melarang hal-hal itu. Barangkali inilah yang sesungguhnya diinginkannya, yang dibutuhkannya dariku.



Adakah yang bisa mengatakan mengapa kebenaran yang paling mendasar paling sulit dipahami? Jika saat itu aku menyadari bahwa kualitas utama cinta adalah kekuatan, segala sesuatu mungkin akan berbeda. Akan tetapi, untuk menjadi kuat kau harus mencintai dirimu sendiri; dan untuk mencintai diri sendiri kau harus benar-benar mengenal dirimu, mengenal segala sesuatu tentang dirimu, termasuk rahasiamu yang paling tersembunyi, rahasia yang paling sulit diterima. Bagaimana kau bisa melakukan semua itu bila kehidupan dan semua gejolaknya terus menyeretmu? Kalau kau dikaruniai bakat istimewa, kau bisa melakukannya sejak awal. Namun, makhluk fana seperti aku dan ibumu harus menerima nasib sebagai ranting-ranting mati dan botol plastik. Seseorang, atau mungkin angin, tiba-tiba melemparmu ke sungai. Karena tubuhmu ringan, alih-alih tenggelam kau malah terapung-apung. Tampaknya ini bagai kemenangan bagimu sehingga tiba-tiba kau mulai melesat cepat. Kau melaju mengikuti ke mana pun aliran sungai membawamu. Setiap kali akar atau bebatuan menghadangmu, kau tersangkut sebentar dan air memukul lalu membebaskan dirimu lagi. Kau melanjutkan perjalanan, kau terapung di permukaan saat sungai mengalir tenang, namun saat sungai deras kau tenggelam; kau tak tahu ke mana kau dibawa, kau bahkan tidak bertanya-tanya. Ketika air lebih tenang kau dapat melihat pemandangan, tepi sungai, dan semak. Kau bisa melihat bentuk dan warna, namun lajumu terlalu cepat untuk dapat melihat lainnya. Waktu berlalu, jarak berlalu, tepian sungai bertambah rendah, sungai meluas, sebentar lagi ia akan tiba di laut. "Ke mana gerangan diriku pergi?" kau bertanya-tanya, dan saat itu juga kau tiba di lautan.
Hampir seluruh hidupku seperti ini. Bukannya berenang, aku menggapai-gapai. Dengan gerakan tak pasti dan kebingungan, tanpa elegansi atau kebahagiaan, aku nyaris tak dapat menjaga tubuhku agar tetap mengapung.



Mengapa aku menuliskan semua ini padamu? Pengakuan-pengakuan ini terlalu panjang, terlalu intim, bisa berarti apa? Mungkin sekarang kau sudah bosan, mungkin sambil bersenandung kau hanya membuka-buka lembarannya sekilas. Mau ke mana sih dia, demikian kau bertanya-tanya, ke mana dia ingin membawaku? Kau benar, aku sering sekali melantur, cukup sering sehingga alih-alih mengambil jalan utama, dengan senang hati aku malah berbelok dan memasuki lorong-lorong kecil. Aku terkesan tersesat, tapi mungkin itu bukan hanya kesan-aku benar-benar tersesat. Namun, inilah satu-satunya jalan untuk sampai di tempat yang kau cari-cari dengan susah payah, yakni pusatnya.



Masih ingat ketika aku mengajarimu memasak kue dadar? Ketika kau melemparkannya untuk membalikkannya, aku berkata kepadamu, pikirkan apa saja kecuali bahwa kue itu harus jatuh lagi persis di atas wajan. Jika kau memikirkan lemparan itu, boleh percaya kue itu akan meleset atau langsung jatuh ke atas kompor. Memang aneh, namun kau perlu mengalihkan pikiran justru bila kau ingin tiba di pusat segalanya, hati segala hal.



Tetapi bukan hatiku yang bicara sekarang, melainkan perutku. Perutku keroncongan dan ada alasannya, sebab saat makan malam telah tiba di suatu tempat antara kue dadar dan perjalanan sepanjang sungai. Nah, aku harus meninggalkanmu sekarang, tetapi sebelumnya kukirimkan lagi untukmu ciuman yang sangat kau benci.



***


10 Desember



SEJAK kepergianmu aku tak lagi membaca surat kabar; kau tak ada untuk membelikan, dan tak seorang pun membawakannya untukku. Awalnya aku merasa kehilangan, namun lama-kelamaan rasa kehilangan itu berubah menjadi kelegaan. Aku teringat ayah Isaac Singer yang mengatakan bahwa dari semua kebiasaan manusia modern, membaca surat kabar adalah salah satu yang terburuk. Di pagi hari saat jiwa lebih terbuka, surat-surat kabar menuangkan ke dalam diri seseorang segala kejahatan yang dilakukan dunia sehari sebelumnya. Dulu kau bisa menyelamatkan dirimu dengan mengabaikan surat-surat kabar itu, tapi sekarang tidak mungkin lagi. Ada radio dan televisi. Kau cukup menyalakannya sebentar maka kejahatan itu pun akan meraih kita, masuk ke dalam diri kita.



Itulah yang terjadi pagi ini. Sementara mengenakan pakaian, aku mendengar warta berita lokal yang mengabarkan bahwa rombongan pengungsi telah diberi izin menyeberangi perbatasan. Empat hari lamanya mereka menanti-nanti, tidak boleh melanjutkan perjalanan dan juga tidak bisa kembali. Di antara mereka ada orang tua, orang sakit, serta para wanita yang membawa anak kecil. Menurut penyiar, rombongan pertama telah tiba di pos Palang Merah dan menerima bantuan awal. Perang ini benar-benar mengusikku, begitu dekat dengan kami, begitu kejam. Sejak meletus, perang ini rasanya bagai duri yang menancap di hatiku. Aku tahu itu gambaran yang lugas, tapi justru dalam kelugasannya sensasi itu sangat sesuai dengan perasaanku sendiri. Setelah setahun kepedihanku berubah menjadi kemarahan, aku tak percaya tak seorang pun mau turun tangan dan menghentikan kekejaman ini. Lalu aku sendiri terpaksa menyerah, tak ada sumber-sumber minyak di sana, hanya pegunungan batu. Dengan berlalunya waktu kemarahan berubah menjadi keberangan dan keberangan ini terus menggerogotiku bagai rayap yang keras kepala.



Menggelikan bahwa pada usiaku ini aku masih demikian terpengaruh oleh perang. Bagaimanapun, telah berpuluh-puluh perang pecah di bumi ini, seharusnya setelah delapan puluh tahun aku telah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Sejauh yang dapat kuingat, para pengungsi dan tentara-entah menang ataupun kalah-telah melintasi rerumputan kuning tinggi Carso. Mula-mula lewatlah kereta-kereta api penuh serdadu Perang Dunia I yang diikuti ledakan bom di wilayah dataran tinggi; lalu para tentara yang selamat dari medan perang Rusia dan Yunani, pembantaian para fasis dan pengikut Nazi, pembunuhan besar-besaran; lalu sekarang, sekali lagi terdengar dentuman meriam sepanjang garis perbatasan, orang-orang tak bersalah melarikan diri dari rumah pembantaian Balkan.



Beberapa tahun yang lalu dalam perjalanan kereta api dari Trieste ke Venezia aku berada satu gerbong dengan seorang cenayang, wanita yang sedikit lebih muda dariku dan mengenakan baret. Aku baru tahu ia cenayang setelah ia memberi tahu wanita yang duduk di sebelahnya.



"Tahukah Anda," katanya saat kami melintasi Carso, "kalau aku berjalan-jalan di wilayah ini, aku mendengar suara orang-orang yang tewas di sini. Setiap berjalan dua langkah aku akan mendengar suara mereka. Semua melolong dengan suara mengerikan, dan semakin muda usia mereka ketika tewas, semakin keras suara mereka." Lalu ia menjelaskan kepada wanita di sebelahnya bahwa tindak kekerasan mengubah atmosfer sebuah tempat untuk selamanya: udaranya menjadi rusak dan tak lagi utuh, dan kerusakan ini memancing kebrutalan lebih lanjut. Singkatnya, di mana darah tercurah, akan lebih banyak lagi yang tercurah di atasnya, dan terus seperti itu. "Bumi," kata cenayang itu mengakhiri ucapannya, "mirip vampir. Begitu mencicipi darah, dia ingin mencicipinya lagi, dia menginginkan darah baru, dia tak pernah merasa puas."



Selama bertahun-tahun aku bertanya-tanya apakah tempat kita hidup ini telah dikutuk. Aku masih terus bertanya-tanya tanpa pernah menemukan jawabannya. Ingatkah kau saat kita pergi bersama ke bukit karang di Monrupino? Ketika angin utara bertiup kita tinggal di sana berjam-jam lamanya, hanya memandangi pedusunan seolah kita tengah berada di atas pesawat terbang. Kita bisa memandang ke segala arah, kita bahkan bertaruh siapa yang pertama-tama dapat menunjuk salah satu puncak Pegunungan Dolomit, atau siapa yang bisa membedakan Grado dan Venezia. Sekarang setelah aku tak mungkin lagi pergi ke sana, aku harus memejamkan mata untuk melihat tempat itu.



Berkat keajaiban ingatan aku dapat melihat semuanya lagi, seolah- olah aku tengah berdiri menikmati pemandangan dari atas pegunungan itu. Segalanya ada di sana, bahkan suara angin atau aroma musim yang telah kupilih. Aku berdiri di sana, memandang bebatuan yang digerus waktu, lapangan kosong tempat pasukan tank melatih manuver mereka, semenanjung Istria yang hitam, yang setengah tenggelam dalam kebiruan laut.



Aku memandang segala sesuatu di sekitarku dan bertanya untuk kesekian kalinya, apakah ada sesuatu yang ganjil dalam seluruh keharmonisan ini? Dan jika ada, apakah itu?



Aku menyukai daerah ini dan mungkin cinta inilah yang menghalangiku menjawab pertanyaan itu. Aku hanya yakin mengenai satu hal, yaitu bahwa keadaan alam suatu tempat mempengaruhi karakter orang yang hidup di situ. Jikalau aku sering begitu kasar atau judes, jika kau pun demikian, itu berkat Carso, erosinya, warnanya, dan angin yang melecutnya. Jika kita lahir di antara perbukitan Umbria, misalnya, barangkali kita akan lebih lembut dan kegetiran tak akan menjadi watak kita. Mungkin segalanya akan lebih baik? Entahlah, kita tak mungkin membayangkan sesuatu yang tidak kita alami.



Namun, kutukan kecil terjadi hari ini. Sebab, ketika aku pergi ke dapur pagi ini, aku dapatkan burung hitam itu telah mati di antara kain percanya. Sudah sejak dua hari terakhir ini ia tampak tidak sehat, makannya sedikit dan sering kali ia tertidur di antara suapan. Ia pasti mati sebelum subuh karena ketika aku mengangkatnya, kepalanya bergoyang-goyang seolah ada engsel yang putus. Tubuhnya ringan, rapuh, dan dingin. Kubelai ia sebentar, lalu kubungkus dalam secarik kain. Aku ingin menghangatkannya sedikit. Di luar salju turun dengan lebatnya, kumasukkan Buck ke kamar lalu aku keluar. Aku tidak memiliki tenaga untuk menggali, jadi kupilih petak tanaman yang paling gembur. Dengan kaki kubuat sebuah lubang kecil, kuletakkan burung itu di sana, lalu kutimbun kembali. Sebelum kembali ke rumah aku mengucapkan doa yang selalu kita ucapkan setiap kali kita menguburkan burung-burung kecil kita. "Tuhan, terimalah kehidupan kecil ini sebagaimana Engkau telah menerima yang lainnya."



Ingatkah kau betapa seringnya kita menolong dan mencoba menyelamatkan burung-burung itu saat kau kecil dulu? Setiap kali sehabis hari berangin kita akan menemukan burung yang terluka. Ada parkit, kutilang, pipit, layang-layang, bahkan sejenis gagak. Kita melakukan segala cara untuk menyembuhkan mereka, namun usaha kita nyaris tak pernah berhasil. Kita pun mendapatkan mereka mati tanpa peringatan sebelumnya. Betapa menyedihkan saat-saat itu, dan meskipun hal itu sering terjadi, kau tetap saja merasa sedih. Setiap kali kita selesai mengubur burung-burung itu, kau mengusap hidung dan matamu lalu mengurung diri di kamar untuk "mencari kelegaan".



Pada suatu hari kau bertanya bagaimana kita bisa menemukan ibumu. Surga sangat luas sehingga kita mudah tersesat di dalamnya. Aku beritahu dirimu, surga itu bagaikan hotel yang teramat luas. Setiap orang di sana memiliki kamar dan setelah meninggal dunia semua orang yang saling mencintai di Bumi akan menemukan orang-orang yang mereka cintai di kamar itu dan hidup bersama-sama selamanya. Untuk sementara keteranganku membuatmu puas, namun setelah kematian ikanmu entah yang keempat atau kelima, kau kembali bertanya, "Bagaimana kalau kamarnya tidak cukup?" "Kalau kamarnya tidak cukup," jawabku, "kau cukup memejamkan mata dan berkata berulang kali selama satu menit, ’Wahai kamar, meluaslah’. Maka, segera saja kamar itu bertambah besar."



Masihkah kau menyimpan dalam ingatanmu imajinasi-imajinasi kanak-kanak ini, ataukah kulit kerangmu telah mengenyahkannya jauh-jauh? Baru sekarang, ketika menguburkan burung hitam ini, aku kembali teringat kisah ini. "Wahai kamar, meluaslah!" Betapa hebatnya! Tentu saja dengan ibumu, tikus, burung pipit, dan ikan mas, kamarmu sudah penuh bagai bangku stadion. Sebentar lagi aku pun akan pergi ke sana, apakah kau menginginkan aku di kamarmu ataukah aku harus menyewa kamar lain di dekat-dekat situ? Bolehkah aku mengajak orang pertama yang pernah kucintai, bolehkah aku memperkenalkan kau kepada kakekmu yang sebenarnya?



Apa yang kupikirkan, apa yang kubayangkan di sore hari bulan September itu, saat aku turun dari kereta api di Porretta? Sama sekali tidak ada. Aroma chestnut yang harum membaur di udara dan pikiran pertamaku adalah segera menemukan penginapan tempat aku telah memesan kamar. Saat itu aku masih sangat naif, aku sama sekali tak tahu cara kerja nasib yang tak pernah kenal lelah. Jikalau aku memiliki keyakinan apa pun, aku hanya percaya bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan apakah aku menggunakan kehendakku atau tidak. Pada saat aku menjejakkan kaki dan meletakkan koperku di peron, kehendakku pupus, aku tidak menginginkan apa-apa, atau lebih tepat aku hanya menginginkan satu hal: diam dalam ketenangan.



Aku bertemu kakekmu pada malam pertama, ia makan malam bersama seseorang di penginapanku. Selain seorang pria tua, tak ada tamu lain. Dengan suara pelan mereka membicarakan masalah politik. Nada suara kakekmu langsung membuatku muak. Selama makan malam beberapa kali aku menatapnya tajam. Tapi betapa terkejutnya aku ketika paginya aku mengetahui dialah dokter di sumber air panas ini! Selama sekitar sepuluh menit ia mengajukan pertanyaan mengenai kesehatanku dan saat membuka pakaian aku merasa amat malu karena aku mulai berkeringat seolah aku sedang melakukan pekerjaan sangat berat. Ketika mendengarkan detak jantungku ia berseru, "Ya Tuhan, Anda ketakutan setengah mati!" Lalu ia tertawa, dan aku pun jengkel sekali dibuatnya.



Baru saja ia mengukur tekanan darahku, air raksa di tabung jarumnya tiba-tiba melonjak sampai atas. "Apakah Anda menderita hipertensi?" tanyanya. Aku marah kepada diriku sendiri, berulang kali aku memberitahu diriku tak ada yang perlu ditakuti, dia hanya dokter yang melakukan tugasnya. Aneh dan memalukan bila aku bersikap demikian. Namun, tak peduli seberapa sering aku mengatakannya, aku tak dapat menenangkan diri. Sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan di pintu, ia menggenggam tanganku. "Rileks dan bersantailah," katanya. "Kalau tidak, sumber air panas ini pun tidak akan memberi khasiat apa-apa."



Malam itu juga sesudah makan ia datang dan duduk di mejaku. Keesokan harinya kami sudah menyusuri tempat itu sambil mengobrol. Semangatnya yang menyala-nyala, yang awalnya membuatku jengkel, kini membuatku terpesona. Apa pun yang dikatakannya selalu penuh perasaan, penuh tekad, hingga mustahil berada di dekatnya tanpa tersentuh oleh ucapannya yang penuh semangat, oleh tubuhnya yang memancarkan kehangatan.



Beberapa waktu yang lalu aku membaca sebuah jurnal yang mengatakan bahwa menurut teori terakhir, cinta tidak lahir di hati melainkan di hidung. Ketika dua orang bertemu dan saling menyukai, mereka mulai mengirimkan hormon-hormon kecil lewat hidung. Hormon itu masuk ke otak, dan di sana, di relung-relung tersembunyi, hormon-hormon itu melepaskan badai gairah. Singkatnya, menurut artikel itu, perasaan tak lain adalah aroma yang tak kasatmata. Sungguh absurd dan menggelikan! Siapa pun yang pernah mengalami cinta sejati, cinta yang dalam dan tak terucapkan, tahu pernyataan-pernyataan ini tak lain hanyalah usaha-usaha tak menentu untuk meremehkan cara kerja hati. Tentu saja aroma seseorang yang kita cintai bisa sangat menggairahkan, tapi gairah itu harus muncul karena ketertarikan yang lain, ketertarikan yang, aku yakin, berbeda dari sekadar aroma semata.



Berada di dekat Ernesto beberapa hari itu membuatku merasa, untuk pertama kali dalam hidupku, bahwa tubuhku tak memiliki batas. Aku merasa ada semacam aura yang sulit dipahami yang membungkus tubuhku. Rasanya seolah-olah tubuhku meregang dan memancarkan getaran-getaran setiap kali aku bergerak. Tahukah kau bagaimana perilaku tanaman bila tidak diairi selama berhari-hari? Daun-daunnya menjadi layu, dan alih-alih terangkat ke arah cahaya, daun-daun ini terkulai laksana telinga kelinci yang murung. Yah, hidupku di tahun-tahun sebelumnya mirip tanaman yang tidak diairi. Embun di waktu malam memberiku cukup energi untuk sekadar bertahan hidup. Namun, selain itu aku benar-benar dahaga, aku memiliki kekuatan untuk berdiri, tapi hanya itu. Jika kau membasahi tanaman itu sekali saja, tanaman itu akan mulai segar kembali, dedaunannya akan terangkat kembali. Itulah yang terjadi padaku di minggu pertama itu. Pada suatu pagi enam hari setelah kedatanganku, aku memandang ke dalam cermin dan tersadar bahwa diriku telah menjadi wanita berbeda. Kulitku lebih halus, mataku lebih bercahaya, ketika berpakaian aku mulai bernyanyi, hal yang tak pernah kulakukan sejak kecil.



Karena kau mendengar cerita ini dari luar, mungkin kau lantas menganggap wajar untuk berpikir bahwa di balik eforia ini kiranya ada keraguan dan kegelisahan yang menyiksa. Aku toh perempuan yang telah menikah, mana bisa aku menerima dengan hati ringan uluran persahabatan lelaki lain? Tapi sesungguhnya tak ada keraguan, tak ada perasaan waswas, dan itu bukannya karena aku berpikiran terbuka, melainkan karena yang kuhayati menyangkut fisik, sesuatu yang berhubungan dengan tubuhku semata. Aku bagai anak anjing yang setelah berkelana jauh sepanjang jalan-jalan di musim dingin, lalu menemukan sarang yang hangat. Tanpa bertanya-tanya anak anjing itu merebahkan diri dan menikmati kehangatan sarang itu. Lagi pula aku tidak menganggap diriku menarik, sehingga aku tak pernah membayangkan bahwa seorang lelaki akan tertarik kepadaku.



Pada hari Minggu pertama saat aku berjalan ke gereja, Ernesto menepikan mobilnya di dekatku. "Mau ke mana?" tanyanya sambil melongokkan kepala dari jendela, dan begitu kujawab ia sudah membuka pintu mobil sambil berkata, "Percayalah, Tuhan akan lebih senang kalau kau ikut jalan-jalan ke hutan daripada ke gereja." Setelah beberapa belokan kami pun tiba di ujung jalan setapak yang menghilang di antara pepohonan chestnut. Aku tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk dipakai berjalan di jalanan yang tidak rata, karenanya berkali-kali aku tersandung. Saat Ernesto menggenggam tanganku, rasanya itu hal paling wajar di dunia. Kami berjalan dalam kebisuan. Aroma musim gugur mengisi udara, tanah terasa lembab, daun-daun di pepohonan menguning, dan cahaya Matahari menembus melewatinya dengan warna-warna lembut. Akhirnya kami tiba di tempat yang agak lapang, sebatang pohon chestnut berdiri di tengah-tengahnya. Teringat pohon ek-ku, aku pun menghampirinya. Mula-mula pohon itu kubelai, lalu aku meletakkan pipiku di batangnya. Segera saja Ernesto meletakkan kepalanya di dekatku. Itulah pertama kalinya mata kami demikian dekat.



Keesokan harinya aku tak ingin bertemu dengannya. Persahabatan kami berubah, dan aku membutuhkan waktu untuk berpikir.



Aku bukan lagi gadis remaja, aku perempuan yang telah menikah dengan seluruh tanggung jawabnya. Ia juga sudah menikah dan memiliki seorang anak. Aku sendiri telah meramalkan seluruh hidupku hingga usia tua, hingga kenyataan bahwa sesuatu yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya menerpaku, membuatku sangat gelisah. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Sesuatu yang baru mula-mula selalu menakutkan, namun untuk bisa maju kau harus mengatasi perasaan takut ini. Maka aku pun berpikir, ini benar-benar tolol, benar-benar berbeda dengan hidupku selama ini, aku harus melupakan semuanya dan menghapus yang sudah telanjur ini. Namun, sesaat kemudian aku berkata lagi bahwa tolol benar bila aku melepaskan kesempatan ini karena untuk pertama kali sejak kecil aku merasa hidup kembali, segala sesuatu bergetar di sekitarku, di dalam diriku, sehingga mustahil rasanya membiarkan semua ini pergi. Tapi lalu aku merasa curiga, kecurigaan yang cukup wajar sebenarnya, kecurigaan yang dirasakan atau paling tidak pernah dirasakan oleh semua perempuan, yakni bahwa ia mempermainkan diriku, bahwa ia hanya ingin bersenang-senang. Semua pikiran ini berputar-putar di dalam kepalaku saat aku sendirian di kamar penginapan itu.



Malam itu aku tidak dapat tidur hingga pukul empat pagi. Perasaanku terlalu penuh. Namun, paginya aku sama sekali tidak merasa lelah. Sambil berpakaian aku mulai bernyanyi; dalam beberapa jam itu di dalam diriku lahir keinginan yang luar biasa untuk hidup. Pada hari kesepuluh aku di sana aku mengirim kartu pos kepada Augusto. Isinya udara segar, makanannya lumayan. Mari berharap yang terbaik! Aku menutupnya dengan salam mesra. Malam sebelumnya telah kulewatkan bersama Ernesto.



Malam itu tiba-tiba aku sadar, ada begitu banyak jendela kecil di antara tubuh dan jiwa. Jika jendela-jendela ini terbuka, segenap emosi akan mengalir dengan bebasnya. Namun jika jendela-jendela ini hanya terbuka setengah, emosi-emosi itu pun akan tersaring. Hanya cinta yang dapat membuka semua jendela itu, serentak, laksana embusan angin.



Selama minggu terakhirku di Porretta, kami senantiasa bersama. Kami berjalan-jalan jauh, bercakap-cakap hingga mulut kami kering. Betapa berbedanya dengan obrolanku bersama Augusto! Dengan Ernesto, semuanya sarat perasaan dan antusiasme. Ia bisa mendiskusikan masalah-masalah yang amat sulit dengan kesederhanaan luar biasa. Kami sering berbicara tentang Tuhan, tentang kemungkinan ada sesuatu di balik realitas yang nyata ini. Ia pernah ikut perang dan lebih dari sekali ia telah menyaksikan kematian dengan mata kepala sendiri. Pikiran mengenai sesuatu yang lebih tinggi menerpanya pada saat-saat seperti itu, bukan karena ia merasa takut, melainkan karena kesadarannya bertambah dan bertumbuh. "Aku tak bisa mengikuti ritual apa pun," katanya. "Aku tak akan pernah ke gereja, dan aku tak bisa mempercayai dogma atau cerita yang dibuat manusia." Kami saling berebut menimpali ucapan yang lain, kami memikirkan hal-hal yang sama, mengatakannya dengan cara yang sama, seolah-olah sudah bertahun-tahun kami saling mengenal, tidak hanya dua minggu.



Waktu kami tinggal sedikit, selama beberapa malam terakhir kami nyaris tidak tidur sama sekali, kami hanya tidur sebentar, cukup untuk memulihkan kekuatan. Ernesto sangat terpesona oleh masalah takdir. "Dalam kehidupan setiap lelaki," katanya, "hanya ada seorang wanita. Bersama wanita itu dia akan mencapai persatuan yang sempurna. Dalam hidup setiap wanita hanya ada satu lelaki, dan bersamanya wanita itu menjadi lengkap." Namun hanya sedikit, sangat sedikit manusia yang ditakdirkan untuk bertemu. Sisanya terpaksa hidup dalam ketidakpuasan, dalam kerinduan abadi. "Akan ada berapa banyak perjumpaan seperti kita?" katanya pada kegelapan kamar. "Satu dalam sepuluh ribu, satu dalam sejuta, satu dalam sepuluh juta?" Pasti satu dalam sepuluh juta. Pasangan-pasangan sisanya adalah hasil kompromi, ketertarikan dangkal yang bersifat sementara, daya tarik fisik, kemiripan karakter, atau sekadar kebiasaan. Setelah percakapan ini ia hanya bisa berkata, "Kita ini sangat beruntung, ya kan? Siapa yang tahu ada apa di balik semua ini? Siapa yang tahu?"



Pada hari kepulanganku, sementara menunggu kereta api di stasiun kecil itu, ia memeluk dan berbisik di telingaku, "Dalam kehidupan lampau yang manakah kita pernah berjumpa?" "Dalam banyak, begitu banyak kehidupan," sahutku, dan aku pun mulai menangis. Di tasku aku menyimpan alamatnya di Ferrara.



Tak ada gunanya melukiskan kepadamu bagaimana perasaanku selama perjalanan pulangku yang panjang. Terlalu banyak gejolak, dan hatiku tiada juga tenang dan damai. Aku sangat merasa bahwa diriku harus bermetamorfosis dalam beberapa jam perjalanan itu. Karenanya, aku pun bolak-balik ke kamar kecil untuk memeriksa wajahku. Cahaya dari mataku, senyumku, semua harus hilang, padam. Hanya rona pipiku yang boleh tinggal sebagai bukti bahwa udara yang segar baik bagiku. Baik ayahku maupun Augusto melihat kondisiku sudah jauh lebih baik. "Aku tahu sumber air panas itu membawa mukjizat," kata ayahku berulang kali. Augusto-aku nyaris tak percaya-menghujaniku dengan perhatian-perhatian kecil yang sopan.



Ketika kau pertama kali jatuh cinta dengan begitu mendalamnya, kau pun tahu betapa beragam dan menggelikan dampaknya.



Selama kau tidak jatuh cinta, selama hatimu bebas dan matamu tak terikat pada siapa pun, tak satu pun pria yang mungkin dapat membuatmu jatuh cinta akan memberikan sedikit waktunya bagimu. Namun begitu seorang pria mencuri hatimu dan kau tak lagi memedulikan siapa pun, mereka pun mulai mengikutimu, bicara semanis madu padamu, menemanimu. Jendela-jendela yang kukatakan tadi itulah penyebabnya. Ketika jendela-jendela itu terbuka, tubuh akan menyinari jiwa dan jiwa pun menyinari tubuh, cahaya mereka saling memantul pada yang lain. Dalam waktu singkat aura keemasan yang hangat terbentuk di sekelilingmu, dan aura ini menarik orang-orang lain, seperti madu menarik beruang. Augusto tak terkecuali, dan mungkin ini aneh bagimu, namun aku tidak merasa sulit bersikap manis padanya. Memang, kalau Augusto sedikit lebih peduli pada hal-hal duniawi, atau sedikit lebih jahat, ia pasti akan segera mengetahui apa yang terjadi. Untuk pertama kali sejak kami menikah, aku berterima kasih pada serangga-serangga mengerikan itu.



Apakah aku memikirkan Ernesto? Tentu saja, hanya itu yang kulakukan. Tetapi memikirkan mungkin bukan kata yang tepat. Aku tak hanya sekadar memikirkan dirinya, aku hidup untuknya, ia hidup di dalam diriku. Dalam setiap gerakan dan setiap pikiran kami adalah satu. Saat kami berpisah, kami sepakat akulah yang pertama-tama akan menulis surat. Agar ia dapat membalas suratku, aku harus menemukan alamat teman yang dapat dipercaya, supaya Ernesto dapat mengirimkan surat-suratnya ke alamat teman itu. Surat pertama kukirim sehari menjelang Hari Raya Semua Orang Kudus. Periode selanjutnya merupakan saat paling mengerikan bagi seluruh hubungan kami. Cinta yang lebih besar dan lebih mutlak pun tak lepas dari keraguan ketika pasangan kita jauh dari kita. Beberapa kali aku terbangun ketika di luar masih gelap. Aku diam tak bergerak, membisu di sisi Augusto. Itulah satu-satunya saat ketika aku tidak perlu menyembunyikan perasaan-perasaanku. Aku kembali memikirkan tiga minggu itu. Aku bertanya-tanya, Bagaimana kalau Ernesto hanya perayu, yang karena merasa jemu dengan tugasnya di sumber air panas itu memutuskan menghibur dirinya dengan wanita sendirian pertama yang ditemuinya? Semakin banyak hari yang lewat tanpa surat darinya, semakin aku yakin kecurigaanku itu benar. Baiklah, batinku, bila itu benar, kalaupun aku bersikap seperti wanita naif yang tolol, itu bukanlah pengalaman yang negatif ataupun sama sekali sia-sia. Bila aku tidak membiarkan diriku melakukannya, aku akan menjadi tua dan mati tanpa pernah tahu apa yang bisa dirasakan seorang wanita. Bagaimanapun juga, kau tahu, aku berusaha membuat lapisan pelindung untuk melunakkan pukulan itu.



Baik ayahku maupun Augusto melihat bahwa suasana hatiku menjadi sangat buruk. Aku menangis hanya karena masalah kecil; begitu salah seorang dari mereka masuk ke ruangan, aku langsung pergi ke ruangan lain, aku ingin ditinggal sendirian. Aku terus mengenang minggu-minggu yang kualami bersama Ernesto, dengan penuh kegelisahan aku menilik setiap kenanganku, menit demi menit, mencoba menemukan suatu tanda, bukti yang bisa membantuku mengambil keputusan sekali untuk selamanya. Seberapa lamakah siksaan ini berlangsung? Satu setengah bulan, hampir dua. Seminggu sebelum Natal akhirnya surat itu tiba di alamat teman yang menjadi perantara, lima halaman ditulis tangan, tulisannya besar-besar dan renggang.



Sekonyong-konyong suasana hatiku membaik. Musim dingin berlalu, demikian pula musim semi, dan aku melewatinya dengan menulis surat dan menunggu jawaban darinya. Pikiranku sangat terpusat pada Ernesto, hingga persepsiku mengenai waktu pun berubah. Seluruh energiku semata terpusat pada masa depan yang tidak pasti, pada saat ketika aku akan melihatnya kembali.



Surat pertamanya menggerakkan hatiku begitu rupa hingga segenap keraguan mengenai perasaan yang mengikat kami lenyap seketika. Cinta kami sangat besar, amat sangat besar, dan layaknya cinta yang demikian besar, segalanya berbeda dengan cinta-cinta biasa. Mungkin aneh bagimu bahwa jarak yang memisahkan kami tidak membuat kami menderita, meskipun tidak terlalu tepat bila mengatakan kami tidak menderita sama sekali. Aku maupun Ernesto sangat menderita karena keterpisahan kami, meski begitu perasaan-perasaan lain bercampur aduk dengan penderitaan ini, hingga kepedihan karena kami terpisah dikalahkan oleh emosi karena menanti-nantikan saatnya kami akan bertemu lagi. Kami sama-sama telah menikah, kami tahu kami tak bisa mengharapkan sesuatu akan terjadi sebaliknya. Jika saja semua ini terjadi sekarang, aku takkan menunggu sebulan untuk meminta cerai dari Augusto, dan Ernesto juga akan meminta hal yang sama dari istrinya dan sebelum Natal kami pun sudah akan tinggal di rumah yang sama. Apakah itu akan lebih baik? Entahlah. Sangat sulit bagiku untuk melenyapkan anggapan bahwa hubungan yang mudah justru akan merusak cinta dan mengubah intensitas hasrat menjadi sekadar gairah belaka.



Memiliki kekasih pada masa itu, dan bisa bertemu dengannya, tidaklah mudah. Bagi Ernesto tentu saja lebih mudah, karena sebagai dokter ia selalu dapat menghadiri pertemuan, pelatihan, atau kasus mendesak.



Tapi bagiku yang tidak mempunyai kegiatan lain selain yang menyangkut rumah tangga, hal seperti itu nyaris mustahil. Aku terpaksa berpura-pura harus melakukan sesuatu yang membuatku bisa meninggalkan rumah selama beberapa jam atau beberapa hari tanpa menimbulkan kecurigaan. Karenanya sebelum Paskah aku bergabung dengan klub pencinta bahasa Latin. Klub itu berkumpul seminggu sekali dan melakukan perjalanan budaya secara teratur. Karena tahu minatku terhadap bahasa-bahasa kuno, Augusto tidak curiga atau mengeluh sedikit pun. Ia malah senang melihatku kembali menekuni minat lamaku.



Musim panas tahun itu datang mendadak. Di penghujung bulan Juni, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ernesto pergi ke sumber air panas untuk kerja musiman, sedang aku ke laut dengan ayah dan suamiku. Pada bulan itu aku berhasil meyakinkan Augusto bahwa aku belum berhenti menginginkan anak. Pagi tanggal 31 Agustus, dengan koper dan pakaian yang sama seperti tahun sebelumnya, ia mengantarku ke kereta yang menuju Porretta. Sepanjang perjalanan sejenak pun aku tidak bisa duduk tenang. Aku melongok ke jendela dan melihat pemandangan yang sama seperti yang kulihat tahun sebelumnya, namun segalanya toh tampak berbeda.



Tiga minggu lamanya aku tinggal di sumber air panas itu, dan selama tiga minggu itu rasanya aku hidup lebih dalam dan lebih dalam lagi dibandingkan sepanjang hidupku. Pada suatu hari, sementara Ernesto bekerja, aku berjalan di halaman. Aku ingat aku berpikir betapa indahnya jika aku mati saat itu juga. Tampaknya aneh, namun kebahagiaan yang terbesar, seperti juga kedukaan yang terbesar, selalu mengajak serta hasrat yang kontradiktif ini. Rasanya seolah diriku telah lama berjalan, bertahun-tahun lamanya aku telah melewati jalan-jalan yang licin menembus hutan. Supaya bisa maju aku harus merintis jalanku menerobos semak belukar, dan aku tidak memandang sekelilingku kecuali yang ada di depanku. Aku tak tahu ke mana aku tengah mengarah, mungkin di depanku ada jurang, tebing, kota besar, atau padang gurun. Tiba-tiba hutan itu berakhir, rupanya tanpa kusadari aku telah mendaki naik dan kini aku berada di puncak gunung. Matahari baru saja terbit dan di depanku terbentang gunung-gunung yang terbungkus lapisan kabut tebal, yang menurun hingga ke batas cakrawala. Segalanya serbabiru, tiupan angin yang lembut mengembus ke puncak, puncak dan kepalaku, kepalaku dan pikiran di dalamnya. Sesekali suara terbawa dari bawah sana, salak anjing, suara lonceng gereja. Segalanya anehnya begitu ringan dan sekaligus berat. Di dalam dan di luar diriku semua menjadi jelas, tak ada satu bayangan pun, aku tak ingin turun lagi, tidak ingin kembali ke hutan. Aku ingin menyelam dalam kebiruan ini dan tinggal selamanya di sana, meninggalkan kehidupan sekarang setelah aku tiba di puncaknya. Kusimpan pikiran ini hingga malam saat aku bertemu Ernesto. Namun pada waktu makan malam aku kehilangan keberanianku dan tak bisa memberitahunya, aku takut ia menertawaiku. Baru ketika malam telah tua, tatkala ia datang ke kamarku, saat ia memelukku, kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik. Aku ingin berkata padanya, "Aku ingin mati." Tapi tahukah kau apa yang akhirnya kukatakan? "Aku menginginkan anak."



Ketika aku meninggalkan Porretta, aku tahu diriku mengandung. Kurasa Ernesto juga mengetahuinya, pada hari-hari terakhir ia amat gelisah, bingung, sering berdiam diri. Reaksiku sendiri sangat berbeda. Tubuhku mulai berubah pada pagi pertama setelah aku mengandung. Payudaraku tiba-tiba lebih berisi, lebih kencang, kulit wajahku berseri-seri. Sungguh mengagumkan dalam waktu singkat tubuh menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Itulah sebabnya aku bisa mengatakan aku tahu benar apa yang telah terjadi, meskipun aku tidak melakukan tes kehamilan, meskipun perutku masih rata. Tiba-tiba aku merasa bercahaya, tubuhku mengubah dirinya sendiri, mulai mengembang, dan aku dapat merasakan kekuatannya. Sebelumnya belum pernah aku mengenal perasaan semacam ini.



Pikiran-pikiran besar baru menyerangku ketika aku sendirian di atas kereta. Selama aku bersama Ernesto aku tak ragu sedikit pun bahwa aku akan memelihara anakku. Augusto, kehidupanku di Trieste, omongan orang, semua itu sepertinya jauh dariku. Namun setelah seluruh dunia itu semakin mendekatiku, dan kehamilanku akan terus berkembang, aku harus mengambil beberapa keputusan dan kemudian memegang keputusan itu. Anehnya aku segera paham bahwa melakukan aborsi ternyata lebih sulit daripada menerima kelahiran seorang anak. Aku tidak mungkin menyembunyikan aborsi itu dari Augusto. Mana mungkin aku dapat membenarkan tindakan itu setelah selama bertahun-tahun aku menyatakan keinginanku untuk memiliki anak? Lagi pula, aku tak pernah berminat melakukan aborsi. Makhluk kecil yang tumbuh dalam diriku bukanlah kekeliruan, ia bukanlah sesuatu yang harus segera dienyahkan. Ia adalah pemenuhan suatu hasrat, mungkin hasrat paling besar dan paling kuat sepanjang hidupku.



Ketika seseorang mencintai orang lain-jika ia mencintai orang itu dengan segenap jiwa dan raga-hal paling wajar adalah menginginkan anak. Ini bukanlah keinginan intelektual, ini bukanlah pilihan yang didasarkan pada kriteria rasional.



Sebelum bertemu Ernesto, aku membayangkan diriku menginginkan seorang anak dan aku tahu benar mengapa aku menginginkan anak itu, dan aku tahu benar semua pro dan kontranya bilamana aku mewujudkan keinginanku. Pendeknya ini pilihan rasional, aku menginginkan anak karena aku telah mencapai umur tertentu dan aku teramat kesepian, karena aku perempuan dan bila perempuan tidak menghasilkan apa-apa, setidaknya mereka dapat menghasilkan anak-anak. Tidakkah kaulihat? Kalaupun aku membeli mobil, aku akan menggunakan kriteria yang sama.



Namun, ketika malam itu aku berkata kepada Ernesto, "Aku menginginkan anak," itu sama sekali berbeda. Keputusan itu sama sekali bertentangan dengan akal sehat, namun toh akal sehat tak kuasa melawannya. Lagi pula ini bukan keputusan, melainkan kegilaan, hasrat untuk memiliki selamanya. Aku menginginkan Ernesto di dalam diriku, bersamaku, di sisiku selamanya. Kini ketika membaca bagaimana aku telah bertindak, barangkali kau gemetar karena ngeri, kau bertanya-tanya bagaimana mungkin kau tidak menyadari sisi gelap diriku yang begitu rendah itu? Ketika aku tiba di Stasiun Trieste, aku melakukan satu-satunya hal yang dapat kulakukan, aku turun dari kereta bagai istri lembut yang tengah mabuk cinta kepada suaminya. Augusto sangat terkejut melihat perubahanku, namun alih-alih bertanya-tanya, ia membiarkan dirinya larut di dalamnya.



Sesudah sebulan berlalu, menjadi masuk akallah sekarang bahwa anak itu anaknya. Ketika aku memberitahu hasil tes kehamilan itu, ia pun meninggalkan kantornya menjelang siang dan melewatkan seharian bersamaku untuk merencanakan perubahan-perubahan di dalam rumah guna menyambut kedatangan anak itu. Tatkala aku memberitahu ayahku mengenai berita itu, ayahku memegang tanganku dengan tangannya yang kering, sementara matanya menjadi basah dan merah. Sudah agak lama pendengarannya yang buruk telah memenjarakannya dari kehidupan di sekitarnya, dan ia sering mendadak terdiam di antara ucapan-ucapannya, atau terkadang ada loncatan-loncatan pikiran atau serpih-serpih ingatan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Entah mengapa, tetapi di depan air matanya ini, alih-alih terharu aku malah merasa sedikit jengkel. Bagiku itu tak lebih dari retorika. Namun, ia tak sempat melihat cucunya. Ia meninggal dalam tidur ketika usia kehamilanku mencapai enam bulan. Ketika aku melihatnya terbaring di peti, aku terkejut oleh kenyataan betapa layu dan tua dirinya. Wajahnya selalu sama, berjarak dan netral.



Tentu saja setelah menerima hasil tes kehamilan itu aku menyurati Ernesto; jawabannya tiba tak sampai sepuluh hari. Aku menunda membuka surat itu beberapa jam lamanya. Aku sangat terguncang, aku khawatir isinya tidak menyenangkan. Menjelang sore barulah aku memutuskan membaca isinya. Agar dapat melakukannya dengan bebas, aku mengurung diri di kamar kecil di sebuah bar. Kata-katanya menenteramkan dan rasional. "Aku tak tahu apakah ini yang terbaik," ia menulis, "tapi bila kau menginginkannya, aku menghormati keputusanmu."



Sejak itu, setelah segala rintangan teratasi, masa penantianku yang tenang sebagai ibu pun mulailah. Apakah aku merasa diriku monster? Apakah aku memang monster? Entahlah. Selama masa mengandung dan tahun-tahun sesudahnya, aku tak pernah bimbang atau menyesal. Bagaimana aku berpura-pura mencintai seorang pria sementara aku mengandung anak lelaki lain yang sungguh-sungguh kucintai? Dalam kehidupan nyata masalahnya tidaklah sesederhana itu, tak pernah hitam atau putih; melainkan sarat dengan berbagai warna, dan setiap warna membawa serta bayang-bayangnya sendiri. Tidak sulit bagiku untuk bersikap ramah dan hangat kepada Augusto karena aku mencintainya. Caraku mencintainya sangat berbeda dengan caraku mencintai Ernesto. Aku mencintainya bukan seperti perempuan mencintai lelaki, melainkan seperti adik mencintai kakaknya yang sedikit menjemukan. Bila ia pria jahat mungkin masalahnya berbeda sama sekali, aku takkan bermimpi memiliki anak dan hidup bersamanya. Syukurlah ia pria yang dapat diduga dan sangat teratur. Lebih dari itu ia sungguh pria yang baik. Ia bahagia memiliki anak itu dan aku bahagia memberikan anak itu kepadanya. Untuk apa aku membuka rahasia itu? Jika aku mengungkapkan rahasiaku, aku akan membuat tiga manusia tidak bahagia selamanya. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat itu. Sekarang ini, di saat kau memilki kebebasan dan dapat memilih, apa yang kulakukan saat itu bisa jadi sangat mengerikan. Namun, waktu itu kasus seperti ini cukup biasa. Aku tidak mengatakan ini menimpa setiap pasangan yang telah menikah, hanya saja bukan hal aneh bila seorang perempuan yang telah menikah mengandung anak lelaki lain yang bukan suaminya. Lalu apa yang terjadi? Sama dengan yang terjadi pada kasusku: tidak terjadi apa-apa. Anak itu lahir, tumbuh seperti saudara-saudaranya yang lain, dan menjadi dewasa tanpa menaruh curiga sedikit pun. Pada masa itu keluarga memiliki dasar yang sangat kokoh. Untuk menghancurkannya perlu lebih dari sekadar seorang anak yang mencurigakan.



Bagaimanapun, meski bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu, aku masih terus memeriksa pulau-pulau di dekat situ, menantikan kejutan, kepulan asap, sesuatu yang meneguhkan kecurigaanku bahwa mereka semua masih hidup bersamaku di bawah langit yang sama.



Pada malam ketika Ernesto meninggal dunia, aku terbangun tiba-tiba oleh suara keras. Augusto menyalakan lampu dan berseru, "Siapa di situ?" Tak ada siapa-siapa, dan semuanya tampak sama saja. Keesokan harinya ketika aku membuka pintu lemari, barulah aku tahu kayu penyangga di dalam lemari telah lepas. Kaus kaki, syal, pakaian, pakaian dalamku semua berantakan. Rosi


Sekarang aku bisa mengatakan "malam ketika Ernesto meninggal dunia". Namun pada saat itu aku tidak mengetahuinya. Aku baru menerima surat darinya. Aku sama sekali tak bisa membayangkan sesuatu telah menimpanya. Aku hanya berpikir kelembapan telah menyebabkan kayu penyangga itu lapuk, dan beban yang terlalu berat membuatnya lepas. Ilaria baru berusia empat tahun, baru saja masuk taman kanak-kanak. Hidupku bersama dirinya dan Augusto telah menjadi rutinitas yang tenang. Siang itu, sesudah pertemuan dengan klub bahasa Latin, aku pergi ke kafe untuk menulis surat kepada Ernesto. Dua bulan lagi klub itu akan mengadakan konferensi di Mantova dan sudah lama Ernesto dan aku menanti-nantikan saat itu untuk dapat berjumpa kembali. Sebelum pulang kumasukkan surat itu ke kotak pos dan seminggu kemudian aku mulai menanti-nantikan jawaban. Minggu berikutnya maupun minggu-minggu sesudahnya aku tidak juga menerima suratnya. Tak pernah aku harus menunggu selama itu. Mula-mula aku berpikir ada yang tidak beres dengan kantor pos, kemudian aku membayangkan ia mungkin jatuh sakit dan tidak bisa ke tempat kerjanya untuk mengambil surat. Sebulan kemudian kutulis pesan pendek untuknya, dan itu pun tidak dijawab. Bersama lewatnya hari demi hari, aku mulai merasa seperti rumah yang dasarnya kemasukan air. Mula-mula air itu masuk pelan-pelan, diam-diam, meresap hanya di lantai tetapi kemudian, dengan lewatnya waktu, air itu meresap semakin banyak, mengalir semakin kuat, membuat semennya berubah menjadi pasir. Rumah itu masih berdiri, semuanya masih tampak normal, tapi aku tahu kenyataannya tidak begitu. Satu pukulan saja, betapa pun kecilnya, bisa meruntuhkan semuanya, membuatnya ambruk laksana istana kartu.



Ketika berangkat ke konferensi klub bahasa Latin-ku, aku merasa bagai bayangan diriku yang dulu. Setelah muncul sebentar di Mantova, aku langsung ke Ferrara. Di sana aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada siapa-siapa di kantornya, meskipun beberapa kali aku melewatinya kerainya selalu tertutup. Hari kedua aku pergi ke perpustakaan dan mencari-cari berita di surat kabar bulan sebelumnya. Dalam sebuah artikel singkat aku menemukan segalanya. Suatu malam, sepulang dari mengunjungi pasien, mobilnya selip dan menabrak pohon besar. Ia nyaris tewas saat itu juga. Hari dan jamnya bertepatan dengan saat penyangga di lemariku runtuh.



Pada salah satu rubrik astrologi di majalah bekas yang sesekali dibawakan Mrs Razman, aku pernah membaca bahwa Mars pada posisi kedelapan sangat menentukan kematian tragis. Menurut artikel itu, tak seorang pun yang lahir di bawah konfigurasi planet ini ditakdirkan meninggal dengan tenang di tempat tidurnya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah barangkali Ernesto dan Ilaria dilahirkan pada saat kombinasi menyeramkan ini tengah terbentuk di langit? Sebab dengan selisih lebih dari dua puluh tahun, ayah dan anak ini meninggal dengan cara yang sama: mobil mereka menabrak pohon.



Setelah kematian Ernesto, aku jatuh dalam relung depresi yang dalam. Selama beberapa tahun diriku telah bersinar terang, dan tiba-tiba aku tersadar sinar itu tidak berasal dari dalam diriku sendiri, melainkan hanya pantulan. Kebahagiaan dan cinta akan kehidupan yang kurasakan, tak pernah merupakan milikku. Ernesto-lah yang menciptakan sinar itu, dan aku hanya memantulkannya. Setelah ia pergi segalanya kembali gelap. Kehadiran Ilaria bukannya membuatku bahagia, melainkan tertekan, aku sangat terguncang sampai-sampai aku meragukan apakah anak ini sungguh-sungguh anak Ernesto. Ilaria menyadari perubahan ini. Dengan antena kanak-kanaknya yang peka ia menyadari penolakanku, hingga ia pun jadi banyak tingkah dan sulit diatur. Sejak itu ia menjadi tanaman rambat muda yang penuh semangat hidup, sementara aku pohon tua yang sebentar lagi akan mati. Bagai anjing pelacak ia mencium rasa bersalahku, ia menggunakannya untuk memanjat lebih tinggi lagi. Rumah tanggaku menjadi neraka yang sarat teriakan dan percekcokan.



Untuk meringankan bebanku Augusto mempekerjakan seorang pengasuh untuk mengurus Ilaria. Selama beberapa waktu Augusto mencoba membuat Ilaria tertarik pada serangganya, tetapi sesudah tiga-empat kali mencoba-tahu anak itu selalu berteriak "Menjijikkan!"- akhirnya ia pun menyerah. Tiba-tiba Augusto menampakkan usianya yang sesungguhnya. Ia lebih mirip kakek putrinya daripada ayahnya, ia sangat ramah pada Ilaria namun tetap menjaga jarak. Ketika aku memandang ke dalam cermin, kulihat diriku menjadi jauh lebih tua. Dari sosokku terpancar kekerasan yang sebelumnya tak pernah ada.



Menolak diri sendiri adalah salah satu caraku untuk menunjukkan betapa aku sangat memandang rendah diriku. Kini setelah Ilaria bersekolah dan kami mempekerjakan pengasuh itu, aku jadi punya banyak waktu luang. Perasaan gelisah mendorongku menghabiskan sebagian besar waktu itu dengan terus bergerak; dengan bermobil aku bolak-balik Carso, menyetir seperti orang gila.



Aku kembali membaca beberapa buku religius yang kubaca saat aku tinggal di L'Aquila dulu. Aku berharap akan menemukan jawaban di buku-buku itu. Sambil berjalan aku mengulang-ulang ucapan St Agustinus di saat kematian ibunya, "Janganlah kita bersedih karena kematiannya,melainkan berterimakasih karenapernah memilikinya."



Seorang teman mempertemukan aku dengan pastorconfessore 4), dua atau tiga kali, namun setiap kali selesai bertemu dengannya, aku justru semakin sedih. Ucapannya manis dan membosankan, mendorongku agar tetap beriman, seolah-olah iman adalah sesuatu yang bisa dibeli di toko mana pun. Aku belum bisa menerima kepergian Ernesto, cahayaku telah pergi dan aku tak dapat menemukan alasannya. Kau tahu, ketika aku bertemu dengannya, ketika cinta kami lahir, aku menjadi yakin segalanya telah terpecahkan, bahwa aku bahagia dengan keadaanku, bahagia dengan segala sesuatu di sekitarku. Aku merasa telah tiba di puncak perjalananku, di titik paling stabil. Aku yakin tak ada sesuatu atau seorang pun yang dapat memindahkanku dari situ. Di dalam diriku ada keyakinan yang angkuh seperti yang dimiliki orang-orang yang mengira diri mereka telah memahami segalanya. Bertahun-tahun lamanya aku yakin, aku tiba di sini karena kekuatanku sendiri, padahal sebenarnya tak satu pun langkahku kuambil tanpa bantuan. Kalaupun aku tidak menyadarinya, di bawahku ada kuda. Kuda itulah yang melakukan perjalanan, bukan diriku. Ketika kuda itu lenyap, aku pun menyadari betapa lemah kakiku. Ingin aku berjalan namun pergelangan kaki ini terasa lemah, langkah-langkah yang kuambil sangat goyah, laksana langkah anak kecil atau orang tua. Sesaat aku berpikir untuk meraih tongkat penyangga: agama, mungkin, atau pekerjaan. Namun, itu hanya pikiran sesaat. Nyaris saat itu juga aku tahu ini cuma satu kesalahan lagi. Pada usia empat puluh tahun tak ada lagi tempat untuk melakukan kesalahan. Kalau tiba-tiba kau mendapati dirimu telanjang, kau harus memiliki keberanian untuk memandang ke dalam cermin dan melihat dirimu sebagaimana adanya. Aku harus memulai dari awal lagi. Baiklah, namun dari mana aku harus mulai? Dari diriku sendiri. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalankannya sulit. Di manakah diriku? Siapakah aku? Kapankah terakhir kali aku menjadi diriku sendiri?



Seperti kataku, sepanjang siang aku berjalan-jalan di pegunungan. Kadang-kadang, jika aku merasa kesepian akan menambah runyam hatiku, aku pun turun ke kota dan membaur di antara orang-orang, menyusuri jalanan-jalanan terkenal, mencari sesuatu yang bisa menghibur. Rasanya seolah sekarang aku menjadi wanita yang bekerja, keluar rumah ketika Augusto keluar dan kembali kala ia pulang. Dokter yang merawatku memberitahu Augusto bahwa dalam kasus-kasus depresi, keinginan untuk banyak bergerak tidaklah normal. Karena aku tidak memiliki kecenderungan untuk bunuh diri, tak ada risiko apa pun untuk membiarkan aku berjalan-jalan. Semakin aku berjalan, menurut si dokter, aku pun akan semakin tenang. Augusto menerima keterangan ini, entah ia benar-benar percaya atau mungkin ia hanya sekadar malas karena tidak ingin hidupnya terganggu. Apa pun alasannya, aku berterima kasih kepadanya karena tidak mengusikku, karena tidak memperburuk kegelisahanku yang telah demikian tebal.



Namun, dalam satu hal dokter itu benar. Meskipun depresiku berat, aku tak memiliki keinginan untuk bunuh diri. Memang aneh, namun begitulah kenyataannya. Tak pernah sesaat pun setelah kematian Ernesto, aku berpikir untuk bunuh diri. Dan itu bukanlah karena Ilaria. Telah kukatakan kepadamu, saat itu ia sama sekali tak berarti bagiku. Itu lebih karena perasaan yang kumiliki jauh di dalam hatiku, bahwa kehilangan yang begitu mendadak itu bukanlah-tidak seharusnya, tidak boleh menjadi-sebuah akhir. Mestinya ini berarti sesuatu, namun mencari tahu maknanya rasanya bagai memanjat dinding yang tinggi. Apakah dinding itu ada supaya aku bisa memanjat dan melewatinya? Mungkin saja, tetapi aku tak dapat membayangkan apa yang mungkin ada di baliknya, atau apa yang akan kulihat bila aku mencapai puncaknya.



Suatu hari aku pergi ke tempat yang belum pernah kudatangi. Di sana ada gereja kecil dengan makam mungil di sekitarnya, dikelilingi pegunungan berhutan. Pada salah satu puncak pegunungan ini aku bisa melihat sesuatu berwarna putih, sepertinya runtuhan benteng kuno. Sedikit di belakang gereja itu ada dua atau tiga rumah petani. Ayam-ayam berkeliaran dengan bebas dan mengais-ngais di jalan. Seekor anjing menyalak-nyalak. Papan nama jalan itu bertulisan Samatorza. Samatorza, nama itu mirip solitudine yang berarti kesepian bagiku, tempat seseorang mengumpulkan pikirannya. Aku berdiri di depan jalan setapak berbatuan itu. Aku mulai berjalan tanpa memikirkan ke mana kiranya jalan itu menuju.



4) Pastor kepada siapa orang mengaku dosa (bapa pengakuan)




Tetapi bukan hatiku yang bicara sekarang, melainkan perutku. Perutku keroncongan dan ada alasannya, sebab saat makan malam telah tiba di suatu tempat antara kue dadar dan perjalanan sepanjang sungai. Nah, aku harus meninggalkanmu sekarang, tetapi sebelumnya kukirimkan lagi untukmu ciuman yang sangat kau benci.



***


29 November


BADAI angin kemarin telah memakan korban; aku menemukannya pagi ini, waktu berjalan-jalan di kebun. Rupanya malaikat pelindungku telah membisikiku, hingga alih-alih berkeliling rumah seperti biasa, aku berjalan lebih jauh ke tempat kandang ayam dulu berada dan sekarang tinggal tumpukan kotorannya. Saat aku berjalan sepanjang dinding rendah yang memisahkan rumah keluarga Walter dan rumah kita, aku melihat sesuatu berwarna hitam di tanah. Mula-mula kelihatannya seperti kerucut bunga pinus, ternyata bukan. Benda itu bergerak-gerak. Aku tidak mengenakan kacamata, sehingga aku harus melihatnya dari dekat sekali sebelum akhirnya tahu itu anak burung hitam betina. Pahaku nyaris patah saat aku mencoba menangkapnya. Setiap kali aku nyaris mendapatkannya, burung itu melompat menjauh. Kalau saja aku masih muda, dalam sedetik sudah kutangkap burung itu. Tapi sekarang aku terlalu lamban. Akhirnya aku dapat ide. Kulepaskan kain penutup kepalaku dan kubentangkan di atasnya. Lalu kubawa anak burung itu ke rumah. Sekarang ia ada di dalam kotak sepatu-kotak itu kulapis dengan sobekan kain dan tutupnya kuberi lubang, salah satunya cukup besar sehingga burung kecil itu bisa melongokkan kepalanya.


Sekarang, selagi aku menulis, ia di sini di depanku di atas meja. Aku belum memberinya makan karena ia masih sangat gelisah. Melihatnya seperti itu membuatku resah sendiri, tampangnya yang ketakutan membuatku jengah. Kalau saat ini ada peri datang dengan cahayanya yang menyilaukan dan kemudian ia berdiri di sana, di antara lemari es dan kompor, tahukah kau apa yang akan kuminta darinya? Aku akan meminta cincin Raja Sulaiman, yang membuat orang yang mengenakannya bisa berbicara dengan semua binatang. Dengan demikian aku akan bisa berkata kepada si burung hitam, "Jangan khawatir burung kecil, memang aku ini manusia, tapi maksudku baik. Aku akan merawatmu, akan kuberi kau makanan, dan jika kau sudah sembuh, aku akan melepaskanmu."


Tapi marilah kembali ke kita. Kita berpisah di dapur kemarin setelah kisah kue dadar yang mungkin sangat kau benci itu. Orang muda selalu menganggap hal-hal penting harus didiskusikan secara serius dan meyakinkan. Tak lama sebelum keberangkatanmu, aku menemukan surat yang kau tinggalkan di bawah bantalku. Di surat itu kau mencoba menjelaskan mengapa kau begitu tidak bahagia. Sekarang setelah kau jauh dari sini, aku bisa mengatakan kepadamu bahwa suratmu itu menunjukkan dengan jelas betapa tidak bahagianya dirimu, meskipun sedikit pun aku tidak mengerti apa yang kau tuliskan. Suratmu sangat berbelit-belit dan sulit dipahami. Aku orang yang sederhana, aku milik zaman yang berbeda dengan zamanmu: jika sesuatu putih aku akan bilang putih, jika hitam, hitam. Kemampuan untuk memecahkan masalah datang dari pengalaman sehari-hari, dengan memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya, entah menurut siapa pun. Begitu kita mulai membuang beban-beban tambahan, mengenyahkan apa pun yang bukan bagian kita, apa pun yang datang dari luar, saat itu juga kita sudah berada di jalan yang benar. Sering kali aku mendapat kesan bahwa buku-buku yang kau baca bukannya menolong, tapi malah membuatmu bingung-buku-buku itu bagaikan cumi-cumi yang kabur dan melepaskan tinta hitam yang segera menyergapmu.


Sebelum kau memutuskan pergi, kau memberiku pilihan: kau akan pergi ke luar negeri selama satu tahun atau mulai menemui psikiater. Reaksiku amat keras, kau ingat? Kau boleh saja pergi selama tiga tahun jika ingin, kataku, tetapi sekali pun kau tak boleh menemui psikiater, meskipun kau sendiri yang membayarnya. Kau sangat terpukul oleh reaksiku yang begitu ekstrem itu, sebab sangkamu pilihan menemui psikiater itu tidak seburuk yang satunya. Meskipun kau sama sekali tidak memprotes, aku membayangkan kau menganggap diriku terlalu tua atau tidak tahu untuk dapat memahami hal ini. Kalau benar demikian, kau keliru. Bahkan sejak kecil pun aku telah mendengar tentang Freud. Salah satu saudara laki-laki ayahku seorang dokter. Ia belajar di Wina, karenanya ia mengenal teori-teori Freud. Ia sangat antusias dengan teori-teori itu, dan setiap kali datang makan malam, ia berusaha mengubah sikap orangtuaku.


"Kau takkan pernah bisa meyakinkan aku bahwa jika aku bermimpi makan spageti itu berarti aku takut terhadap kematian," bentak ibuku. "Kalau aku bermimpi tentang spageti, artinya hanya satu, aku lapar." Percuma saja usaha pamanku menjelaskan kepada ibuku bahwa sikap keras kepalanya itu muncul karena tekanan, bahwa ketakutannya terhadap kematian tak perlu dipertanyakan lagi, sebab spageti dan cacing identik, dan kelak kita semua akan menjadi cacing. Tahu apa yang dikatakan ibuku? Setelah diam sebentar ia berkata dengan suara soprannya, "Baiklah, jadi bagaimana kalau aku bermimpi tentang makaroni?"


Bukan hanya sekali itu aku berhadapan dengan psikoanalisis. Ibumu menemui psikiater-atau seseorang yang mengaku psikiater-selama hampir sepuluh tahun; ia masih menemui psikiater itu waktu ia meninggal. Aku mengikuti seluruh perkembangan hubungan mereka, dari hari ke hari, meskipun tidak langsung. Sejujurnya, mula-mula ia tidak mengatakan apa-apa-itu masalah kerahasiaan profesional, kau tahu. Namun, yang membuatku terpukul-dan ini sesuatu yang negatif-adalah ketergantungannya yang tiba-tiba dan total. Dalam sebulan seluruh hidupnya telah berputar di sekitar janji temunya dengan si psikiater, di seputar apa pun yang terjadi antara dirinya dan laki-laki itu selama sesi-sesi pertemuan satu jam mereka. Kau akan mengatakan bahwa aku cemburu. Mungkin, bisa jadi, tapi bukan itu yang penting. Yang membuatku sangat cemas adalah melihat dirinya menjadi budak suatu ketergantungan baru, semula politik, sekarang hubungannya dengan lelaki itu. Ilaria berkenalan dengannya pada tahun terakhirnya di Padua, dan ke sanalah ia pergi setiap minggu untuk janji temunya. Ketika ia mengutarakan kegiatan barunya ini, aku agak bingung, dan aku berkata kepadanya, "Perlukah kau pergi sejauh itu hanya untuk menemui psikiater yang baik?"


Di satu sisi keputusannya menemui psikiater untuk keluar dari krisisnya yang kronis membuatku lega. Bagaimanapun, aku berkata kepada diriku, Ilaria telah memutuskan meminta bantuan seseorang, itu berarti langkahnya benar. Tapi di lain sisi aku tahu betapa rapuh dirinya, dan aku mencemaskan pilihannya mengenai orang yang menjadi kepercayaannya itu. Mempercayakan diri kita kepada orang lain harus disikapi dengan sangat hati-hati. "Bagaimana kau menemukannya?" aku bertanya. "Apakah ada yang merekomendasikannya kepadamu?" Tapi ia hanya mengangkat bahu. "Mana mungkin kau mengerti!" Lalu ia mengunci mulutnya dengan angkuh.


Meskipun di Trieste ia memiliki apartemen sendiri, kami makan siang bersama setidaknya sekali seminggu. Sejak ia menjalani terapi, pembicaraan kami pada kesempatan-kesempatan ini sangat dan sengaja dijaga agar tetap dangkal. Kami bicara mengenai kejadian di kota atau tentang cuaca. Jika cuaca cerah dan tidak ada yang terjadi di kota, kami pun makan nyaris tanpa bicara.


Namun, pada kunjungannya yang ketiga atau keempat ke Padua, aku menyadari perubahannya. Alih-alih bicara tidak menentu, ia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan: ia ingin mengetahui segala sesuatu mengenai masa lalu, mengenai diriku, ayahnya, hubungan kami. Tak ada perasaan sayang atau ingin tahu dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Ia kedengaran seperti interogator, mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali, menekankan detail-detail kecil, melemparkan keraguan terhadap peristiwa-peristiwa yang diingatnya dengan baik karena ia ada di sana saat peristiwa itu terjadi. Pada saat-saat seperti itu rasanya aku tidak sedang bicara dengan putriku sendiri, melainkan dengan detektif yang akan terus menunggu diriku mengakui kejahatan yang telah kulakukan. Pada suatu hari, kehabisan sabar, aku pun berkata kepadanya, "Coba katakan dengan jelas, ke mana arah semua pembicaraanmu ini?" Ia menatapku dengan tatapan agak ironis, mengambil garpu, mengetukkannya ke gelas, dan ketika gelas itu berdenting ia berkata, "Hanya ke satu alamat, yaitu tujuan akhir. Aku ingin tahu kapan dan mengapa kau dan suamimu itu mulai mengekangku."


Itulah kali terakhir aku membiarkan diriku ditanya-tanya seperti itu. Seminggu setelahnya aku menelepon dan mengajaknya makan siang, tapi dengan satu syarat: bahwa kami akan bercakap-cakap, bukan mengadili.


Apakah aku merasa bersalah? Tentu saja aku merasa bersalah. Ada banyak hal yang seharusnya kubicarakan dengan Ilaria, namun rasanya seperti tidak tepat dan tidak sehat mengungkapkan pemikiran-pemikiranku yang paling dalam di bawah tekanan interogasi. Jika aku mengikuti permainannya, alih-alih menciptakan hubungan baru di antara dua pribadi yang dewasa, aku selamanya hanya akan menjadi orang yang bersalah dan dialah korbannya, tanpa kemungkinan akan pernah dibebaskan.


Beberapa bulan kemudian aku kembali bicara dengannya mengenai terapinya. Saat itu ia mengurung diri bersama psikiaternya sepanjang setiap akhir pekan. Tubuhnya kurus kering dan ucapan-ucapannya sering kali tidak rasional. Kuceritakan kepadanya tentang pamanku, tentang bagaimana ia pertama kali mengenal psikoanalisis, dan kemudian dengan nada biasa aku bertanya kepadanya, "Psikiatermu itu lulusan mana?" "Tidak lulusan mana-mana," jawabnya, "atau lebih tepat dia lulusan sekolah yang dia dirikan sendiri."


Sejak itu apa yang semula hanya kecemasan biasa berubah menjadi kegelisahan yang nyata dan dalam. Aku berhasil menemukan nama psikiaternya, dan setelah menyelidikinya sebentar aku akhirnya tahu ia sama sekali bukan psikiater. Harapan yang kuhidupkan sejak awal mengenai efek positif terapi itu lenyap seketika. Tentu saja bukan karena ia tak berijazah yang menjadi kecurigaanku, melainkan itu ditambah kondisi Ilaria yang terus memburuk. Jikalau terapi ini sehat, kupikir, Ilaria mungkin akan melewati fase awal yang buruk, tapi kemudian mestinya kondisinya mulai membaik. Perlahan-lahan, meskipun kadang muncul keraguan dan kegagalan, mestinya kesadaran baru akan muncul juga. Tapi nyatanya perlahan-lahan ia justru kehilangan minat terhadap hal-hal lain. Ia telah menyelesaikan kuliahnya beberapa tahun sebelumnya tapi memilih tidak bekerja, ia bahkan menjauh dari sedikit teman yang dimilikinya. Satu-satunya kegiatannya hanyalah mengamati gerakan di dalam dirinya dengan obsesi seorang entomolog. Dunianya berputar di sekitar apa yang diimpikannya malam sebelumnya, pada ucapan yang kamu-aku dan ayahnya-pernah katakan kepadanya dua puluh tahun sebelumnya. Aku dapat melihat hidupnya berantakan, dan rasanya aku tak mampu berbuat apa-apa.


Baru tiga musim panas berikutnya, selama beberapa minggu cahaya harapan muncul. Tak lama setelah Paskah, aku mengajaknya bepergian bersama. Di luar dugaan, Ilaria tidak menolak gagasanku. Ia malah mengangkat mata dari piringnya dan menjawab, "Kita pergi ke mana?" "Entahlah," aku menjawab. "Ke mana pun kau menginginkannya; ke mana pun kita menginginkannya."


Sore itu juga dengan tidak sabar kami menunggu kantor agen perjalanan dibuka. Selama beberapa minggu kami ke sana kemari mencari-cari tempat-tempat tujuan yang mungkin kami sukai. Akhirnya pada akhir bulan Mei kami memilih Yunani, yaitu Kreta dan Santorini. Segala sesuatu yang harus dilakukan sebelum berangkat menyatukan kami dengan cara yang baru. Ia amat terobsesi dengan kopernya, cemas kalau-kalau sesuatu yang sangat penting terlupakan olehnya. Untuk menenangkannya, aku membelikan sebuah notes untuknya. "Tulislah di situ semua yang kau butuhkan," kataku. "Kalau sudah dimasukkan dalam koper, beri tanda silang."


Malamnya saat pergi tidur, aku menyesal karena selama ini tak pernah terpikir bahwa bepergian bersama adalah cara terbaik untuk mencoba memperbaiki hubungan. Pada hari Jumat terakhir sebelum kami berangkat Ilaria meneleponku dengan suaranya yang dingin. Mungkin ia menelepon dari telepon umum di pinggir jalan. "Aku harus pergi ke Padua," katanya. "Aku akan kembali paling lambat Selasa sore." "Haruskah?" tanyaku, tapi teleponnya sudah ditutup.


Sampai Kamis berikutnya tak ada berita apa pun darinya. Pada pukul dua telepon berdering, lalu terdengar suaranya yang tak jelas antara ketus dan menyesal. "Aku menyesal," katanya, "tapi aku tak jadi pergi ke Yunani." Ia menunggu reaksiku, aku pun begitu. Sesudah beberapa detik aku menjawab, "Aku juga sangat menyesal. Tapi aku tetap akan pergi." Ia memahami kekecewaanku dan mencoba memberi dalih. "Kalau aku pergi, aku hanya melarikan diri dari diriku sendiri," katanya terbata-bata. Bisa kau bayangkan, betapa menyedihkannya liburan itu. Kupaksa diriku mengikuti si pemandu wisata, mencoba menaruh minat pada tempat itu, namun nyatanya yang dapat kupikirkan hanya ibumu dan ke mana gerangan hidup membawanya.


Ilaria, menurutku, mirip petani yang sesudah menanami ladangnya dan melihat tumbuhnya tanaman pertama, menjadi takut jangan-jangan sesuatu akan merusak tanamannya. Maka untuk melindunginya dari cuaca buruk ia membeli lembaran plastik yang tahan air dan angin, lalu membentangkannya di atas tanamannya. Untuk menjauhkan tanaman itu dari serangga dan ulat, ia menyemprotkan banyak-banyak insektisida. Pekerjaannya ini tak kenal istirahat, siang-malam ia memikirkan kebunnya dan bagaimana cara terbaik untuk melindunginya. Lalu pada suatu pagi ia mengangkat plastik penutupnya, dan terkejut mendapatkan tanamannya semua busuk dan mati. Jika ia membiarkan semua tanamannya tumbuh dengan bebas, beberapa mungkin akan mati, namun yang lain akan bertahan hidup. Selain tanaman yang ia tanam itu akan tumbuh pula tanaman lain yang dibawa oleh angin atau serangga, sebagian berupa ilalang yang akan dicabuti, tapi sebagian lagi mungkin bunga-bunga yang dengan warnanya akan mencerahkan kemonotonan ladangnya. Mengertikah kau? Seperti itulah segala sesuatu berlangsung, kehidupan membutuhkan kemurahan hati: memupuk sifat kita sambil memejamkan mata terhadap segala sesuatu di sekitar kita mungkin membuat kita bisa terus hidup, tapi sebenarnya kita sudah mati.


Dengan memaksakan kekakuan yang berlebihan dalam benaknya, Ilaria telah menekan suara hatinya. Pertengkaran-pertengkaran kami membuatku ngeri, hingga untuk mengucapkan kata "hati" ini pun aku takut. Saat ia masih remaja aku pernah memberitahunya, "Hati adalah pusat jiwa." Paginya di meja dapur aku pun mendapatkan kamus yang tergeletak terbuka pada kata spirito1) dan dengan pensil merah rumusan spirito itu digarisbawahi: cairan tak berwarna yang digunakan untuk mengawetkan buah-buahan.


1) Spirito dalam bahasa Italia bisa berarti "jiwa" atau "alkohol"



Sekarang ini kata "hati" terdengar sedikit naif atau umum. Saat aku masih muda, kata itu masih dapat diucapkan tanpa perasaan risi, namun sekarang tak seorang pun pernah menggunakan kata itu lagi. Pada kesempatan langka ketika kata itu diucapkan, referensinya bukanlah hati dalam artian sesungguhnya, melainkan sakit jantung koroner, atau penyumbatan arteri. Akan tetapi, tentang hati sebagai pusat jiwa manusia, tak pernah disinggung lagi. Sering kali aku bertanya-tanya mengapa hal ini terjadi. "Orang yang menaruh kepercayaan pada hatinya sendiri adalah orang bodoh,"-Augusto sering berkata demikian, mengutip Kitab Suci. Tapi mengapa bodoh? Apakah karena hati mirip ruang pembakaran? Sebab ada kegelapan di dalamnya, kegelapan dan api? Akal itu modern, namun hati kuno. Sekarang ini orang-orang yang mengikuti hati mereka dianggap dekat dengan dunia binatang, dengan alam yang liar, sementara orang-orang yang mengikuti akal dianggap dekat dengan refleksi yang lebih tinggi. Tapi bagaimana seandainya segala sesuatu tidak demikian, bagaimana bila ternyata segala sesuatu justru kebalikannya? Bagaimana jika alasan inilah yang justru mendahagakan hidup kita?


Sepanjang perjalanan pulang dari Yunani aku punya kebiasaan melewatkan sebagian pagiku di dekat ruang nakhoda. Aku suka melihat isi ruangan itu, mengawasi radar dan semua peralatan rumit yang menjelaskan ke mana kita sedang menuju. Pada suatu hari, sambil memperhatikan berbagai jarum yang bergerak-gerak di sana, aku berpikir manusia semakin mirip radio yang hanya mampu menyelaraskan diri dengan satu gelombang, mirip radio kecil yang sering diberikan sebagai bonus bagi pembeli detergen mesin cuci. Meskipun seluruh frekuensi terpampang di sana, radio itu takkan bisa menangkap lebih dari satu atau dua stasiun; sisanya hanya bergemuruh tak menentu. Yah, aku mendapat kesan bahwa penggunaan akal yang berlebihan menghasilkan efek yang sama: kita hanya dapat mengambil sebagian kecil dari seluruh kenyataan yang mengelilingi kita. Perasaan bingung sering kali menguasai bagian kecil ini, sebab bagian ini sarat dengan kata, dan kata-kata sering kali membuat kita berputar-putar di tempat, bukannya membawa kita ke tempat yang lebih tinggi.


Pemahaman membutuhkan keheningan. Ketika masih muda aku tidak mengetahuinya. Kini, saat aku bergerak di seantero rumah dalam kebisuan dan kesunyian laksana ikan dalam akuariumnya yang bulat, aku menyadari hal itu. Agak mirip membersihkan lantai yang kotor dengan sapu atau kain basah. Bila kau menggunakan sapu, sebagian besar debu beterbangan ke udara dan jatuh lagi di atas benda-benda di dekatnya. Tapi bila kau menggunakan kain basah, lantai itu akan licin dan mengilap. Keheningan itu bagai kain yang dibasahi, menjauhkan untuk selamanya kegelapan debu. Kata-kata memenjarakan pikiran; kalaupun ada irama yang cocok dengannya, itu pasti irama pikiran kita yang kacau. Namun hati bernapas, hanya hati satu-satunya organ yang berdenyut, dan denyutan ini menyelaraskannya dengan denyutan-denyutan yang lebih besar. Kadang-kadang, lebih karena lupa daripada sebab lain, kutinggalkan televisi menyala sepanjang sore. Meskipun aku tidak menontonnya, suara televisi itu mengikutiku dari ruangan ke ruangan dan saat aku pergi tidur malamnya, aku menjadi sangat tegang daripada biasanya dan sulit tidur. Kebisingan dan suara yang tak henti-henti mirip dengan obat, begitu kau terbiasa menggunakannya, kau akan tergantung padanya.


Aku tak ingin bicara lebih jauh lagi, tidak sekarang. Tulisanku hari ini mirip kue yang dibuat dari campuran aneka resep, seperti salah satu benda aneh yang dulu pernah kau minta agar kucicipi, yang katamu bernama nouvelle cuisine. Mungkin aku telah membuat semuanya berantakan. Bila seorang filsuf membaca tulisanku ini, aku membayangkan ia takkan tahan untuk tidak menandai semuanya dengan pensil merah seperti guru-guruku dulu. "Ini tidak konsisten," ia akan menulis, "Ngawur, tidak ada dukungan logika."


Kalau saja tulisan ini jatuh ke tangan seorang psikolog! Ia bisa menulis esai panjang tentang hubunganku yang gagal dengan putriku, tentang semua yang kutahan. Namun kalaupun aku menahan sesuatu, apa bedanya sekarang? Aku memiliki seorang putri dan aku kehilangan dirinya. Ia tewas dalam kecelakaan mobil pada hari yang sama ketika aku memberitahunya sebuah rahasia, yaitu bahwa ayahnya, yang menurut dia telah mendatangkan banyak masalah itu, sebenarnya bukan ayah kandungnya. Di benakku hari itu terasa abadi, seolah-olah aku sedang menonton film, hanya saja film ini tidak bergerak lewat proyektor melainkan terpampang mati di dinding. Aku mengenal luar kepala adegan-adegannya, aku tahu setiap detail adegan itu. Tak satu pun lenyap dari ingatanku, semuanya berdenyut bagai darah dalam benakku, entah aku bangun maupun tidur. Dan akan tetap berdenyut bahkan setelah aku tiada lagi.


Burung hitam kecil itu terjaga, dengan teratur ia melongokkan kepala dari lubangnya dan mengeluarkan suara yang nadanya menuntut. "Aku lapar, mengapa lama sekali kau belum juga memberiku makan?"


Aku bangkit, membuka lemari es, mencari-cari sesuatu yang cocok baginya. Melihat tak ada yang cocok, kuangkat telepon untuk bertanya kepada Walter apakah ia masih punya cacing. Saat aku memutar nomornya, aku berkata kepada burung itu, "Kau makhluk beruntung. Kau lahir dari telur, dan setelah kau bisa terbang, kau lupa seperti apa wajah orangtuamu."


***


30 November


PAGI ini menjelang pukul sembilan, Walter datang bersama istrinya, membawa sebungkus kecil cacing. Ia berhasil mendapatkannya dari keponakannya yang hobi memancing. Dengan hati-hati ia membantuku mengeluarkan si burung dari kotaknya. Di balik bulu- bulu dadanya yang halus, jantung burung itu berdegup kencang. Dengan pinset kecil kuambil cacing dari piring dan kuberikan kepadanya. Betapapun kusodor-sodorkan makanan itu ke depan paruhnya untuk merangsangnya, burung itu diam saja. "Cungkil saja paruhnya dengan tusuk gigi," Walter mengusulkan. "Anda harus memaksa membukanya dengan jari dulu." Tentu saja aku tidak berani melakukannya. Lalu aku teringat semua burung kecil yang pernah kita pelihara bersama. Ya, paruh itu bisa disodok dari samping, jadi itulah yang kulakukan. Seolah-olah di dalamnya ada per, burung hitam itu tiba-tiba mengangakan paruhnya. Setelah tiga cacing, ia pun kenyang. Mrs Razman membuatkan kopi-aku tak dapat lagi melakukannya sejak tanganku cedera-dan kami pun mengobrol ini-itu. Tanpa kebaikan hati mereka, hidupku pasti akan jauh lebih sulit. Beberapa hari lagi mereka akan pergi ke toko membeli beberapa umbi dan benih untuk musim semi. Mereka mengajakku pergi bersama mereka. Aku tidak menjawab ya atau tidak, tetapi kami sepakat untuk bertelepon pukul sembilan esok pagi.


Hari itu 8 Mei. Aku melewatkan pagi itu dengan bekerja di kebun. Tanaman aquilegia mulai berbunga dan pohon ceri mulai berkuncup. Tahu-tahu ibumu muncul saat makan siang. Ia mengendap-endap di belakangku. "Kejutan!" serunya tiba-tiba. Aku sangat kaget hingga sisirku jatuh. Namun, ketika kulihat wajahnya, sorotnya sangat berlawanan dengan antusiasme dalam seruannya yang penuh pura-pura itu. Wajahnya pucat, bibirnya cemberut. Sambil bicara ia terus menyisir rambutnya dengan tangan, memeganginya, lalu memasukkannya ke mulut.


Belakangan begitulah kebiasaannya, jadi aku tidak merasa cemas melihatnya, setidaknya tidak lebih cemas daripada biasanya. Aku bertanya di mana dirimu. Katanya, kau sedang bermain di tempat temannya. Saat kami berjalan ke rumah, dari sakunya ia mengambil seikat bunga forget-me-not yang telah layu. "Ini Hari Ibu," katanya, dan ia berdiri memandangku dengan bunga-bunga itu di tangannya, tidak tahu apakah ia harus menghampiriku atau tidak. Jadi, akulah yang mendekat dan memeluknya dengan hangat seraya mengucapkan terima kasih. Namun, ketika tubuh kami saling melekat, aku merasa syok. Ada kebekuan luar biasa pada dirinya, dan ketika aku mendekapnya, kebekuannya pun menjadi-jadi. Rasanya, tubuhnya benar-benar hampa, dan seperti goa, tubuh itu mengeluarkan hawa dingin. Aku ingat benar, saat itu aku memikirkan dirimu. Apa jadinya anak itu kelak, aku bertanya-tanya, dengan ibu seperti ini? Bersama lewatnya waktu, situasi bukannya membaik, melainkan semakin buruk. Aku mencemaskan dirimu, cemas bagaimana semua ini akan mempengaruhi dirimu. Ibumu sangat posesif dan ia mengajakmu mengunjungiku sejarang mungkin. Ia ingin menghindarkanmu dari pengaruh-pengaruh negatifku. Meskipun aku telah menghancurkan hidupnya, ia memastikan aku takkan bisa menghancurkan hidupmu.


Saat itu waktunya makan siang. Sesudah berpelukan, aku pergi ke dapur menyiapkan sesuatu. Hari sejuk, jadi kami meletakkan meja di luar, di bawah pohon wisteria. Kubentangkan taplak kotak-kotak hijau-putih. Di tengah meja kuletakkan vas berisi bunga forget-me-not yang dibawakannya untukku. Lihat kan? Bagi orang yang ingatannya telah rapuh, betapa luar biasanya aku mengingat semua ini. Apakah entah bagaimana aku mendapat firasat bahwa itulah terakhir kalinya aku akan bertemu dengannya dalam keadaan hidup? Atau mungkinkah, setelah kematiannya yang tragis itu, aku berusaha mengulur-ulur waktu hingga aku dapat lebih lama lagi menyimpannya di dalam benakku? Siapa yang tahu? Siapa yang dapat mengatakannya?


Karena tidak ada apa-apa untuk dimakan, aku pun membuat saus tomat. Sementara menyiapkan makanan, aku bertanya kepada Ilaria apakah ia lebih suka penne atau fusilli. Dari luar ia menjawab, "Terserah, sama saja." Maka aku pun menyiapkan fusilli. Ketika kami duduk bersama, aku menanyakan dirimu, yang dijawabnya dengan mengelak. Serangga-serangga beterbangan di sekitar kami, dengungnya nyaris mengalahkan suara kami. Tiba-tiba seekor serangga hitam jatuh ke piring ibumu. "Itu lebah penyengat. Bunuh saja, bunuh saja!" serunya. Ia melompat dari kursi dan menjatuhkan semuanya. Ketika aku mendekat, tampak olehku serangga itu. "Lebah ini tidak menyengat. Dia tidak berbahaya." Sesudah menepisnya dari meja, aku kembali menyendokkan pasta ke piring.


Dengan wajah masih kacau ia duduk kembali di kursinya, mengambil garpu, memain-mainkannya sebentar, memindahkannya dari tangan yang satu ke tangan yang lain, lalu meletakkan sikunya di meja dan berkata, "Aku butuh uang." Sedikit fusilli telah tumpah di taplak dan meninggalkan noda besar warna merah.


Saat itu persoalan uang telah beberapa bulan menjadi masalah. Beberapa saat sebelum Natal Ilaria mengaku telah menandatangani sejumlah perjanjian untuk kepentingan psikiaternya. Saat aku menuntut lebih banyak penjelasan, ia mengelak seperti biasa. "Cuma surat jaminan kok," katanya, "sekadar formalitas." Begitulah sikapnya, ketika ia harus memberitahukan sesuatu kepadaku, ia mengatakannya setengah-setengah. Dengan begitu ia menumpahkan kegelisahannya kepadaku tanpa memberikan informasi yang kubutuhkan agar aku bisa membantunya. Ada kekejaman yang subtil dalam semua ini, dan di balik kekejaman itu ada kebutuhan yang amat sangat untuk selalu menjadi pusat dari segala kecemasan. Bagaimanapun, hampir selalu, semua ini hanyalah performa dramatisnya.


Ia mengatakan, misalnya, "Aku mengidap kanker indung telur," dan setelah kuselidiki sebentar, tahulah aku ia hanya melakukan check-up rutin yang biasa dilakukan setiap perempuan. Mengertikah kau? Jadi, ini sedikit mirip cerita tentang pembohong yang berteriak "Ada serigala!" untuk mempermainkan orang lain yang kemudian datang menolongnya. Akhirnya, ketika serigala itu benar-benar muncul dan si pembohong berteriak, tak ada lagi yang percaya kepadanya. Beberapa tahun belakangan Ilaria menceritakan begitu banyak tragedi, hingga akhirnya aku berhenti mempercayainya, atau tidak begitu mempercayainya lagi. Jadi ketika ia mengatakan telah menandatangani beberapa dokumen, aku tidak terlalu menaruh perhatian, juga tidak menuntut keterangan lebih jauh. Lebih dari segalanya, aku lelah oleh permainannya yang menyakitkan. Maka meskipun aku memaksa, meskipun aku mengetahuinya lebih cepat, semuanya percuma saja, karena ia toh sudah menandatangani surat-surat itu tanpa meminta pertimbangan dariku.


Kejutan yang sebenarnya terjadi sebelumnya, yaitu pada akhir bulan Februari, ketika aku menemukan bahwa surat-surat yang ditandatangani Ilaria menjadikannya penjamin atas bisnis psikiaternya yang bernilai tiga ratus juta lira. Dalam dua bulan bisnis si psikiater bangkrut, meninggalkan utang sekitar dua miliar. Bank pun mulai menuntut agar utang itu segera dilunasi. Ibumu mendatangiku sambil menangis, bertanya apa yang bisa dilakukannya. Jaminan yang diberikannya untuk mendapatkan pinjaman dari bank itu ternyata meliputi apartemen tempatnya tinggal bersamamu. Bank akan segera menyitanya. Dapat kau bayangkan kemarahanku. Usia ibumu sudah tiga puluh lebih, dan bukan saja ia tak mampu menghidupi dirinya sendiri, ia malah mempermainkan satu-satunya harta miliknya, apartemen yang telah kuserahkan kepadanya saat kau lahir. Aku marah besar, namun aku tidak menunjukkannya. Agar ia tidak semakin bingung aku pun berpura-pura tenang dan mengatakan, "Kita lihat apa yang bisa dilakukan."


Karena ia tampak sangat apatis, aku pun mencari pengacara yang bagus. Aku bertindak sebagai detektif, mengumpulkan semua informasi yang kiranya bisa digunakan untuk memenangkan perkara dengan bank itu. Sambil melakukan ini aku jadi tahu, sudah bertahun-tahun si psikiater memberi Ilaria obat-obatan keras yang mempengaruhi pikirannya. Selama sesi terapi, kalau ia merasa tertekan, ia diberi wiski. Tak henti-hentinya si psikiater berkata Ilaria adalah kesayangannya, siswa paling berbakat, dan tak lama lagi ia akan bisa buka praktik dan memiliki pasien sendiri. Menuliskan kalimat ini saja bulu kudukku sudah meremang. Sebab, bagaimana mungkin Ilaria, yang demikian rapuh, bingung, sangat tak terfokus, mampu menangani pasien? Hampir pasti itulah yang akan terjadi jika perusahaan itu tidak gulung tikar: tanpa menceritakan apa pun kepadaku, ia akan mempraktikkan ilmu seperti yang dimiliki gurunya.
Tentu saja ia tak pernah berani memberitahuku tentang proyeknya ini. Setiap kali aku bertanya mengapa ia tidak memanfaatkan ijazah sastranya, ia hanya menjawab dengan senyum licik, "Lihat saja nanti, aku akan menggunakannya..."


Beberapa hal sangat pahit untuk dipikirkan, dan bahkan lebih sulit lagi untuk dibicarakan. Selama bulan-bulan yang sulit itu aku memahami satu hal tentang dirinya, sesuatu yang belum pernah terpikir olehku sebelumnya, dan aku tak tahu apakah mengatakannya merupakan tindakan yang benar. Walau demikian, karena aku telah memutuskan tidak akan menyembunyikan apa pun darimu, lebih baik aku mengatakannya: Tiba-tiba aku mengerti, ibumu sama sekali tidak pandai. Proses yang kulewati untuk memahami hal ini dan menerimanya amat sangat sulit, sebagian karena kita selalu menipu diri sendiri mengenai anak-anak kita, dan sebagian lagi karena ia dengan seluruh pengetahuannya yang palsu itu, dengan seluruh metode dialektikalnya, berhasil mengeruhkan suasana. Kalau saja aku memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran sebelum segalanya terlambat, aku pasti melindunginya dengan lebih baik lagi, aku pasti mencintainya dengan lebih dalam lagi. Mungkin, bila aku melindunginya, aku bisa menyelamatkannya.


Inilah yang terpenting, namun saat aku menyadarinya, nyaris tak ada lagi yang bisa kulakukan. Melihat keseluruhan situasi ini, tindakan satu-satunya yang mungkin dilakukan saat itu adalah menyatakan bahwa ia secara mental tidak kompeten dan secara hukum tindakannya dilakukan di bawah pengaruh orang lain. Ketika aku memberitahunya bahwa aku dan si pengacara memutuskan mengambil tindakan ini, ibumu langsung histeris. "Kau melakukannya dengan sengaja!" teriaknya. "Ini cuma cara untuk mengambil anakku dariku!" Meski begitu aku yakin hanya satu yang paling mengusik dirinya, yakni bahwa kalau ia diketahui secara mental tidak kompeten, kariernya akan hancur selamanya. Ia berjalan dengan mata terpejam di tepi jurang namun yakin dirinya sedang piknik di padang rumput. Kemudian ia memintaku memecat si pengacara dan melupakan semua masalah itu. Atas inisiatifnya sendiri ia mencari pengacara lain dan aku tidak mendengar apa pun mengenai masalah itu sampai hari ketika ia membawakan bunga forget-me-not itu.


Bisakah kau memahami bagaimana perasaanku ketika, dengan kedua siku di meja, ia meminta uang kepadaku? Tentu saja aku sadar betul aku sedang membicarakan ibumu, dan mungkin dalam kata-kataku kau tidak dapat menemukan apa pun selain kekejaman. Mungkin kau berpikir masuk akal bila ia membenciku. Tapi ingatlah apa yang kukatakan kepadamu sejak awal: ibumu adalah putriku. Aku sangat kehilangan dirinya, jauh melebihi rasa kehilanganmu. Kau tidak bersalah atas kematiannya, namun tidak demikian halnya denganku, sama sekali tidak. Jika sesekali tampak olehmu aku berbicara mengenai hal ini dengan mengambil jarak, cobalah bayangkan betapa besar rasa getirku, betapa tak terucapkan dalam kata-kata. Sikap mengambil jarak yang kutunjukkan itu hanya kelihatannya saja, kehampaannyalah yang membuatku sanggup terus bicara.


Ketika ia memintaku melunasi utang-utangnya, untuk pertama kali dalam hidupku aku berkata tidak kepadanya. "Aku bukan Bank Swiss," kataku. "Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu. Dan kalaupun punya, aku takkan memberikannya kepadamu. Kau sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas tindakan-tindakanmu. Satu-satunya properti milikku adalah apartemen itu dan aku telah memberikannya kepadamu. Kalau kau kehilangan apartemen itu, aku tak peduli lagi." Ia mulai menangis tersedu-sedu. Ia bicara, tapi kalimatnya berhenti di tengah, lalu ia mulai mengatakan kalimat lain. Aku tak bisa menangkap maksud maupun logikanya. Sesudah sepuluh menit menangis, ia tiba di topik favoritnya, yakni sang ayah dan kesalahan-kesalahan yang menurut Ilaria telah dilakukannya, terutama bahwa ayahnya sama sekali tidak memperhatikan dirinya. "Harus ada kompensasinya, tahu tidak?" sergahnya, sorot mengerikan tampak di matanya. Saat itulah, entah bagaimana, kemarahanku pun meledak. Rahasia yang hingga saat itu aku bersumpah akan kubawa sampai ke liang kubur ternyata naik ke bibirku. Begitu aku mengucapkannya, aku pun langsung menyesal. Ingin rasanya aku menjilatnya kembali, ingin rasanya kulakukan apa saja untuk menelan kembali kata-kata itu, tapi segalanya sudah terlambat. Kata-kata "ayahmu bukanlah ayahmu yang sesungguhnya" itu sudah sampai ke telinganya. Wajahnya semakin pucat. Perlahan-lahan ia bangkit, menatapku. "Apa katamu?" Suaranya nyaris tak terdengar, namun anehnya aku kembali tenang. "Kau dengar tadi," kataku. "Suamiku bukanlah ayahmu."


Bagaimana reaksi Ilaria? Ia pergi begitu saja. Lebih mirip robot daripada manusia, ia berputar dan melangkah menuju pintu gerbang. "Tunggu! Mari kita bicara!" aku berseru dengan suara bergetar yang kubenci.


Mengapa aku tidak beranjak, mengapa aku tidak mengejarnya, mengapa aku tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya? Karena aku terkejut oleh kata-kataku sendiri. Cobalah mengerti: apa yang telah kujaga baik-baik selama bertahun-tahun tiba-tiba meluncur begitu saja. Kurang dari satu menit, seperti burung kenari yang melihat pintu sangkarnya terbuka, rahasia itu terbang ke satu-satunya orang yang aku tak ingin mengetahuinya.


Sore itu juga, sekitar pukul enam selagi aku menyirami tanaman, masih kebingungan, beberapa polisi lalu lintas datang mengabarkan tentang kecelakaan itu.


Kini senja semakin gelap, aku harus berhenti. Aku memberi makan Buck dan si burung hitam itu. Lalu aku sendiri makan dan menonton televisi sebentar. Kulit kerangku yang sudah renta tak mengizinkan diriku merasakan emosi yang kuat terlalu lama. Jika aku ingin terus melangkah aku harus menenangkan diri, menghela napas.


Seperti kau ketahui, ibumu tidak langsung meninggal. Selama sepuluh hari ia berada antara hidup dan mati. Selama itu aku senantiasa berada di dekatnya, berharap sesaat ia membuka matanya, dan memberiku kesempatan terakhir untuk meminta maaf kepadanya. Kami berdua saja dalam kamar kecil penuh mesin itu. Di sana ada layar kecil yang memperlihatkan jantungnya masih berdetak dan layar lain yang memperlihatkan otaknya sudah nyaris mati. Dokter yang merawatnya mengatakan, kadang-kadang pasien dalam kondisi seperti itu dapat dibantu dengan memperdengarkan suara-suara yang mereka sukai, jadi aku pun membawakan kaset berisi lagu kesayangannya waktu kecil. Selama berjam-jam aku memutar lagu itu.


Kelihatannya ia benar-benar mendengarnya karena di awal lagu ekspresinya berubah, raut wajahnya rileks dan ia mulai menggerakkan bibirnya seperti bayi yang baru selesai menyusu. Tampaknya seperti senyum puas. Siapa tahu, mungkin dalam otaknya yang aktif masih tersimpan ingatan dari suatu masa dan di sanalah ia berada saat itu. Perubahan yang sangat kecil ini menggembirakan hatiku. Pada saat-saat seperti ini orang ingin mempercayai apa saja. Tak henti-hentinya kubelai rambutnya dan berkata, "Sayangku, kau harus bertahan; di depan kita masih terbentang seluruh hidup untuk kita bagi bersama; kita akan memulai semuanya dari awal lagi, segalanya akan berbeda." Sementara aku bicara kepadanya, sekelebat bayangan terus muncul di mataku: ia baru berusia empat atau lima tahun dan aku melihatnya berjalan di kebun membawa boneka kesayangannya, bicara tanpa henti-hentinya kepada boneka itu. Aku sedang di dapur, aku tidak mendengar suaranya. Sesekali aku bisa mendengarnya tertawa, tawanya sangat penuh dan gembira. Bila suatu saat ia pernah bahagia, batinku, ia bisa bahagia lagi. Dan kelahirannya kembali harus dimulai pada titik itu, pada kanak-kanak kecil itu.


Seperti biasa, hal pertama yang diberitahukan dokter sesudah kecelakaan itu adalah bahwa kalaupun Ilaria bisa bertahan hidup, tubuhnya takkan berfungsi seperti sebelumnya. Kemungkinan ia akan lumpuh atau mengalami kerusakan otak permanen. Dan tahukah kau? Dalam egoismeku sebagai ibu, satu-satunya hal yang penting bagiku adalah bahwa ia harus bertahan hidup, tak peduli bagaimana keadaannya. Tentu saja mendorongnya di atas kursi roda, memandikannya, menyuapinya, merawatnya sebagai satu-satunya tujuan hidupku-semua ini adalah cara terbaik untuk mengenyahkan rasa bersalahku. Jika saja aku benar-benar mencintainya, jika saja aku mencintainya dengan segenap hatiku, seharusnya aku justru memohonkan kematiannya. Namun, pada akhirnya Seseorang mengasihinya lebih baik daripada aku, hingga sore pada hari kesembilan senyum samar itu lenyap dari wajahnya dan ia pun meninggal dunia. Aku segera menyadarinya, aku berada di sana di sisinya, namun aku tidak langsung memberi tahu perawat karena aku ingin bersamanya sedikit lebih lama lagi. Kubelai wajahnya, kuremas tangannya seperti ketika ia masih kecil dulu seraya terus berkata, "Sayangku, sayangku." Lalu, tanpa melepaskan tangannya, aku berlutut di tepi tempat tidur dan mulai berdoa. Dan sambil berdoa aku mulai menangis.


Ketika perawat menyentuh bahuku, aku masih menangis. "Mari ikut saya," katanya, "Akan saya berikan sesuatu supaya Anda tenang." Aku tidak ingin obat penenang, aku tidak menginginkan sesuatu untuk mengurangi kepedihanku. Aku tetap tinggal di sana sampai mereka mengangkatnya ke rumah duka. Lalu aku naik taksi ke rumah teman tempat kau dititipkan dan malamnya kau telah berada di rumahku. "Mama mana?" tanyamu waktu makan malam. "Mama sudah pergi," jawabku. "Dia melakukan perjalanan yang amat jauh ke surga." Kau meneruskan makan dalam diam, aku mengawasi kepalamu yang pirang. Segera sesudah selesai makan kau bertanya dengan suara serius, "Kita bisa melambai kepadanya, Nek?" "Tentu saja, sayang," jawabku seraya menggendong dan membawamu ke kebun. Kita berdiri lama sekali di sana, di atas hamparan rumput, sementara dengan tanganmu yang kecil kau melambai kepada bintang-bintang.


***


1 Desember


BEBERAPA hari terakhir ini suasana hatiku sedang buruk. Bukan karena sesuatu yang khusus, tapi memang demikianlah sifat tubuh. Ia memiliki keseimbangan-keseimbangan internalnya sendiri dan tak sulit baginya untuk merusaknya. Kemarin pagi, ketika Mrs Razman datang membawa belanjaan dan melihat wajahku yang murung, katanya bulanlah yang harus disalahkan. Malam sebelumnya memang bulan purnama. Dan jika bulan dapat mempengaruhi pasang dan membuat radicchio di kebun tumbuh lebih cepat, mengapa bulan tak mampu mempengaruhi suasana hati kita juga? Bukankah kita pun terbuat dari air, gas, dan mineral? Nah, sebelum pergi Mrs Razman meninggalkan setumpuk majalah lama sehingga seharian itu kulewatkan dengan membacanya. Setiap kali aku mengambil sebuah majalah, aku langsung saja terhanyut. Saat aku mengambil majalah itu, aku berkata, baiklah, kulihat-lihat sekilas saja selama setengah jam, tidak lebih, dan setelahnya aku akan melakukan sesuatu yang lebih berguna. Namun, tetap saja aku terus membaca hingga kata terakhir. Kehidupan tidak bahagia putri Monaco membuatku sedih; kisah-kisah cinta saudara perempuannya yang proletarian membuatku marah; dan setiap kisah menyedihkan yang diungkapkan secara mendetail membuat jantungku berdegup lebih cepat. Dan surat-surat pembaca itu! Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu! Aku bukanlah seorang pemalu, setidaknya aku tidak menganggap diriku seperti itu, namun aku tidak menyangkal bahwa kebebasan tertentu membuatku terkejut.


* (radicchio) Sejenis tanaman yang akarnya bisa dibakar untuk pengganti kopi.



Hari ini udara dingin. Aku tidak keluar berjalan-jalan di kebun. Aku takut angin yang membeku akan saling melengkapi dengan dingin yang ada di dalam diriku, lalu menghancurkanku bagai dahan tua yang membeku. Entah apakah kau masih membaca tulisanku. Sekarang setelah kau mengenalku lebih baik, mungkin kau demikian terpukul hingga tak mampu melanjutkan membaca. Namun, desakan yang menguasaiku saat ini tidak mengizinkan aku melawannya; sekarang aku tak bisa berhenti atau mengelak. Meskipun aku telah menyimpan rahasia itu selama bertahun-tahun, aku tak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Telah kukatakan kepadamu, saat aku pertama kali melihat betapa bingungnya dirimu karena hidupmu sepertinya tidak memiliki pusat, aku pun sama bingungnya, mungkin bahkan lebih bingung daripadamu. Aku tahu pandanganmu mengenai "pusat"-mu-atau lebih tepat ketiadaan pusat itu-amat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa kau tak pernah tahu siapa ayahmu. Tentu saja aku punya tugas menyedihkan untuk memberitahumu ke mana ibumu pergi, dan tentu saja, aku tak pernah bisa menjawab pertanyaanmu mengenai ayahmu. Mana mungkin aku bisa memberitahumu? Aku sama sekali tak tahu siapa ayahmu. Pada suatu musim panas Ilaria berlibur ke Turki sendirian. Pulang dari liburan ia hamil. Usianya sudah lewat tiga puluh, dan bila seorang perempuan seusia itu belum punya anak, mereka kadang jadi nekat. Mereka menginginkan anak apa pun bayarannya, tak peduli bagaimana ataupun dengan siapa.


Lagi pula, pada masa itu nyaris semua perempuan menjadi feminis. Ibumu dan beberapa temannya mendirikan sebuah klub. Banyak hal yang mereka katakan adalah benar dan aku menyetujuinya, namun selain itu ada juga gagasan-gagasan yang tidak sehat dan menyimpang. Salah satunya adalah bahwa perempuan berkuasa sepenuhnya atas tubuhnya sendiri, dan memiliki anak atau tidak tergantung pada diri mereka semata. Lelaki tak lain hanyalah kebutuhan biologis, dan harus digunakan untuk kebutuhan itu. Ibumu bukanlah satu-satunya yang berperilaku seperti itu, dua atau tiga temannya memiliki anak dengan cara yang sama. Kau tahu, hal itu bisa dipahami. Kemampuan untuk menghasilkan kehidupan memberimu semacam perasaan berkuasa. Kematian, kegelapan, dan kesulitan pun lenyap, kau telah menghadirkan bagian lain dari dirimu di dunia, dan keajaiban ini melenyapkan segala sesuatu yang lain.


Untuk mendukung pernyataan mereka, ibumu dan teman-temannya mengacu pada dunia fauna. "Para betina," kata mereka, "menemui pejantannya hanya pada musim kawin. Kemudian mereka berpisah mengikuti jalannya sendiri-sendiri, dan anak-anak tinggal dengan induknya." Apakah ini benar atau tidak, aku tidak dapat membuktikannya. Namun, aku tahu kita ini makhluk insani, setiap diri kita lahir dengan wajah berbeda dari yang lain, dan wajah ini kita bawa sepanjang hidup kita. Antilop lahir dengan moncong antilop, singa dengan moncong singa, namun wajah mereka tak bisa dibedakan dari wajah binatang-binatang jenisnya. Berbeda dengan manusia yang wajahnya berbeda satu sama lain. Segalanya ada dalam seraut wajah. Ada sejarahmu, sejarah ayah dan ibumu, nenek dan moyangmu, bahkan juga paman jauh yang tak kau ingat lagi siapa namanya. Di balik wajah terdapat kepribadian, hal-hal baik dan buruk yang kau warisi dari pendahulu-pendahulumu. Wajah adalah identitas pertama kita, yang memungkinkan kita mengatur diri kita dalam kehidupan sambil berkata, "Lihat, inilah aku." Jadi, ketika menjelang usia tiga atau empat belas tahun kau mulai melewatkan waktu berjam-jam di depan cermin, aku mengerti apa yang sedang kau cari. Tentu saja kau juga memeriksa jerawat dan komedo dan hidungmu yang tiba-tiba sepertinya terlalu besar, tapi selain itu ada hal-hal lain. Kau menyibakkan garis-garis yang kau warisi dari keluarga ibumu, dan mencoba membayangkan wajah lelaki yang telah menghadirkanmu di dunia. Inilah yang tak pernah terpikirkan oleh ibumu dan teman- temannya: bahwa pada suatu hari si anak akan memandang dirinya di dalam cermin, dan tersadar bahwa ada orang lain di dalam dirinya, dan ia ingin mengetahui segalanya mengenai orang itu. Ada orang-orang yang sepanjang hidupnya mencari-cari wajah ibu dan ayah kandungnya.


Ilaria yakin faktor genetika nyaris tidak mempengaruhi perkembangan seorang anak. Baginya faktor-faktor yang penting adalah pendidikan, lingkungan, dan pengasuhan. Aku tidak sepaham dengan gagasannya ini. Bagiku ada dua faktor yang sama pentingnya: pertama lingkungan dan yang kedua sesuatu yang ada dalam diri kita semenjak kita dilahirkan.


Sebelum kau masuk sekolah, aku tak punya masalah apa-apa. Kau tak pernah bertanya-tanya mengenai ayahmu, dan dengan hati-hati aku mengelak agar tidak perlu membicarakannya. Namun, ketika kau masuk sekolah dasar, berkat teman-teman dan pertanyaan usil yang diajukan guru-gurumu, kau pun tersadar ada yang hilang dalam kehidupanmu sehari-hari. Di kelasmu tentu saja ada banyak anak yang berasal dari keluarga berantakan atau tidak normal, namun tak seorang pun seperti dirimu, sama sekali tidak mengetahui siapa ayahnya. Waktu itu usiamu masih enam atau tujuh tahun sehingga bagaimana aku dapat menjelaskan kepadamu perihal apa yang dilakukan ibumu?


Lagi pula aku sendiri tak mengetahui apa-apa, kecuali bahwa kau mulai dikandung di Turki. Karenanya, untuk menciptakan cerita yang masuk akal, aku memanfaatkan satu-satunya data yang kuketahui, yakni Turki.


Aku membeli buku dongeng Oriental, dan setiap malam kubacakan satu dongeng untukmu. Dengan dongeng-dongeng ini aku sengaja menciptakan sebuah kisah untukmu, masih ingatkah kau? Ibumu adalah putri raja dan ayahmu pangeran dari negeri Bulan Sabit. Layaknya pangeran dan putri raja, keduanya jatuh cinta begitu rupa hingga bersedia mati demi yang lain. Karenanya banyak orang di istana iri kepada mereka. Dari semuanya, yang paling iri adalah sang perdana menteri, pria yang sangat berkuasa dan jahat, yang mengutuk sang putri dan anak yang dikandungnya. Untunglah seorang abdi setia memberitahu sang pangeran. Maka pada suatu malam ibumu menyamar dengan mengenakan pakaian petani dan meninggalkan istana serta mengungsi ke sini, ke kota tempat kau dilahirkan.


"Jadi aku putri pangeran?" tanyamu dengan mata berbinar. "Tentu saja," jawabku, "tapi ini rahasia besar, rahasia yang tak boleh kau katakan kepada siapa pun juga." Apa yang kuharapkan dari kebohongan yang aneh ini? Sebenarnya tidak ada, mungkin hanya untuk memberimu beberapa tahun tambahan penuh kegembiraan. Aku tahu suatu hari kelak kau akan berhenti mempercayai dongengku yang tolol ini. Aku juga tahu bahwa pada hari itu, sangat mungkin kau akan mulai membenciku. Walau begitu, sangat tidak mungkin bagiku untuk tidak bercerita seperti ini. Meskipun aku bisa mengumpulkan segenap keberanianku yang sedikit itu, mustahil aku dapat mengatakan, "Aku tak tahu siapa ayahmu, mungkin ibumu sendiri pun tidak mengenalnya."


Tahun-tahun itu adalah tahun seks bebas. Aktivitas erotis dianggap sebagai fungsi normal tubuh yang bisa dilakukan setiap kali kita menginginkannya, satu hari dengan satu orang, hari berikutnya dengan pasangan berbeda. Ibumu memiliki lusinan teman pria, dan seingatku tak seorang pun pernah bertahan lebih dari sebulan. Ilaria, yang pada dasarnya memang tidak stabil, tak sanggup menghadapi hubungan asmara yang tak menentu ini. Kendatipun aku tak pernah melarangnya melakukan sesuatu maupun mengkritiknya, aku toh terusik juga oleh sikapnya yang tiba-tiba bebas. Bukan soal seks bebasnya yang paling memukulku, melainkan perasaan-perasaannya yang merosot secara drastis. Begitu segala sesuatu tak ada yang terlarang dan keunikan pribadi lenyap, lenyap pula hasrat. Bagiku, Ilaria dan teman-temannya bagaikan tamu-tamu sebuah perjamuan yang terserang flu berat. Dengan sopan mereka melahap apa pun yang ditawarkan kepada mereka, namun tanpa dapat mencecap rasanya: wortel, daging panggang, dan kue tart, bagi mereka sama saja rasanya.


Sikapnya mengenai seks bebas tentu saja banyak ditentukan oleh pilihannya sendiri, tapi ada faktor lain yang turut berperan. Seberapa besar pengetahuan kita mengenai cara kerja pikiran? Banyak, namun tidak seluruhnya. Jadi siapakah gerangan dapat mengatakan bahwa di beberapa sudut gelap kesadarannya itu, ia tidak memiliki firasat bahwa orang yang hidup bersamanya selama itu bukanlah ayah kandungnya? Kegelisahannya, ketidakstabilannya, mungkinkah muncul dari hal-hal itu? Ketika ia masih kecil, atau remaja, bahkan setelah menjadi gadis belia, tak pernah pertanyaan itu kuajukan kepada diriku sendiri. Kebohongan tempat dirinya kubiarkan tumbuh besar sangatlah sempurna. Tetapi ketika ia kembali dari perjalanan itu dengan kandungan berusia tiga bulan, aku pun teringat kembali semuanya. Orang tak bisa lari dari kepalsuan, dari kebohongan. Atau orang bisa saja melarikan diri sejenak, namun ketika kau sama sekali tidak menduga, kebohongan itu pun bangkit kembali, tidak sejinak saat kau mengatakannya dulu, tidak seaman kelihatannya, tidak. Saat kau mengira kebohongan dan kepalsuan itu telah pergi jauh, mereka berubah menjadi monster mengerikan, menjadi raksasa pemakan segala. Kau menemukan mereka dan beberapa saat kemudian mereka memukulmu, mereka memakanmu dan apa saja yang ada di sekitarmu dengan kerakusan luar biasa. Pada suatu hari, di usia sepuluh tahun kau kembali dari sekolah sambil menangis. "Pembohong!" katamu, lalu kau mengunci diri di kamar. Rupanya kau telah menemukan kebohongan dongeng itu.


Pembohong mungkin dijadikan judul autobiografiku. Sepanjang hidupku aku hanya mengatakan satu kebohongan.


Dan dengan kebohongan ini aku telah menghancurkan tiga kehidupan.


***


4 Desember


BURUNG kecil itu masih di meja di depanku. Hari ini nafsu makannya tidak terlalu bagus. Alih-alih berkicau, ia diam saja di kotaknya, sama sekali tidak melongokkan kepalanya dari lubang karton-aku nyaris dapat melihat bulu-bulu di puncak kepalanya. Pagi ini, kendati udara dingin aku pergi juga ke toko benih bersama Mr dan Mrs Razman. Sampai saat terakhir aku masih ragu, udara begitu dingin hingga dapat membuat beruang segan keluar. Lagi pula, ada suara yang berkata dari lubuk hatiku, mengapa repot-repot menanam bunga lagi?


Akan tetapi, saat aku memutar nomor telepon keluarga Razman untuk membatalkan rencana itu, aku memandang ke luar jendela dan melihat betapa pudarnya warna-warna di kebunku, dan aku pun menyesali egoismeku. Mungkin aku takkan melihat musim semi lagi, tapi kau akan melihat banyak sekali musim semi.


Betapa gelisahnya diriku belakangan ini! Kalau aku tidak menulis, aku berjalan keluar-masuk ruangan, tapi aku tak menemukan kedamaian di mana pun. Tak banyak yang bisa kulakukan, dan tak satu pun yang coba kulakukan membuatku tenang dan membantuku lepas sejenak dari ingatan-ingatanku yang getir. Aku mendapat kesan bahwa cara bekerja ingatan sedikit mirip freezer. Ingatkah kau ketika kau menarik ke luar makanan yang telah kau simpan lama di situ? Mula-mula makanan itu sekeras batu, tidak berbau, tidak memiliki rasa, tertutup oleh lapisan putih. Namun, begitu kau meletakkannya dalam api, pelan-pelan makanan beku itu kembali ke bentuknya semula, ke warnanya semula, dan kemudian aromanya pun memenuhi dapur. Demikianlah ingatan-ingatan yang getir tertidur selama beberapa waktu, di dalam salah satu goa ingatan yang tak terhitung jumlahnya, tinggal di sana selama bertahun-tahun, puluhan tahun, sepanjang hidup. Lalu pada suatu hari mereka kembali ke permukaan, rasa sakit yang menyertainya hadir kembali, nyata dan tajam, seperti pada hari itu, bertahun-tahun yang lalu.


Aku sedang menceritakan tentang diriku sendiri, rahasiaku. Akan tetapi, untuk menceritakan sebuah kisah kita harus berangkat dari awal, dan kisah ini berawal di masa mudaku, dalam keterkurungan yang sedikit tidak lazim, tempat aku tumbuh besar. Pada masa itu, intelegensi bagi perempuan yang akan menikah bukanlah atribut yang sangat penting. Menurut kebiasaan zaman itu, seorang perempuan hanyalah istri yang cantik dan manja, tak lebih. Lelaki tidak menyukai istri yang mengajukan pertanyaan, yang selalu ingin tahu, yang gelisah dan tidak tenang. Itu sebabnya di masa mudaku aku sangat kesepian. Sesungguhnya, antara usia delapan belas sampai dua puluh tahun, karena wajahku cantik dan terutama juga kaya, aku dikelilingi banyak pemuda. Namun, begitu aku memperlihatkan kemampuan berbicara, begitu aku membuka hati dan mengungkapkan isi pikiranku, aku menemukan diriku dikelilingi oleh kekosongan. Tentu aku bisa saja mengunci mulutku dan berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku, tapi sayangnya-atau malah untungnya-sebagian dari diriku yang sesungguhnya telah berhasil bertahan menghadapi cara orangtuaku membesarkanku, dan bagian itu menolak untuk dienyahkan.


Selesai sekolah menengah, seperti kau ketahui, aku tidak melanjutkan studi karena ayahku melarangku. Bagiku ini kehilangan yang amat besar, dan karenanya aku jadi haus pengetahuan. Jika seorang pemuda mengatakan ia sedang belajar kedokteran, aku pun menjadikannya sasaran pertanyaan. Aku ingin mengetahui segalanya, dan aku melakukan hal yang sama terhadap para calon insinyur dan pengacara. Perilakuku ini menciptakan ketakutan yang amat besar, sebab aku jadi terkesan lebih tertarik pada studi seseorang daripada orangnya sendiri, dan sesungguhnya mungkin memang itulah masalahnya. Saat aku berbicara dengan teman-teman sekolahku yang semuanya perempuan, aku merasa menjadi bagian dari dunia yang jauhnya bertahun-tahun cahaya dari dunia mereka. Jurang yang terbentang di antara kami disebabkan oleh kelicikan wanita. Aku sama sekali tidak mengerti soal kelicikan ini, sementara teman-teman wanitaku justru mengembangkan kelicikan ini semaksimal mungkin. Di balik kesombongan dan rasa percaya diri mereka, kaum pria sangatlah rapuh dan sederhana. Dalam diri mereka ada tuas-tuas yang teramat primitif, kau cukup menarik salah satu tuas itu maka mereka pun akan jatuh ke wajan seperti ikan yang siap digoreng. Aku terlambat memahami hal ini, tapi teman-teman perempuanku telah mengetahuinya waktu itu, pada usia lima-enam belas tahun. Mereka menunjukkan bakat alamiah dalam menerima undangan-undangan atau menolaknya, menuliskan jawaban-jawaban yang luwes, membuat janji berkencan dan tidak muncul-atau muncul tapi sangat telat. Di pesta-pesta mereka membelai bagian-bagian tertentu tubuh mereka, dan sambil melakukannya mereka menatap mata si pria dengan sorot penuh hasrat seekor rusa muda. Itulah yang kumaksud dengan kelicikan wanita, muslihat-muslihat kecil yang membuat pria bertekuk lutut. Namun saat itu, ingatlah, aku ini seperti kentang, sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingku. Mungkin kau menganggapnya aneh, namun di dalam diriku ada sesuatu yang membuatku selalu bersikap fair, dan aku tahu aku takkan pernah bisa menipu seorang lelaki. Aku berpikir suatu hari nanti aku akan menemukan seorang pemuda yang dapat kuajak bicara hingga larut malam tanpa merasa lelah. Dan saat berbicara kami tersadar bahwa kami merasakan emosi yang sama dan melihat segala sesuatu dengan cara yang sama. Maka lalu cinta pun lahir, cinta yang didasarkan pada persahabatan, pada rasa saling menghargai, bukannya tipuan-tipuan murahan.


Aku menginginkan persahabatan penuh kasih dengan seorang pria, jenis hubungan setara seperti yang sering ada antara seorang pria dan pria lain.


Sikap maskulin inilah, aku yakin, yang menciptakan ketakutan yang luar biasa pada diri pria-pria yang memburuku. Demikianlah, perlahan-lahan aku pun masuk ke peran yang biasanya diperuntukkan bagi gadis-gadis yang tidak menarik. Teman-temanku banyak, namun hubungan kami tak pernah dua arah. Teman-temanku hanya datang untuk menceritakan masalah percintaan mereka. Satu demi satu teman-temanku pun menikah. Pada suatu saat dalam hidupku, sepertinya aku tidak melakukan apa-apa kecuali menghadiri pesta pernikahan. Gadis-gadis seusiaku memiliki anak dan aku masih saja bibi yang belum menikah. Aku tinggal bersama orangtuaku, dan saat itu aku nyaris pasrah diriku takkan menikah selamanya. "Apa sih yang kau pikirkan?" kata ibuku. "Mengapa kau tidak menyukai Tizio atau Caio?" Bagi mereka jelas, kesulitan yang kuhadapi dengan lawan jenis bersumber dari watakku yang aneh. Apakah aku menyesal? Entahlah.


Sejujurnya, aku tidak merasakan di dalam diriku keinginan yang menyala-nyala untuk berkeluarga. Gagasan untuk melahirkan membuatku gelisah. Sebagai seorang anak, aku sangat menderita dan aku takut pada giliranku aku akan membuat seorang makhluk tak berdosa menderita seperti diriku. Lagi pula, meski tinggal di rumah orangtuaku, aku sama sekali bebas, waktuku adalah milikku sendiri. Aku menghasilkan sedikit uang dengan memberi kursus bahasa Yunani dan Latin, dua hal yang paling kusukai. Tapi selain itu, aku tidak punya kewajiban apa-apa, aku bisa menghabiskan soreku di perpustakaan tanpa harus mempertimbangkan siapa pun, aku dapat pergi ke gunung setiap kali aku menginginkannya.


Pendek kata, dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain, hidupku bebas dan aku sangat takut kehilangan kebebasan ini. Namun dengan berlalunya waktu, segenap kebebasan ini, kebahagiaan yang sangat nyata ini, rasanya semakin keliru, semakin dipaksakan. Kesendirian, yang awalnya tampak istimewa, mulai terasa bagai beban. Orangtuaku mulai menua, ayahku terserang stroke dan tidak bisa berjalan dengan sempurna. Setiap hari aku memapah dan menemaninya membeli koran. Usiaku saat itu dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Melihat bayangan kami yang terpantul di etalase, tiba-tiba aku ikut merasa tua. Aku tersadar ke mana hidupku menuju: tak lama lagi ayahku akan meninggal dunia, dan kemudian ibuku segera menyusulnya, dan aku pun akan tinggal seorang diri di rumah besar penuh buku. Mungkin untuk melewatkan waktu, aku akan merajut atau melukis dengan cat air, dan tahun-tahun akan lewat satu demi satu. Akhirnya pada suatu pagi seseorang, yang cemas karena sudah beberapa hari tidak melihatku, memanggil petugas. Para petugas itu mendobrak pintu rumahku dan mendapati tubuhku terbujur di lantai. Aku telah meninggal dunia, dan yang tersisa dariku takkan banyak bedanya dengan bangkai kering serangga yang tertinggal di tanah ketika mereka mati.


Aku merasakan tubuh perempuanku telah layu tanpa pernah sungguh-sungguh hidup, dan ini membuatku teramat sedih dan juga sangat kesepian. Sepanjang hidup tak pernah aku memiliki seorang pun yang bisa kuajak bicara, sungguh-sungguh bicara maksudku. Tentu saja aku sangat pandai, aku banyak membaca. Pada akhirnya ayahku berkata, dengan semacam nada bangga, "Olga tak pernah akan menikah karena otaknya terlalu encer." Namun, semua kepandaian ini sama sekali tak berguna. Aku tak mampu, katakanlah, melakukan perjalanan jauh atau mempelajari sesuatu secara mendalam. Kenyataan bahwa diriku tidak mengecap bangku perguruan tinggi, membuatku merasa terkungkung. Namun, penyebab sebenarnya dari ketidakmampuanku untuk menggunakan talenta-talentaku sama sekali tak ada hubungannya dengan pendidikan. Bagaimanapun bukankah Schlieman menemukan Troya dari pembelajaran sendiri juga? Yang menghalangi diriku adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang kecil dan mati di dalamku, ingatkah kau? Dialah yang menghentikanku, dialah yang menghalangiku untuk maju. Aku berhenti dan menunggu. Apa yang kutunggu? Aku sama sekali tidak tahu.


Ketika Augusto pertama kali datang ke rumah kami, salju turun. Aku mengingatnya karena salju jarang sekali turun di daerah tempat tinggalku, dan karena salju itulah tamu kami terlambat datang untuk makan siang. Augusto, seperti ayahku, adalah pengimpor kopi. Ia datang ke Trieste untuk membicarakan tentang perusahaan kami. Sesudah terserang stroke, ayahku-karena tidak memiliki ahli waris lelaki-memutuskan menjual perusahaan itu dan melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan tenang. Pada pertemuan pertama, aku sama sekali tidak peduli pada Augusto. Ia datang dari Italia, sebagaimana kata orang- orang di tempat kami, dan seperti orang-orang Italia lainnya, sikapnya yang dibuat-buat sangat menjengkelkan. Memang aneh, tetapi sering kali orang-orang yang ditakdirkan memainkan peranan penting dalam hidup kita pada awalnya sering terkesan menjengkelkan. Sesudah makan siang, ayahku mengundurkan diri untuk beristirahat dan aku ditinggalkan di ruang tamu untuk menemani sang tamu hingga jam keberangkatan kereta apinya. Itu benar- benar menjengkelkan. Setiap pertanyaannya kujawab dengan satu patah kata. Kalau ia diam, aku pun diam. Ketika pamit, ia berkata, "Terima kasih, Miss."


Dan aku pun mengulurkan tanganku sebagaimana layaknya wanita bangsawan memperlakukan pria dari kelas lebih rendah.


"Sebagai pria Italia, Augusto ini cukup simpatik," kata ibuku waktu makan malam. "Dia jujur," timpal ayahku. "Lagi pula dia pandai berbisnis." Tebak apa yang terjadi kemudian? Dari lidahku begitu saja meluncur kata-kata, "Dan di jarinya tidak ada cincin kawin!" Ucapanku sangat tajam. Ketika ayahku berkata, "Benar, lelaki malang, dia duda," aku pun merasa sangat malu pada diriku sendiri hingga wajahku semerah cabe.


Dua hari kemudian, sepulangnya memberi kursus aku menemukan bungkusan berbalut kertas perak di sebelah pintu muka. Itulah paket pertama yang kuterima seumur hidupku. Aku tak bisa menebak siapa gerangan pengirimnya. Di dalam bungkus paket itu terselip selembar kartu bertulisan: Mungkin Anda belum pernah mencicipi kue-kue ini. Lalu di bawahnya ada tanda tangan Augusto.


Malamnya, dengan kue-kue itu di meja dekat tempat tidur, aku tak bisa tidur. Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa kue-kue itu dikirimkan hanya karena ia menghormati ayahku. Aku pun memakan kue-kue itu satu per satu. Tiga minggu kemudian ia kembali ke Trieste "untuk urusan bisnis," katanya ketika makan siang. Akan tetapi, alih-alih langsung pulang seperti sebelumnya, kali ini ia tinggal di kota selama beberapa hari. Sebelum meninggalkan kota, ia meminta izin kepada ayahku untuk mengajakku berkeliling dengan mobilnya. Ayahku, bahkan tanpa bertanya dulu kepadaku, memberinya izin begitu saja. Sepanjang siang itu kami berkeliling menyusuri jalan-jalan kota. Ia jarang bicara, ia menanyakan tentang monumen-monumen dan mendengarkan penjelasanku tanpa bicara. Ia mendengarkan aku, dan bagiku, ini benar-benar mukjizat.


Pagi hari keberangkatannya, ia mengirimiku buket mawar merah. Ibuku senang sekali. Tapi aku pura-pura tidak peduli, padahal aku menunggu berjam-jam sebelum akhirnya aku membuka kartunya dan membacanya. Dalam waktu singkat kunjungan-kunjungannya menjadi kunjungan mingguan. Setiap Sabtu ia datang ke Trieste dan kembali pada hari Minggu. Ingatkah kau apa yang dilakukan Pangeran Kecil untuk menjinakkan si serigala? Setiap hari ia pergi ke sarangnya dan menunggunya keluar. Lalu pelan-pelan serigala itu belajar mengenal Pangeran Kecil dan tidak takut padanya. Tak hanya itu, si serigala juga sampai pada titik di mana perasaannya begitu menggelora setiap kali ia melihat sesuatu yang mengingatkannya pada teman kecilnya itu. Terbujuk oleh taktik yang sama ini aku pun mulai bersemangat setiap kali hari Kamis tiba: proses menjinakkan diriku telah dimulai. Setelah sebulan, seluruh hidupku berputar di sekitar penantian akhir pekan. Dalam waktu singkat kami pun akrab. Akhirnya aku memiliki seseorang yang bisa kuajak bicara, seseorang yang menghargai kepandaian dan dahagaku akan pengetahuan. Aku sendiri menghargai kesabarannya, kesediaannya untuk mendengarkan, perasaan aman, dan perlindungan yang dapat diberikan oleh pria yang usianya lebih tua bagi seorang perempuan muda.


Kami menikah dalam perayaan sederhana pada tanggal 1 Juni 1940. Sepuluh hari kemudian Italia terlibat perang. Demi keamanan ibuku mengungsi ke desa di pegunungan Veneto, sementara aku dan suamiku pergi ke kampung halamannya, L'Aquila.


Kau hanya membaca di buku sejarah mengenai masa-masa itu, kau tidak mengalaminya sendiri, hingga pasti tampak aneh bagimu betapa aku nyaris tak pernah menyinggung-nyinggung kejadian-kejadian tragis saat itu. Ada fasisme, hukum-hukum rasial, perang yang meletus, namun aku toh terus saja terfokus pada kesulitan-kesulitanku yang remeh serta gerakan-gerakan mikroskopik jiwaku. Namun, jangan kau kira perilakuku ini aneh. Justru sebaliknya. Kecuali sejumlah kecil manusia-manusia politik, semua orang di kota tempat kami tinggal bersikap seperti itu. Ayahku, misalnya, menganggap fasisme sebagai badut. Di rumah ia menyebut sang pemimpin sebagai "si penjual semangka". Namun, ia toh ikut makan malam juga dengan para pejabat dan mengobrol dengan mereka hingga jauh malam. Demikian juga aku menganggap "Sabtu Italia" bodoh dan menjemukan, semua kegiatan berbaris dan bernyanyi dan mengenakan pakaian hitam seperti janda. Namun, aku toh menghadirinya juga, kupikir inilah kejemuan yang harus kau tanggungkan jika kau ingin hidup tenang. Memang ini bukan sikap yang heroik, tapi lazim dilakukan. Hidup tenang adalah salah satu ambisi terbesar manusia, setidaknya pada masa itu dan mungkin juga hingga sekarang.


Di L'Aquila kami tinggal di kediaman keluarga Augusto, sebuah apartemen besar dan megah di pusat kota yang diperuntukkan bagi keluarga terpandang. Tempat yang dilengkapi mebel-mebel berat berwarna gelap itu remang-remang dan berkesan angker. Begitu memasukinya hatiku langsung ciut. Di sinikah aku harus hidup? batinku. Bersama lelaki yang baru enam bulan kukenal dan di sebuah kota di mana aku tak memiliki satu teman pun? Suamiku segera memahami kegelisahanku dan selama dua minggu pertama ia melakukan segalanya untuk mengalihkan perhatianku. Setiap dua hari sekali ia mengeluarkan mobilnya dan kami menyusuri daerah yang dipeluk pegunungan itu.


Kami sama-sama senang bepergian. Melihat pegunungan yang indah itu, desa-desa yang terlindung oleh puncak-puncaknya bagai di palungan itu, membuatku sedikit terhibur. Rasanya seolah aku tak pernah meninggalkan rumahku di daerah utara. Kami masih sering bercakap-cakap. Augusto mencintai alam, terutama serangga, dan sambil mendaki gunung ia menjelaskan banyak hal. Sebagian besar pengetahuan alamku kuperoleh darinya.


Setelah dua minggu yang merupakan bulan madu kami, ia pun kembali bekerja dan aku memulai kehidupan baruku, sendirian di rumah besar itu. Ada seorang pembantu tua menemaniku, ia melakukan hampir semua pekerjaan rumah tangga. Seperti istri kelas menengah lainnya, tugasku hanyalah mengatur menu makan siang dan makan malam dan selebihnya tak ada yang harus kulakukan. Aku menjadi terbiasa berjalan-jalan jauh setiap hari, seorang diri. Dengan langkah cepat kususuri jalan-jalan, kepalaku sarat dengan pikiran, namun pikiran-pikiran ini pun tak banyak membantuku menjelaskan semua yang tengah terjadi. Sekonyong-konyong aku menghentikan langkah dan bertanya, "Apakah aku mencintainya, atau apakah semua ini kesalahan besar?" Ketika kami di meja makan atau duduk-duduk di ruang tengah malamnya, aku akan memandangnya seraya bertanya-tanya, "Apakah yang kurasakan?" Aku merasakan kelembutan, itu jelas, dan ia pun merasakan yang sama terhadapku. Tapi apakah ini cinta? Apakah hanya ini? Karena aku tak pernah merasakan yang lainnya, aku tak bisa menjawab diriku sendiri.


Setelah sebulan, omongan orang sekitar pun sampai ke telinga suamiku. "Wanita Jerman itu berjalan-jalan sendirian sepanjang hari." Aku benar-benar terkejut. Kebiasaan di sana berbeda dengan di tempatku dibesarkan, hingga aku tak bisa membayangkan bahwa kebiasaanku itu bisa menjadi skandal. Augusto tidak senang mendengarnya, ia mengerti aku tak bisa memahami hal itu, namun demi ketenteraman penduduk dan nama baiknya, ia toh memintaku menghentikan kebiasaan itu. Sesudah enam bulan menjalani kehidupan semacam itu, aku pun kehilangan semangat. Kematian kecil dalam diriku menjadi kematian besar, aku bertindak seperti mesin, mataku menjadi redup. Bila aku berbicara kata-kataku terasa jauh, seolah keluar dari mulut orang lain.


Sementara itu aku telah berkenalan dengan para istri teman-teman Augusto, dan setiap hari Kamis kami bertemu di kafe di tengah kota. Meskipun kami lebih kurang sebaya, namun hanya sedikit sekali yang dapat kubicarakan dengan mereka. Kami bicara dengan bahasa yang sama, dan hanya itulah satu-satunya kesamaan di antara kami.


Setelah kembali ke lingkungannya, segera saja Augusto mulai bersikap seperti para pria di sana. Kami nyaris tak bercakap-cakap di meja makan. Kalau aku memaksa menceritakan sesuatu kepadanya, jawabannya hanya singkat: ya atau tidak. Malamnya setelah makan malam ia sering pergi ke klub-nya, dan kalau tinggal di rumah ia mengurung diri di studionya untuk mengatur koleksi serangganya. Impian terbesarnya adalah menemukan serangga yang belum pernah dikenal orang, sehingga namanya akan dituliskan dalam buku-buku dan jurnal ilmu pengetahuan. Aku sendiri lebih suka mengabadikan nama itu dengan cara lain, misalnya lewat kehadiran seorang anak. Sekarang usiaku tiga puluh tahun dan kurasakan waktu menyelinap melewatiku semakin cepat. Segalanya berlangsung buruk: tak banyak perubahan setelah malam pertama yang agak mengecewakan. Perasaanku mengatakan bahwa lebih dari apa pun yang Augusto inginkan adalah menemukan seseorang di rumah pada jam makan, seseorang yang bisa dipamerkannya dengan bangga pada hari Minggu di gereja. Seperti apakah pribadi orang yang ada di balik gambaran yang menenangkannya itu tampaknya tak jadi soal baginya. Apa yang terjadi dengan pria menyenangkan dan hangat yang pernah mendekatiku dulu? Mungkinkah cinta harus berakhir dengan cara seperti ini? Augusto pernah mengatakan pada musim semi burung jantan bernyanyi lebih keras untuk menarik perhatian betinanya hingga si betina bersedia membuat sarang bersamanya. Ia sendiri melakukan hal yang sama, namun begitu ia mendapatkan diriku di sarangnya, ia berhenti tertarik pada eksistensiku. Aku ada di sana, aku menjaga sarangnya agar tetap hangat, dan semua pun selesai.


Apakah aku membencinya? Tidak. Mungkin kau menganggapnya aneh, tapi aku tak pernah dapat membencinya. Untuk membenci seseorang, ia harus melukaimu, ia harus melakukan sesuatu yang buruk. Augusto tidak pernah melakukan apa-apa, itulah masalahnya. Lebih mudah mati karena ketiadaan daripada karena perasaan sakit; kau bisa memberontak terhadap perasaan sakit, namun kau tak mungkin memberontak terhadap ketiadaan.


Setiap kali aku menerima telepon dari orangtuaku, tentu saja aku berkata segalanya baik-baik saja. Kupaksa diriku agar terdengar seperti mempelai muda yang bahagia. Mereka yakin telah menyerahkan diriku ke tangan yang baik, dan aku tak ingin menghancurkan keyakinan mereka. Ibuku masih bersembunyi di pegunungan, ayahku tinggal di rumah kami bersama sepupu jauh yang menjaganya. "Bagaimana?" tanyanya kepadaku setiap bulan, dan aku menjawabnya dengan rutin, "Belum, belum ada." Ia amat mengharapkan seorang cucu; usia tua memberinya kelembutan yang tak pernah kulihat sebelumnya.



Aku merasa lebih dekat dengannya sekarang setelah ia berubah, dan aku menyesal karena mengecewakan harapannya. Namun, aku juga tidak tega memberitahunya alasan sesungguhnya di balik kemandulan yang panjang ini. Ibuku mengirim surat-surat panjang penuh nasihat. Anakku yang kusayangi, tulisnya di baris teratas, dan di bawahnya dengan teliti ia menuliskan segala sesuatu yang terjadi padanya hari itu. Pada bagian akhir ia selalu menuliskan bahwa ia sudah selesai lagi merajut pakaian bagi calon cucunya. Sementara itu aku menutup diriku sendiri, setiap pagi aku memandang diriku di dalam cermin dan mendapatkan diriku semakin jelek saja. Kadang-kadang di malam hari aku bertanya kepada Augusto, "Mengapa kita tidak mengobrol?" "Mengenai apa?" jawabnya tanpa mengangkat mata dari lensa yang dipakainya memeriksa serangga. "Entahlah," kataku. "Mungkin kita bisa saling bercerita." Ia menggelengkan kepala. "Olga," katanya, "kau memang mempunyai fantasi yang terlalu aktif."


Sudah biasa bahwa anjing dan tuannya, setelah bertahun-tahun hidup bersama, perlahan-lahan akan semakin mirip satu sama lain. Aku mendapat kesan hal yang sama tengah terjadi pada diri suamiku. Bersama berlalunya waktu, ia semakin menyerupai serangga. Gerakannya bukan lagi gerakan manusia-gerakannya tidak mengalir melainkan geometris, setiap gerakan didahului oleh rentetan sentakan. Demikian juga suaranya tidak lagi memiliki warna, hanya berupa getar metalik yang berasal dari suatu tempat tak jelas di dalam kerongkongannya. Ia sangat terobsesi pada serangga dan pekerjaannya, tetapi selain kedua hal ini tak ada yang bisa membuatnya tergerak, betapapun kecilnya. Suatu kali ia mengambil seekor serangga mengerikan dengan pinset, katanya, "Lihatlah rahangnya, dengan ini dia bisa makan apa saja." Malam itu juga aku bermimpi tentang suamiku, tapi dalam mimpiku ia berwujud serangga itu, hanya saja ukurannya besar, dan ia memakan gaun pengantinku seolah-olah itu kardus.


Sesudah setahun kami mulai tidur di kamar terpisah. Ia sering terjaga hingga larut malam dengan serangga-serangganya, dan tidak ingin menggangguku, atau setidaknya begitulah alasannya. Jika dideskripsikan seperti ini, perkawinanku pasti tampak sangat mengerikan bagimu, namun sesungguhnya tidak ada yang luar biasa mengenainya. Pada waktu itu semua perkawinan nyaris seperti itu: neraka rumah tangga bagi dua orang sampai salah satunya mati, cepat atau lambat.


Mengapa aku tidak memberontak, mengapa tidak kuangkat saja koperku dan kembali ke Trieste?


Karena saat itu tidak ada yang namanya berpisah atau bercerai. Perkawinan hanya dapat diakhiri bila ada perlakuan buruk yang sangat berat, atau kalau tidak seorang perempuan harus cukup memiliki sifat pemberontak hingga ia sanggup minggat dan pergi selamanya. Namun memberontak, seperti yang kau ketahui, bukanlah sifatku. Lagi pula Augusto tak pernah marah, apalagi memukulku. Ia selalu memastikan segala kebutuhanku terpenuhi. Sepulang gereja setiap hari Minggu kami berhenti di depan toko kue keluarga Nurzia dan ia membelikan apa pun yang kuinginkan. Tidaklah sukar bagimu membayangkan bagaimana perasaanku setiap kali aku bangun di pagi hari. Sesudah tiga tahun perkawinan aku hanya punya satu keinginan dalam pikiranku, yakni keinginan untuk mati.


Augusto tak pernah membicarakan istri pertamanya. Pada kesempatan langka saat aku bertanya tentang dirinya dan itu pun dengan hati-hati, Augusto mengalihkan pembicaraan. Waktu berlalu, dan saat aku melintasi kamar demi kamar di sore-sore musim dingin itu, aku meyakinkan diriku bahwa Ada-istri pertamanya-bukan meninggal karena penyakit atau kecelakaan, melainkan bunuh diri. Ketika pembantu kami sedang ke luar aku meluangkan waktu mencari-cari, membongkar kotak-kotak, mencari jejak atau tanda yang meneguhkan kecurigaanku. Pada suatu hari ketika hujan turun, aku menemukan pakaian wanita di dasar sebuah lemari. Ternyata itu pakaiannya. Kuambil salah satu gaun berwarna gelap itu dan mengenakannya, ukuran kami sama. Sambil memandangi diriku di dalam cermin aku mulai menangis. Aku menangis tanpa suara, tanpa isak, bagai orang yang tahu nasibnya telah ditentukan. Di sudut rumah ada tempat berlutut dari kayu keras milik ibu Augusto, seorang wanita yang amat saleh. Saat aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, aku mengurung diri di ruangan itu dan berlutut di sana berjam-jam lamanya, dengan tangan terkatup. Apakah aku berdoa? Entahlah. Aku bicara atau mencoba bicara dengan Seseorang yang kuandaikan berada entah di mana di atas kepalaku. Aku berkata, Tuhan, tolonglah aku menemukan jalanku, jikalau ini memang jalanku bantulah aku menanggungnya. Kebiasaan pergi ke gereja-karena sebagai istri aku harus melakukannya-telah mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang telah terkubur dalam diriku sejak kecil. Bau dupa membuatku pening, demikian pula suara musiknya. Saat aku mendengarkan Kitab Suci dibacakan, ada sesuatu yang bergetar samar di dalam diriku. Namun, ketika aku bertemu pastor paroki itu di jalan tanpa perlengkapan sucinya, ketika kupandang hidungnya yang mirip spons dan matanya yang sipit seperti mata babi, ketika aku mendengar pertanyaannya yang dangkal dan ngawur, getaran itu pun lenyap, dan aku berkata pada diriku sendiri.


Lihat kan, ini cuma kebohongan, suatu cara untuk membantu yang lemah menghadapi tekanan kehidupan sehari-harinya. Meski demikian aku senang membaca Kitab Suci dalam rumah yang hening itu. Banyak ucapan Yesus yang bagiku luar biasa, ucapan-ucapan itu membuatku bersemangat hingga aku mengulangnya berkali-kali dengan suara lantang.


Keluargaku sendiri sama sekali tidak religius. Ayahku menganggap dirinya pemikir bebas dan ibuku, yang keluarganya masuk Katolik sejak dua generasi sebelumnya, seperti pernah kukatakan padamu, menghadiri misa semata-mata dan sekadar karena kebiasaan masyarakat. Saat aku menanyainya soal iman, dan ini jarang sekali kulakukan, jawabnya, "Entahlah, keluarga kita tidak beragama." Tidak beragama. Ucapannya bagai batu karang di masa kecilku yang masih sangat lembut, saat aku bertanya-tanya mengenai hal-hal yang sangat besar. Kata-kata itu bagaikan cap yang sangat buruk, bahwa kami telah meninggalkan satu agama untuk memeluk agama lain yang sama sekali tidak kami hormati. Kami adalah pengkhianat dan bagi pengkhianat tidak ada tempat di mana pun, baik di surga maupun di bumi.


Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan religiusku hingga usiaku tiga puluh hanyalah beberapa kisah yang diceritakan oleh para biarawati. Kerajaan Allah ada dalam dirimu, ulangku sambil berjalan menyusuri rumah yang kosong. Aku mencoba membayangkan di manakah tepatnya kerajaan itu: bagaikan periskop mataku turun memasuki kedalaman diriku, memeriksa di balik relung-relung ragaku, kedalaman benakku yang paling misterius. Di manakah letaknya kerajaan Allah itu? Aku tak bisa melihatnya, kabut tebal menyelimuti hatiku dan bukannya perbukitan hijau berkilauan yang kubayangkan sebagai Surga. Saat-saat pikiranku jelas aku berkata pada diriku sendiri, Aku bakal gila, seperti semua perawan tua dan janda, aku jatuh pelan-pelan, tak dapat diduga, jatuh ke dalam ketidakwarasan mistis. Sesudah empat tahun hidup seperti ini, aku semakin sulit membedakan antara apa yang merupakan kenyataan dan apa yang tidak. Lonceng katedral di dekat situ berdentang setiap seperempat jam. Supaya tidak mendengarnya, atau setidaknya tidak terlalu mendengarnya, kusumpal telingaku dengan kapas.


Aku terobsesi oleh gagasan bahwa serangga Augusto sama sekali tidak mati. Di malam hari aku mendengar keresek kaki mereka. Mereka beterbangan di rumah, merayap di mana-mana, bertengger di kertas dinding, melintasi lantai dapur, bersembunyi di bawah karpet ruang tamu. Aku berbaring di tempat tidur menahan napas, menanti serangga-serangga itu merayap dari bawah pintu dan masuk ke kamar. Aku mencoba menyembunyikan keadaanku ini dari Augusto. Setiap pagi, dengan senyum di bibir aku memberitahunya apa yang akan kusiapkan untuk makan siang dan terus tersenyum hingga ia ke luar pintu. Dengan senyum mekanis yang sama aku menyambutnya setiap kali ia pulang.


Seperti perkawinan kami, peperangan juga menginjak tahun kelima. Pada bulan Februari bom-bom dijatuhkan di Trieste. Pada serangan bom terakhir, rumah masa kecilku pun ikut hancur. Satu-satunya korban hanyalah kuda yang biasa menarik kereta kecil ayahku. Mereka menemukannya di tengah kebun, kehilangan dua kakinya.


Saat itu belum ada televisi dan berita menyebar lebih lambat. Aku baru mengetahui bahwa kami kehilangan rumah itu keesokan harinya, saat ayahku meneleponku. Begitu mendengar kata "pronto 5) " yang diucapkannya, aku pun tahu sesuatu telah terjadi. Ia terdengar seperti orang yang telah lama berhenti hidup. Kini, tanpa tempat untuk pulang, aku merasa benar-benar tersesat. Selama dua atau tiga hari aku gentayangan di rumah seperti orang kesurupan. Tak ada apa pun yang dapat melepaskan aku dari keadaan ini. Dalam rentetan unik yang monoton dan monokrom, kusaksikan tahun-tahunku berlalu satu demi satu hingga ke kematian.


Tahukah kau satu-satunya kesalahan yang selalu dilakukan orang? Orang selalu percaya hidup tak pernah berubah, bahwa sekali masuk sebuah rel kau harus mengikutinya hingga akhir. Tapi rupanya nasib memiliki lebih banyak imajinasi daripada kita. Justru pada saat kau percaya dirimu berada di jalan buntu, ketika kau sampai di puncak keputusasaan yang amat sangat, segalanya berubah secepat tiupan angin, segalanya berbalik, dan dari saat ke saat kau merasakan kehidupan yang baru.


Dua bulan setelah rumah kami kejatuhan bom, perang pun berakhir. Aku segera berangkat ke Trieste, ayah dan ibuku telah pindah ke apartemen sementara bersama orang-orang lain. Banyak sekali yang harus kukerjakan, sehingga dalam satu minggu saja aku sudah melupakan tahun-tahun yang kulewatkan di L'Aquila. Sebulan kemudian Augusto bergabung. Ia harus mengambil alih perusahaan yang telah dibelinya dari ayahku, sebab selama perang ia telah meninggalkan tugas itu dan membiarkan perusahaan ditangani orang lain. Lalu ada ayah dan ibuku yang sekarang tak punya rumah dan sudah sangat tua. Dengan kecepatan mengagumkan Augusto memutuskan meninggalkan kotanya dan pindah ke Trieste. Ia membeli rumah kecil di bukit ini dan pada musim gugur itu kami bersama-sama mendiaminya.


5) Sapaan Italia untuk "halo!" lewat telepon



Di luar perkiraan, ibukulah yang pertama berpulang. Ia meninggal pada awal musim panas. Masa-masa yang diwarnai kesepian dan ketakutan telah melunakkan sifat keras kepalanya. Sesudah kepergiannya, muncul lagi dalam diriku keinginan kuat untuk memiliki anak. Aku kembali tidur sekamar dengan Augusto. Meski begitu, nyaris atau bahkan tak terjadi apa-apa di antara kami. Aku banyak melewatkan waktu duduk-duduk di kebun ditemani ayahku. Dialah, yang pada suatu siang yang cerah berkata padaku, "Sumber air panas dapat mendatangkan mukjizat, baik bagi hati maupun wanita."


Dua minggu kemudian Augusto mengantar aku ke kereta api menuju Venezia. Dari sana aku mengambil kereta ke Bologna dan setelah berpindah sekali lagi, menjelang sore aku tiba di sumber air panas di Porretta. Sesungguhnya aku tidak terlalu percaya mengenai manfaat sumber air panas. Kalaupun aku memutuskan untuk berangkat, itu lebih karena hasratku untuk menyepi. Aku merasakan kebutuhan untuk menyendiri dengan cara yang berbeda dengan yang kulakukan tahun-tahun sebelumnya. Aku menderita. Hampir setiap bagian diriku telah mati. Aku bagaikan padang rumput sesudah kebakaran, segalanya serbahitam, semua telah menjadi arang. Hanya berkat hujan, matahari, dan udara, sedikit bagian yang masih tertinggal di dalam diriku pelan-pelan mampu menemukan energi untuk tumbuh kembali.


***


10 Desember


SEJAK kepergianmu aku tak lagi membaca surat kabar; kau tak ada untuk membelikan, dan tak seorang pun membawakannya untukku. Awalnya aku merasa kehilangan, namun lama-kelamaan rasa kehilangan itu berubah menjadi kelegaan. Aku teringat ayah Isaac Singer yang mengatakan bahwa dari semua kebiasaan manusia modern, membaca surat kabar adalah salah satu yang terburuk. Di pagi hari saat jiwa lebih terbuka, surat-surat kabar menuangkan ke dalam diri seseorang segala kejahatan yang dilakukan dunia sehari sebelumnya. Dulu kau bisa menyelamatkan dirimu dengan mengabaikan surat-surat kabar itu, tapi sekarang tidak mungkin lagi. Ada radio dan televisi. Kau cukup menyalakannya sebentar maka kejahatan itu pun akan meraih kita, masuk ke dalam diri kita.


Itulah yang terjadi pagi ini. Sementara mengenakan pakaian, aku mendengar warta berita lokal yang mengabarkan bahwa rombongan pengungsi telah diberi izin menyeberangi perbatasan. Empat hari lamanya mereka menanti-nanti, tidak boleh melanjutkan perjalanan dan juga tidak bisa kembali. Di antara mereka ada orang tua, orang sakit, serta para wanita yang membawa anak kecil. Menurut penyiar, rombongan pertama telah tiba di pos Palang Merah dan menerima bantuan awal. Perang ini benar-benar mengusikku, begitu dekat dengan kami, begitu kejam. Sejak meletus, perang ini rasanya bagai duri yang menancap di hatiku. Aku tahu itu gambaran yang lugas, tapi justru dalam kelugasannya sensasi itu sangat sesuai dengan perasaanku sendiri. Setelah setahun kepedihanku berubah menjadi kemarahan, aku tak percaya tak seorang pun mau turun tangan dan menghentikan kekejaman ini. Lalu aku sendiri terpaksa menyerah, tak ada sumber-sumber minyak di sana, hanya pegunungan batu. Dengan berlalunya waktu kemarahan berubah menjadi keberangan dan keberangan ini terus menggerogotiku bagai rayap yang keras kepala.


Menggelikan bahwa pada usiaku ini aku masih demikian terpengaruh oleh perang. Bagaimanapun, telah berpuluh-puluh perang pecah di bumi ini, seharusnya setelah delapan puluh tahun aku telah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Sejauh yang dapat kuingat, para pengungsi dan tentara-entah menang ataupun kalah-telah melintasi rerumputan kuning tinggi Carso. Mula-mula lewatlah kereta-kereta api penuh serdadu Perang Dunia I yang diikuti ledakan bom di wilayah dataran tinggi; lalu para tentara yang selamat dari medan perang Rusia dan Yunani, pembantaian para fasis dan pengikut Nazi, pembunuhan besar-besaran; lalu sekarang, sekali lagi terdengar dentuman meriam sepanjang garis perbatasan, orang-orang tak bersalah melarikan diri dari rumah pembantaian Balkan.


Beberapa tahun yang lalu dalam perjalanan kereta api dari Trieste ke Venezia aku berada satu gerbong dengan seorang cenayang, wanita yang sedikit lebih muda dariku dan mengenakan baret. Aku baru tahu ia cenayang setelah ia memberitahu wanita yang duduk di sebelahnya.


"Tahukah Anda," katanya saat kami melintasi Carso, "kalau aku berjalan-jalan di wilayah ini, aku mendengar suara orang-orang yang tewas di sini. Setiap berjalan dua langkah aku akan mendengar suara mereka. Semua melolong dengan suara mengerikan, dan semakin muda usia mereka ketika tewas, semakin keras suara mereka." Lalu ia menjelaskan kepada wanita di sebelahnya bahwa tindak kekerasan mengubah atmosfer sebuah tempat untuk selamanya: udaranya menjadi rusak dan tak lagi utuh, dan kerusakan ini memancing kebrutalan lebih lanjut. Singkatnya, di mana darah tercurah, akan lebih banyak lagi yang tercurah di atasnya, dan terus seperti itu. "Bumi," kata cenayang itu mengakhiri ucapannya, "mirip vampir. Begitu mencicipi darah, dia ingin mencicipinya lagi, dia menginginkan darah baru, dia tak pernah merasa puas."


Selama bertahun-tahun aku bertanya-tanya apakah tempat kita hidup ini telah dikutuk. Aku masih terus bertanya-tanya tanpa pernah menemukan jawabannya. Ingatkah kau saat kita pergi bersama ke bukit karang di Monrupino? Ketika angin utara bertiup kita tinggal di sana berjam-jam lamanya, hanya memandangi pedusunan seolah kita tengah berada di atas pesawat terbang. Kita bisa memandang ke segala arah, kita bahkan bertaruh siapa yang pertama-tama dapat menunjuk salah satu puncak Pegunungan Dolomit, atau siapa yang bisa membedakan Grado dan Venezia. Sekarang setelah aku tak mungkin lagi pergi ke sana, aku harus memejamkan mata untuk melihat tempat itu.


Berkat keajaiban ingatan aku dapat melihat semuanya lagi, seolah- olah aku tengah berdiri menikmati pemandangan dari atas pegunungan itu. Segalanya ada di sana, bahkan suara angin atau aroma musim yang telah kupilih. Aku berdiri di sana, memandang bebatuan yang digerus waktu, lapangan kosong tempat pasukan tank melatih manuver mereka, semenanjung Istria yang hitam, yang setengah tenggelam dalam kebiruan laut. Aku memandang segala sesuatu di sekitarku dan bertanya untuk kesekian kali, "Apakah ada sesuatu yang ganjil dalam seluruh keharmonisan ini? Dan jika ada, apakah itu?"


Aku menyukai daerah ini dan mungkin cinta inilah yang menghalangiku menjawab pertanyaan itu. Aku hanya yakin mengenai satu hal, yaitu bahwa keadaan alam suatu tempat mempengaruhi karakter orang yang hidup di situ. Jikalau aku sering begitu kasar atau judes, jika kau pun demikian, itu berkat Carso, erosinya, warnanya, angin yang melecutnya. Jika kita lahir di antara perbukitan Umbria, misalnya, barangkali kita akan lebih lembut dan kegetiran takkan menjadi watak kita. Mungkin segalanya akan lebih baik? Entahlah, kita tak mungkin membayangkan sesuatu yang tidak kita alami.


Namun, kutukan kecil terjadi hari ini, sebab ketika aku pergi ke dapur pagi ini, kudapatkan burung hitam itu telah mati di antara kain percanya. Sudah sejak dua hari terakhir ini ia tampak tidak sehat, makannya sedikit dan sering kali ia tertidur di antara suapan. Ia pasti mati sebelum subuh, karena ketika aku mengangkatnya, kepalanya bergoyang-goyang seolah ada engsel yang putus. Tubuhnya ringan, rapuh, dingin. Kubelai ia sebentar, lalu kubungkus dalam secarik kain. Aku ingin menghangatkannya sedikit. Di luar salju turun dengan lebatnya, kumasukkan Buck ke kamar lalu aku keluar. Aku tidak memiliki tenaga untuk menggali, jadi kupilih petak tanaman yang paling gembur. Dengan kaki kubuat sebuah lubang kecil, kuletakkan burung itu di sana, lalu kutimbun kembali. Sebelum kembali ke rumah aku mengucapkan doa yang selalu kita ucapkan setiap kali kita menguburkan burung-burung kecil kita. "Tuhan, terimalah kehidupan kecil ini sebagaimana Engkau telah menerima yang lainnya."


Ingatkah kau betapa seringnya kita menolong dan mencoba menyelamatkan burung-burung itu saat kau kecil dulu? Setiap kali sehabis hari berangin kita akan menemukan burung yang terluka. Ada parkit, kutilang, pipit, layang-layang, bahkan sejenis gagak. Kita melakukan segala cara untuk menyembuhkan mereka, namun usaha kita nyaris tak pernah berhasil, dan kita pun mendapatkan mereka mati tanpa peringatan sebelumnya. Betapa menyedihkan saat-saat itu, dan meskipun hal itu sering terjadi, kau tetap saja merasa sedih karenanya. Setiap kali kita selesai mengubur burung-burung itu, kau mengusap hidung dan matamu lalu mengurung diri di kamar untuk "mencari kelegaan".


Pada suatu hari kau bertanya bagaimana kita bisa menemukan ibumu. Surga sangat luas hingga kita mudah tersesat di dalamnya. Kuberitahu dirimu, surga itu bagaikan hotel yang teramat luas. Setiap orang di sana memiliki kamar dan setelah meninggal dunia semua orang yang saling mencintai di Bumi akan menemukan orang-orang yang mereka cintai di kamar itu dan hidup bersama-sama selamanya. Untuk sementara keteranganku membuatmu puas, namun setelah kematian ikanmu entah yang keempat atau kelima, kau kembali bertanya, "Bagaimana kalau kamarnya tidak cukup?" "Kalau kamarnya tidak cukup," jawabku, "kau cukup memejamkan mata dan berkata berulang kali selama satu menit, ’Wahai kamar, meluaslah.’ Maka segera saja kamar itu bertambah besar."


Masihkah kau menyimpan dalam ingatanmu imajinasi-imajinasi kanak-kanak ini, ataukah kulit kerangmu telah mengenyahkannya jauh-jauh? Baru sekarang, ketika menguburkan burung hitam ini, aku kembali teringat kisah ini. "Wahai kamar, meluaslah!" Betapa hebatnya! Tentu saja dengan ibumu, tikus, burung pipit, ikan mas, kamarmu sudah penuh bagai bangku stadion. Sebentar lagi aku pun akan pergi ke sana, apakah kau menginginkan aku di kamarmu ataukah aku harus menyewa kamar lain di dekat-dekat situ? Bolehkah aku mengajak orang pertama yang pernah kucintai, bolehkah aku memperkenalkan kau kepada kakekmu yang sebenarnya?


Apa yang kupikirkan, apa yang kubayangkan di sore hari bulan September itu, saat aku turun dari kereta api di Porretta? Sama sekali tidak ada. Aroma chestnut yang harum membaur di udara dan pikiran pertamaku adalah segera menemukan penginapan tempat aku telah memesan kamar. Saat itu aku masih sangat naif, aku sama sekali tak tahu cara kerja nasib yang tak pernah kenal lelah.


Jikalau aku memiliki keyakinan apa pun, aku hanya percaya bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan apakah aku menggunakan kehendakku atau tidak. Pada saat aku menjejakkan kaki dan meletakkan koperku di peron, kehendakku pupus, aku tidak menginginkan apa-apa, atau lebih tepat aku hanya menginginkan satu hal: diam dalam ketenangan.


Aku bertemu kakekmu pada malam pertama, ia makan malam bersama seseorang di penginapanku. Selain seorang pria tua, tak ada tamu lain. Dengan suara pelan mereka membicarakan masalah politik, dan nada suara kakekmu langsung membuatku muak. Selama makan malam beberapa kali aku menatapnya tajam. Tapi betapa terkejutnya aku ketika paginya aku mengetahui dialah dokter di sumber air panas ini! Selama sekitar sepuluh menit ia mengajukan pertanyaan mengenai kesehatanku, dan saat membuka pakaian aku merasa amat malu karena aku mulai berkeringat seolah aku sedang melakukan pekerjaan sangat berat. Ketika mendengarkan detak jantungku ia berseru, "Ya Tuhan, Anda ketakutan setengah mati!" Lalu ia tertawa dan aku pun jengkel sekali dibuatnya. Baru saja ia mengukur tekanan darahku, air raksa di tabung jarumnya tiba-tiba melonjak sampai atas. "Apakah Anda menderita hipertensi?" tanyanya. Aku marah kepada diriku sendiri, berulang kali aku memberitahu diriku tak ada yang perlu ditakuti, dia hanya dokter yang melakukan tugasnya. Aneh dan memalukan bila aku bersikap demikian. Namun, tak peduli seberapa sering aku mengatakannya, aku tak dapat menenangkan diri. Sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan di pintu, ia menggenggam tanganku. "Rileks dan bersantailah," katanya. "Kalau tidak sumber air panas ini pun tidak akan memberi khasiat apa-apa."


Malam itu juga, sesudah makan ia datang dan duduk di mejaku. Keesokan harinya kami sudah menyusuri tempat itu sambil mengobrol. Semangatnya yang menyala-nyala, yang awalnya membuatku jengkel, kini membuatku terpesona. Apa pun yang dikatakannya selalu penuh perasaan, penuh tekat, hingga mustahil berada di dekatnya tanpa tersentuh oleh ucapannya yang penuh semangat, oleh tubuhnya yang memancarkan kehangatan.


Beberapa waktu yang lalu aku membaca sebuah jurnal yang mengatakan bahwa menurut teori terakhir, cinta tidak lahir di hati melainkan di hidung. Ketika dua orang bertemu dan saling menyukai, mereka mulai mengirimkan hormon-hormon kecil lewat hidung. Hormon itu masuk ke otak, dan di sana, di relung-relung tersembunyi, hormon-hormon itu melepaskan badai gairah. Singkatnya, menurut artikel itu, perasaan tak lain adalah aroma yang tak kasatmata. Sungguh absurd dan menggelikan! Siapa pun yang pernah mengalami cinta sejati, cinta yang dalam dan tak terucapkan, tahu pernyataan-pernyataan ini tak lain hanyalah usaha-usaha tak menentu untuk meremehkan cara kerja hati. Tentu saja aroma seseorang yang kita cintai bisa sangat menggairahkan, tapi gairah itu harus muncul karena ketertarikan yang lain, ketertarikan yang, aku yakin, berbeda dari sekadar aroma semata.


Berada di dekat Ernesto beberapa hari itu membuatku merasa, untuk pertama kali dalam hidupku, bahwa tubuhku tak memiliki batas. Aku merasa ada semacam aura yang sulit dipahami yang membungkus tubuhku. Rasanya seolah-olah tubuhku meregang dan memancarkan getaran-getaran setiap kali aku bergerak. Tahukah kau bagaimana perilaku tanaman bila tidak diairi selama berhari-hari? Daun-daunnya menjadi layu, dan alih-alih terangkat ke arah cahaya, daun-daun ini terkulai laksana telinga kelinci yang murung. Yah, hidupku di tahun-tahun sebelumnya mirip tanaman yang tidak diairi. Embun di waktu malam memberiku cukup energi untuk sekadar bertahan hidup, namun selain itu aku benar-benar dahaga, aku memiliki kekuatan untuk berdiri. Namun, hanya itu. Jika kau membasahi tanaman itu sekali saja, tanaman itu akan mulai segar kembali, dedaunannya akan terangkat kembali. Itulah yang terjadi padaku di minggu pertama itu. Pada suatu pagi enam hari setelah kedatanganku, aku memandang ke dalam cermin dan tersadar bahwa diriku telah menjadi wanita berbeda. Kulitku lebih halus, mataku lebih bercahaya, ketika berpakaian aku mulai bernyanyi, hal yang tak pernah kulakukan sejak kecil.


Karena kau mendengar cerita ini dari luar, mungkin kau lantas menganggap wajar untuk berpikir bahwa di balik eforia ini kiranya ada keraguan dan kegelisahan yang menyiksa. Aku toh perempuan yang telah menikah, mana bisa aku menerima dengan hati ringan uluran persahabatan lelaki lain? Tapi sesungguhnya tak ada keraguan, tak ada perasaan waswas, dan itu bukannya karena aku berpikiran terbuka, melainkan karena yang kuhayati menyangkut fisik, sesuatu yang berhubungan dengan tubuhku semata. Aku bagai anak anjing yang setelah berkelana jauh sepanjang jalan-jalan di musim dingin, lalu menemukan sarang yang hangat. Tanpa bertanya-tanya anak anjing itu merebahkan diri dan menikmati kehangatan sarang itu. Lagi pula aku tidak menganggap diriku menarik, sehingga aku tak pernah membayangkan bahwa seorang lelaki akan tertarik padaku.


Pada hari Minggu pertama saat aku berjalan ke gereja, Ernesto menepikan mobilnya di dekatku. "Mau ke mana?" tanyanya sambil melongokkan kepala dari jendela, dan begitu kujawab ia sudah membuka pintu mobil sambil berkata, "Percayalah, Tuhan akan lebih senang kalau kau ikut jalan-jalan ke hutan daripada ke gereja." Setelah beberapa belokan kami pun tiba di ujung jalan setapak yang menghilang di antara pepohonan chestnut. Aku tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk dipakai berjalan di jalanan yang tidak rata, karenanya berkali-kali aku tersandung. Saat Ernesto menggenggam tanganku, rasanya itu hal paling wajar di dunia. Kami berjalan dalam kebisuan. Aroma musim gugur mengisi udara, tanah terasa lembap, daun-daun di pepohonan menguning, dan cahaya Matahari menembus melewatinya dengan warna-warna lembut. Akhirnya kami tiba di tempat yang agak lapang, sebatang pohon chestnut berdiri di tengah-tengahnya. Teringat pohon ek-ku, aku pun menghampirinya. Mula-mula pohon itu kubelai, lalu aku meletakkan pipiku di batangnya. Segera saja Ernesto meletakkan kepalanya di dekatku. Itulah pertama kalinya mata kami demikian dekat.


Keesokan harinya aku tak ingin bertemu dengannya. Persahabatan kami berubah, dan aku membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku bukan lagi gadis remaja, aku perempuan yang telah menikah dengan seluruh tanggung jawabnya. Ia juga sudah menikah dan memiliki seorang anak. Aku sendiri telah meramalkan seluruh hidupku hingga usia tua, hingga kenyataan bahwa sesuatu yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya menerpaku, membuatku sangat gelisah. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Sesuatu yang baru mula-mula selalu menakutkan, namun untuk bisa maju kau harus mengatasi perasaan takut ini. Maka aku pun berpikir, ini benar-benar tolol, benar-benar berbeda dengan hidupku selama ini, aku harus melupakan semuanya dan menghapus yang sudah telanjur ini. Namun, sesaat kemudian aku berkata lagi bahwa tolol benar bila aku melepaskan kesempatan ini, karena untuk pertama kali sejak kecil aku merasa hidup kembali. Segala sesuatu bergetar di sekitarku, di dalam diriku, hingga mustahil rasanya membiarkan semua ini pergi. Tapi lalu aku merasa curiga, kecurigaan yang cukup wajar sebenarnya, kecurigaan yang dirasakan atau paling tidak pernah dirasakan oleh semua perempuan: yakni bahwa ia mempermainkan diriku, bahwa ia hanya ingin bersenang-senang. Semua pikiran ini berputar-putar di dalam kepalaku saat aku sendirian di kamar penginapan itu.


Malam itu aku tidak dapat tidur hingga pukul empat pagi. Perasaanku terlalu penuh. Namun, paginya aku sama sekali tidak merasa lelah. Sambil berpakaian aku mulai bernyanyi; dalam beberapa jam itu di dalam diriku lahir keinginan yang luar biasa untuk hidup. Pada hari kesepuluh aku di sana aku mengirim kartu pos kepada Augusto. Isinya, udara segar, makanannya lumayan. Mari berharap yang terbaik! Aku menutupnya dengan salam mesra. Malam sebelumnya telah kulewatkan bersama Ernesto.


Malam itu tiba-tiba aku sadar, ada begitu banyak jendela kecil di antara tubuh dan jiwa. Jika jendela-jendela ini terbuka, segenap emosi akan mengalir dengan bebasnya. Namun, jika jendela-jendela ini hanya terbuka setengah, emosi-emosi itu pun akan tersaring. Hanya cinta yang dapat membuka semua jendela itu, serentak, laksana embusan angin.


Selama minggu terakhirku di Porretta, kami senantiasa bersama. Kami berjalan-jalan jauh, bercakap-cakap hingga mulut kami kering. Betapa berbedanya dengan obrolanku bersama Augusto! Dengan Ernesto semuanya sarat perasaan dan antusiasme. Ia bisa mendiskusikan masalah-masalah yang amat sulit dengan kesederhanaan luar biasa. Kami sering berbicara tentang Tuhan, tentang kemungkinan ada sesuatu di balik realitas yang nyata ini. Ia pernah ikut perang, dan lebih dari sekali ia telah menyaksikan kematian dengan mata kepala sendiri. Pikiran mengenai sesuatu yang lebih tinggi menerpanya pada saat-saat seperti itu, bukan karena ia merasa takut, melainkan karena kesadarannya bertambah dan bertumbuh. "Aku tak bisa mengikuti ritual apa pun," katanya. "Aku takkan pernah ke gereja, dan aku tak bisa mempercayai dogma atau cerita yang dibuat manusia." Kami saling berebut menimpali ucapan yang lain, kami memikirkan hal-hal yang sama, mengatakannya dengan cara yang sama, seolah-olah sudah bertahun-tahun kami saling mengenal, bukan hanya dua minggu.


Waktu kami tinggal sedikit, selama beberapa malam terakhir kami nyaris tidak tidur sama sekali, kami hanya tidur sebentar, cukup untuk memulihkan kekuatan. Ernesto sangat terpesona oleh masalah takdir. "Dalam kehidupan setiap lelaki," katanya, "hanya ada seorang wanita. Bersama wanita itu dia akan mencapai persatuan yang sempurna. Dalam hidup setiap wanita hanya ada satu lelaki, dan bersamanya wanita itu menjadi lengkap." Namun hanya sedikit, sangat sedikit manusia yang ditakdirkan untuk bertemu. Sisanya terpaksa hidup dalam ketidakpuasan, dalam kerinduan abadi. "Akan ada berapa banyak perjumpaan seperti kita?" katanya pada kegelapan kamar. "Satu dalam sepuluh ribu, satu dalam sejuta, satu dalam sepuluh juta?" Pasti satu dalam sepuluh juta. Pasangan-pasangan sisanya adalah hasil kompromi, ketertarikan dangkal yang bersifat sementara, daya tarik fisik, kemiripan karakter, atau sekadar kebiasaan.


Setelah percakapan ini ia hanya bisa berkata, "Kita ini sangat beruntung, ya kan? Siapa yang tahu ada apa di balik semua ini? Siapa yang tahu?"


Pada hari kepulanganku, sementara menunggu kereta api di stasiun kecil itu, ia memeluk dan berbisik di telingaku, "Dalam kehidupan lampau yang manakah kita pernah berjumpa?" "Dalam banyak, begitu banyak kehidupan," sahutku, dan aku pun mulai menangis. Di tasku aku menyimpan alamatnya di Ferrara.


Tak ada gunanya melukiskan kepadamu bagaimana perasaanku selama perjalanan pulangku yang panjang. Terlalu banyak gejolak, dan hatiku tiada juga tenang dan damai. Aku sangat merasa bahwa diriku harus bermetamorfosis dalam beberapa jam perjalanan itu. Karenanya aku pun bolak-balik ke kamar kecil untuk memeriksa wajahku. Cahaya dari mataku, senyumku, semua harus hilang, padam. Hanya rona pipiku yang boleh tinggal, sebagai bukti bahwa udara yang segar baik bagiku. Baik ayahku maupun Augusto melihat kondisiku sudah jauh lebih baik. "Aku tahu sumber air panas itu membawa mukjizat," kata ayahku berulang kali. Augusto-aku nyaris tak percaya-menghujaniku dengan perhatian-perhatian kecil yang sopan.


Ketika kau pertama kali jatuh cinta dengan begitu mendalamnya, kau pun tahu betapa beragam dan menggelikan dampaknya. Selama kau tidak jatuh cinta, selama hatimu bebas dan matamu tak terikat kepada siapa pun, tak satu pun pria yang mungkin dapat membuatmu jatuh cinta akan memberikan sedikit waktunya bagimu. Namun, begitu seorang pria mencuri hatimu dan kau tak lagi memedulikan siapa pun, mereka pun mulai mengikutimu, bicara semanis madu kepadamu, menemanimu. Jendela-jendela yang kukatakan tadi itulah penyebabnya. Ketika jendela-jendela itu terbuka, tubuh akan menyinari jiwa dan jiwa pun menyinari tubuh, cahaya mereka saling memantul pada yang lain. Dalam waktu singkat aura keemasan yang hangat terbentuk di sekelilingmu, dan aura ini menarik orang-orang lain, seperti madu menarik beruang. Augusto tak terkecuali, dan mungkin ini aneh bagimu, namun aku tidak merasa sulit bersikap manis kepadanya. Memang, kalau Augusto sedikit lebih peduli pada hal-hal duniawi, atau sedikit lebih jahat, ia pasti akan segera mengetahui apa yang terjadi. Untuk pertama kali sejak kami menikah, aku berterima kasih kepada serangga-serangga mengerikan itu.


Apakah aku memikirkan Ernesto? Tentu saja, hanya itu yang kulakukan. Tetapi memikirkan mungkin bukan kata yang tepat. Aku tak hanya sekadar memikirkan dirinya, aku hidup untuknya, ia hidup di dalam diriku. Dalam setiap gerakan dan setiap pikiran kami adalah satu. Saat kami berpisah, kami sepakat, akulah yang pertama-tama akan menulis surat. Agar ia dapat membalas suratku, aku harus menemukan alamat teman yang dapat dipercaya, supaya Ernesto dapat mengirimkan surat-suratnya ke alamat teman itu. Surat pertama kukirim sehari menjelang Hari Raya Semua Orang Kudus. Periode selanjutnya merupakan saat paling mengerikan bagi seluruh hubungan kami. Cinta yang lebih besar dan lebih mutlak pun tak lepas dari keraguan ketika pasangan kita jauh dari kita. Beberapa kali aku terbangun ketika di luar masih gelap. Aku diam tak bergerak, membisu di sisi Augusto. Itulah satu-satunya saat ketika aku tidak perlu menyembunyikan perasaan-perasaanku. Aku kembali memikirkan tiga minggu itu. Aku bertanya-tanya, bagaimana kalau Ernesto hanya perayu, yang karena merasa jemu dengan tugasnya di sumber air panas itu memutuskan menghibur dirinya dengan wanita sendirian pertama yang ditemuinya? Semakin banyak hari yang lewat tanpa surat darinya, semakin aku yakin kecurigaanku itu benar. Baiklah, batinku, bila itu benar, kalaupun aku bersikap seperti wanita naif yang tolol, itu bukanlah pengalaman yang negatif ataupun sama sekali sia-sia. Bila aku tidak membiarkan diriku melakukannya, aku akan menjadi tua dan mati tanpa pernah tahu apa yang bisa dirasakan seorang wanita. Bagaimanapun juga, kau tahu, aku berusaha membuat lapisan pelindung untuk melunakkan pukulan itu.


Baik ayahku maupun Augusto melihat bahwa suasana hatiku menjadi sangat buruk. Aku menangis hanya karena masalah kecil; begitu salah seorang dari mereka masuk ke ruangan, aku langsung pergi ke ruangan lain, aku ingin ditinggal sendirian. Aku terus mengenang minggu-minggu yang kualami bersama Ernesto, dengan penuh kegelisahan aku menilik setiap kenanganku, menit demi menit, mencoba menemukan suatu tanda, bukti yang bisa membantuku mengambil keputusan sekali untuk selamanya. Seberapa lamakah siksaan ini berlangsung? Satu setengah bulan, hampir dua. Seminggu sebelum Natal akhirnya surat itu tiba di alamat teman yang menjadi perantara, lima halaman ditulis tangan, tulisannya besar-besar dan renggang.


Sekonyong-konyong suasana hatiku membaik. Musim dingin berlalu, demikian pula musim semi, dan aku melewatinya dengan menulis surat dan menunggu jawaban darinya. Pikiranku sangat terpusat pada Ernesto, hingga persepsiku mengenai waktu pun berubah. Seluruh energiku semata terpusat pada masa depan yang tidak pasti, pada saat ketika aku akan melihatnya kembali.


Surat pertamanya menggerakkan hatiku begitu rupa hingga segenap keraguan mengenai perasaan yang mengikat kami lenyap seketika.


Cinta kami sangat besar, amat sangat besar, dan layaknya cinta yang demikian besar, segalanya berbeda dengan cinta-cinta biasa. Mungkin aneh bagimu bahwa jarak yang memisahkan kami tidak membuat kami menderita, meskipun tidak terlalu tepat bila mengatakan kami tidak menderita sama sekali. Aku maupun Ernesto sangat menderita karena keterpisahan kami, meski begitu perasaan-perasaan lain bercampur aduk dengan penderitaan ini, hingga kepedihan karena kami terpisah dikalahkan oleh emosi karena menanti-nantikan saatnya kami akan bertemu lagi. Kami sama-sama telah menikah, kami tahu kami tak bisa mengharapkan sesuatu akan terjadi sebaliknya. Jika saja semua ini terjadi sekarang, aku takkan menunggu sebulan untuk meminta cerai dari Augusto, dan Ernesto juga akan meminta hal yang sama dari istrinya dan sebelum Natal kami pun sudah akan tinggal di rumah yang sama. Apakah itu akan lebih baik? Entahlah. Sangat sulit bagiku untuk melenyapkan anggapan bahwa hubungan yang mudah justru akan merusak cinta dan mengubah intensitas hasrat menjadi sekadar gairah belaka.


Memiliki kekasih pada masa itu, dan bisa bertemu dengannya, tidaklah mudah. Bagi Ernesto tentu saja lebih mudah, karena sebagai dokter ia selalu dapat menghadiri pertemuan, pelatihan, atau kasus mendesak. Tapi bagiku yang tidak mempunyai kegiatan lain selain yang menyangkut rumah tangga, hal seperti itu nyaris mustahil. Aku terpaksa berpura-pura harus melakukan sesuatu yang membuatku bisa meninggalkan rumah selama beberapa jam atau beberapa hari tanpa menimbulkan kecurigaan. Karenanya, sebelum Paskah aku bergabung dengan klub pencinta bahasa Latin. Klub itu berkumpul seminggu sekali dan melakukan perjalanan budaya secara teratur. Karena tahu minatku terhadap bahasa-bahasa kuno, Augusto tidak curiga atau mengeluh sedikit pun. Ia malah senang melihatku kembali menekuni minat lamaku.


Musim panas tahun itu datang mendadak. Di penghujung bulan Juni, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ernesto pergi ke sumber air panas untuk kerja musiman, sedangkan aku ke laut dengan ayah dan suamiku. Pada bulan itu aku berhasil meyakinkan Augusto bahwa aku belum berhenti menginginkan anak. Pagi tanggal 31 Agustus, dengan koper dan pakaian yang sama seperti tahun sebelumnya, ia mengantarku ke kereta yang menuju Porretta. Sepanjang perjalanan sejenak pun aku tidak bisa duduk tenang. Aku melongok ke jendela dan melihat pemandangan yang sama seperti yang kulihat tahun sebelumnya, namun segalanya toh tampak berbeda.


Tiga minggu lamanya aku tinggal di sumber air panas itu, dan selama tiga minggu itu rasanya aku hidup lebih dalam dan lebih dalam lagi dibandingkan dengan sepanjang hidupku. Pada suatu hari, sementara Ernesto bekerja, aku berjalan di halaman. Aku ingat aku berpikir betapa indahnya jika aku mati saat itu juga. Tampaknya aneh, namun kebahagiaan yang terbesar, seperti juga kedukaan yang terbesar, selalu mengajak serta hasrat yang kontradiktif ini. Rasanya seolah diriku telah lama berjalan, bertahun-tahun lamanya aku telah melewati jalan-jalan yang licin menembus hutan. Supaya bisa maju aku harus merintis jalanku menerobos semak belukar, dan aku tidak memandang sekelilingku kecuali yang ada di depanku. Aku tak tahu ke mana aku tengah mengarah, mungkin di depanku ada jurang, tebing, kota besar, atau padang gurun. Tiba-tiba hutan itu berakhir, rupanya tanpa kusadari aku telah mendaki naik dan kini aku berada di puncak gunung. Matahari baru saja terbit dan di depanku terbentang gunung-gunung yang terbungkus lapisan kabut tebal, yang menurun hingga ke batas cakrawala. Segalanya serba biru, tiupan angin yang lembut mengembus ke puncak, puncak dan kepalaku, kepalaku dan pikiran di dalamnya. Sesekali suara terbawa dari bawah sana, salak anjing, suara lonceng gereja. Segalanya anehnya begitu ringan dan sekaligus berat. Di dalam dan di luar diriku semua menjadi jelas, tak ada satu bayangan pun, aku tak ingin turun lagi, tidak ingin kembali ke hutan. Aku ingin menyelam dalam kebiruan ini dan tinggal selamanya di sana, meninggalkan kehidupan sekarang setelah aku tiba di puncaknya. Kusimpan pikiran ini hingga malam saat aku bertemu Ernesto. Namun, pada waktu makan malam aku kehilangan keberanianku dan tak bisa memberitahunya, aku takut ia menertawaiku. Baru ketika malam telah tua, tatkala ia datang ke kamarku, saat ia memelukku, kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik. Aku ingin berkata padanya, "Aku ingin mati." Tapi tahukah kau apa yang akhirnya kukatakan? "Aku menginginkan anak."


Ketika aku meninggalkan Porretta, aku tahu diriku mengandung. Kurasa Ernesto juga mengetahuinya, pada hari-hari terakhir ia amat gelisah, bingung, sering berdiam diri. Reaksiku sendiri sangat berbeda. Tubuhku mulai berubah pada pagi pertama setelah aku mengandung. Payudaraku tiba-tiba lebih berisi, lebih kencang, kulit wajahku berseri-seri. Sungguh mengagumkan dalam waktu singkat tubuh menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Itulah sebabnya aku bisa mengatakan aku tahu benar apa yang telah terjadi, meskipun aku tidak melakukan tes kehamilan, meskipun perutku masih rata. Tiba-tiba aku merasa bercahaya, tubuhku mengubah dirinya sendiri, mulai mengembang, dan aku dapat merasakan kekuatannya. Sebelumnya belum pernah aku mengenal perasaan semacam ini.


Pikiran-pikiran besar baru menyerangku ketika aku sendirian di atas kereta. Selama aku bersama Ernesto aku tak ragu sedikit pun bahwa aku akan memelihara anakku. Augusto, kehidupanku di Trieste, omongan orang, semua itu sepertinya jauh dariku. Namun setelah seluruh dunia itu semakin mendekatiku, dan kehamilanku akan terus berkembang, aku harus mengambil beberapa keputusan dan kemudian memegang keputusan itu. Anehnya aku segera paham bahwa melakukan aborsi ternyata lebih sulit daripada menerima kelahiran seorang anak. Aku tidak mungkin menyembunyikan aborsi itu dari Augusto. Mana mungkin aku dapat membenarkan tindakan itu setelah selama bertahun-tahun aku menyatakan keinginanku untuk memiliki anak? Lagi pula, aku tak pernah berminat melakukan aborsi. Makhluk kecil yang tumbuh dalam diriku bukanlah kekeliruan, ia bukanlah sesuatu yang harus segera dienyahkan. Ia adalah pemenuhan suatu hasrat, mungkin hasrat paling besar dan paling kuat sepanjang hidupku.


Ketika seseorang mencintai orang lain-jika ia mencintai orang itu dengan segenap jiwa dan raga-hal paling wajar adalah menginginkan anak. Ini bukanlah keinginan intelektual, ini bukanlah pilihan yang didasarkan pada kriteria rasional. Sebelum bertemu Ernesto, aku membayangkan diriku menginginkan seorang anak dan aku tahu benar mengapa aku menginginkan anak itu, dan aku tahu benar semua pro dan kontranya bilamana aku mewujudkan keinginanku. Pendeknya, ini pilihan rasional, aku menginginkan anak karena aku telah mencapai umur tertentu dan aku teramat kesepian, karena aku perempuan dan bila perempuan tidak menghasilkan apa-apa, setidaknya mereka dapat menghasilkan anak-anak. Tidakkah kau lihat? Kalaupun aku membeli mobil, aku akan menggunakan kriteria yang sama.


Namun, ketika malam itu aku berkata kepada Ernesto, "Aku menginginkan anak," itu sama sekali berbeda. Keputusan itu sama sekali bertentangan dengan akal sehat, namun toh akal sehat tak kuasa melawannya. Lagi pula ini bukan keputusan melainkan kegilaan, hasrat untuk memiliki selamanya. Aku menginginkan Ernesto di dalam diriku, bersamaku, di sisiku selamanya. Kini ketika membaca bagaimana aku telah bertindak, barangkali kau gemetar karena ngeri, kau bertanya-tanya bagaimana mungkin kau tidak menyadari sisi gelap diriku yang begitu rendah itu? Ketika aku tiba di stasiun Trieste, aku melakukan satu-satunya hal yang dapat kulakukan, aku turun dari kereta bagai istri lembut yang tengah mabuk cinta kepada suaminya. Augusto sangat terkejut melihat perubahanku, namun alih-alih bertanya-tanya, ia membiarkan dirinya larut di dalamnya.


Sesudah sebulan berlalu, menjadi masuk akallah sekarang bahwa anak itu anaknya. Ketika aku memberitahu hasil tes kehamilan itu ia pun meninggalkan kantornya menjelang siang dan melewatkan seharian bersamaku untuk merencanakan perubahan-perubahan di dalam rumah guna menyambut kedatangan anak itu. Tatkala aku memberitahu ayahku mengenai berita itu, ayahku memegang tanganku dengan tangannya yang kering, sementara matanya menjadi basah dan merah. Sudah agak lama pendengarannya yang buruk telah memenjarakannya dari kehidupan di sekitarnya, dan ia sering mendadak terdiam di antara ucapan-ucapannya, atau terkadang ada loncatan-loncatan pikiran atau serpih-serpih ingatan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Entah mengapa, tetapi di depan air matanya ini, alih-alih terharu aku malah merasa sedikit jengkel. Bagiku itu tak lebih dari retorika. Namun, ia tak sempat melihat cucunya. Ia meninggal dalam tidur ketika usia kehamilanku mencapai enam bulan. Ketika aku melihatnya terbaring di peti aku terkejut oleh kenyataan, betapa layu dan tua dirinya. Wajahnya selalu sama, berjarak dan netral.


Tentu saja setelah menerima hasil tes kehamilan itu aku menyurati Ernesto; jawabannya tiba tak sampai sepuluh hari. Aku menunda membuka surat itu beberapa jam lamanya. Aku sangat terguncang, aku khawatir isinya tidak menyenangkan. Menjelang sore barulah aku memutuskan membaca isinya. Agar dapat melakukannya dengan bebas, aku mengurung diri di kamar kecil di sebuah bar. Kata-katanya menenteramkan dan rasional. "Aku tak tahu apakah ini yang terbaik," ia menulis, "tapi bila kau menginginkannya, aku menghormati keputusanmu."


Sejak itu, setelah segala rintangan teratasi, masa penantianku yang tenang sebagai ibu pun mulailah. Apakah aku merasa diriku monster? Apakah aku memang monster? Entahlah. Selama masa mengandung dan tahun-tahun sesudahnya, aku tak pernah bimbang atau menyesal. Bagaimana aku berpura-pura mencintai seorang pria sementara aku mengandung anak lelaki lain yang sungguh-sungguh kucintai? Dalam kehidupan nyata masalahnya tidaklah sesederhana itu, tak pernah hitam atau putih; melainkan sarat dengan berbagai warna, dan setiap warna membawa serta bayang-bayangnya sendiri. Tidak sulit bagiku untuk bersikap ramah dan hangat kepada Augusto karena aku mencintainya. Caraku mencintainya sangat berbeda dengan caraku mencintai Ernesto. Aku mencintainya bukan seperti perempuan mencintai lelaki, melainkan seperti adik mencintai kakaknya yang sedikit menjemukan.


Bila ia pria jahat mungkin masalahnya berbeda sama sekali, aku takkan bermimpi memiliki anak dan hidup bersamanya. Syukurlah ia pria yang dapat diduga dan sangat teratur. Lebih dari itu ia sungguh pria yang baik. Ia bahagia memiliki anak itu dan aku bahagia memberikan anak itu kepadanya. Untuk apa aku membuka rahasia itu? Jika aku mengungkapkan rahasiaku, aku akan membuat tiga manusia tidak bahagia selamanya. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat itu. Sekarang ini, di saat kau memiliki kebebasan dan dapat memilih, apa yang kulakukan saat itu bisa jadi sangat mengerikan. Namun, waktu itu kasus seperti ini cukup biasa. Aku tidak mengatakan ini menimpa setiap pasangan yang telah menikah, hanya saja bukan hal aneh bila seorang perempuan yang telah menikah mengandung anak lelaki lain yang bukan suaminya. Lalu apa yang terjadi? Sama dengan yang terjadi pada kasusku: tidak terjadi apa-apa. Anak itu lahir, tumbuh seperti saudara-saudaranya yang lain, dan menjadi dewasa tanpa menaruh curiga sedikit pun. Pada masa itu keluarga memiliki dasar yang sangat kokoh. Untuk menghancurkannya perlu lebih dari sekadar seorang anak yang mencurigakan.


Begitulah yang terjadi dengan ibumu, sejak lahir ia menjadi anakku dan Augusto. Yang paling penting bagiku adalah, Ilaria lahir oleh cinta dan bukan kebetulan, kebiasaan, maupun kejemuan. Kukira ini saja sudah cukup untuk menepis masalah apa pun. Betapa kelirunya pendapatku itu!


Di tahun-tahun pertama segalanya berjalan secara alami, tanpa guncangan. Aku hidup baginya, aku-setidaknya menurutku-adalah ibu yang penuh kasih dan perhatian. Semenjak musim panas pertamanya aku mengajaknya ke pantai Adriatik untuk melewatkan bulanbulan terpanas itu bersama-sama. Kami menyewa rumah dan setiap dua atau tiga minggu Augusto datang untuk melewatkan akhir pekan bersama kami.


Di pantai itu pula Ernesto melihat putrinya untuk pertama kali. Tentu saja ia berpura-pura tidak mengenal kami. Ketika kami sedang berjalan-jalan, ia "tanpa sengaja" berjalan ke dekat kami, atau ia menggelar payung besarnya tak jauh dari kami-kalau Augusto tidak ada-dan memperhatikan kami selama berjam-jam sambil berpura-pura membaca buku atau surat kabar. Malamnya ia menulis surat panjang berisi semua hal yang muncul di kepalanya, perasaan-perasaannya terhadap kami, apa yang ia lihat. Sementara itu, karena istrinya juga melahirkan lagi, ia pun meninggalkan pekerjaannya di sumber air panas dan membuka praktik pribadi di kota tempatnya tinggal, Ferrara. Dalam tiga tahun pertama usia Ilaria, kecuali perjumpaan yang "kebetulan" itu, kami tidak bertemu. Ilaria menyita seluruh perhatianku; setiap pagi aku bangun dengan sangat gembira karena menyadari kehadirannya, dan meskipun ingin, aku tak bisa menaruh perhatian untuk hal-hal lainnya.


Sebelum kami berpisah ketika terakhir kali aku datang ke sumber air panas itu, Ernesto dan aku pernah berjanji. "Setiap malam," kata Ernesto, "tepat pada pukul sebelas, di mana pun aku berada dandalamkeadaanapapun, aku akan pergi ke luar dan mencari Sirio (1) di langit. Kau juga melakukan hal yang sama, dan dengan demikian, meskipun kita berjauhan, meskipun kita tidak bertemu lagi untuk waktu yang sangat lama, dan tidak tahu apa yang terjadi pada satu sama lain, pikiran kita akan bertemu di atas sana, dan setidaknya kita tetap berdekatan." Kemudian kami keluar ke balkon, dan di sana ia menudingkan jarinya ke langit ke arah Orion (2) dan bintangnya Betelgeuse (3). Kemudian ia menunjuk Sirio di dekatnya, bintang yang paling terang dari semuanya.

1) Bintang terang dalam gugus bintang Canis Major

2) Gugus bintang, di dalamnya termasuk dua bintang besar Betelgeuse dan Rigel

3) Bintang besar berwarna merah, termasuk gugus bintang Orion


***


12 Desember


SEMALAM aku mendadak terbangun mendengar suara. Setelah mendengarkan sebentar ternyata itu suara telepon. Telepon itu telah berdering cukup lama sebelum akhirnya aku turun dari tempat tidur. Begitu aku meraihnya, seperti biasa, deringnya berhenti. Aku tetap saja mengangkat gagang telepon itu dan mengatakan pronto dua-tiga kali dengan suara mengantuk. Aku tidak kembali ke tempat tidur, melainkan duduk di sofa di dekatnya. Kaukah yang menelepon itu? Siapa lagi kalau bukan kau? Suara yang memecahkan ketenangan malam rumahku itu benar-benar mengusikku. Aku teringat kisah yang pernah dikisahkan seorang temanku beberapa tahun yang lalu. Suaminya telah lama terbaring di rumah sakit, namun peraturan berkunjung di sana sangat ketat hingga temanku tak dapat menyertai suaminya pada hari suaminya itu meninggal dunia. Terpukul oleh rasa frustrasi dan kesedihan, ia tak bisa tidur malam itu. Ia hanya berbaring dalam kegelapan ketika teleponnya tiba-tiba berdering. Ia terkejut, mungkinkah seseorang meneleponnya untuk mengucapkan belasungkawa selarut itu? Ketika ia meraih gagang telepon, ia terkejut. Ada lingkaran halo yang berpendar mengelilingi telepon, namun begitu ia selesai mengatakan pronto, keheranannya berubah menjadi ketakutan. Suara di ujung telepon terdengar sangat jauh dan bicara dengan susah payah.

"Marta," kata suara itu di antara gemuruh suara yang melatarbelakanginya, "sebelum pergi aku ingin mengatakan selamat tinggal...." Itu suara suaminya. Suara itu berhenti, lalu muncul suara angin kencang, kemudian sambungan terputus dan kembali sunyi.


Saat itu aku memaklumi temanku karena ia sedang sangat tertekan. Namun, bayangan bahwa orang mati memilih sarana berkomunikasi yang modern bagiku sangatlah aneh. Meski begitu kisah itu tetap menyentuh emosiku. Jauh di dalam diriku yang paling dalam, bagian diriku yang paling kekanakan dan mempercayai mukjizat, mungkin aku pun berharap pada suatu hari di tengah malam buta seseorang akan meneleponku dari seberang sana. Aku telah mengubur anakku, suamiku, dan orang yang paling kucintai melebihi siapa pun di dunia ini. Mereka semua telah mati, tiada lagi, namun toh aku masih saja bersikap seolah aku selamat dari kapal yang karam. Aku selamat, gelombang membuatku terdampar di pulau; aku tak tahu nasib teman-teman seperjalananku. Mereka lenyap dari pandanganku persis ketika kapal terbalik. Mungkin mereka tenggelam-ya pasti mereka tenggelam-tapi bisa juga tidak. Bagaimanapun, meski bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu, aku masih terus memeriksa pulau-pulau di dekat situ, menantikan kejutan, kepulan asap, sesuatu yang meneguhkan kecurigaanku bahwa mereka semua masih hidup bersamaku di bawah langit yang sama.


Pada malam ketika Ernesto meninggal dunia, aku terbangun tiba-tiba oleh suara keras. Augusto menyalakan lampu dan berseru, "Siapa di situ?" Tak ada siapa-siapa, dan semuanya tampak sama saja. Keesokan harinya ketika aku membuka pintu lemari, barulah aku tahu kayu penyangga di dalam lemari telah lepas. Kaus kaki, syal, pakaian, pakaian dalamku semua berantakan. Rosi


Sekarang aku bisa mengatakan "malam ketika Ernesto meninggal dunia". Namun, pada saat itu aku tidak mengetahuinya. Aku baru menerima surat darinya. Aku sama sekali tak bisa membayangkan sesuatu telah menimpanya. Aku hanya berpikir kelembaban telah menyebabkan kayu penyangga itu lapuk, dan beban yang terlalu berat membuatnya lepas. Ilaria baru berusia empat tahun, baru saja masuk taman kanak-kanak. Hidupku bersama dirinya dan Augusto telah menjadi rutinitas yang tenang. Siang itu, sesudah pertemuan dengan klub bahasa Latin, aku pergi ke kafe untuk menulis surat kepada Ernesto. Dua bulan lagi klub itu akan mengadakan konferensi di Mantova dan sudah lama Ernesto dan aku menanti-nantikan saat itu untuk dapat berjumpa kembali. Sebelum pulang kumasukkan surat itu ke kotak pos dan seminggu kemudian aku mulai menanti-nantikan jawaban. Minggu berikutnya maupun minggu-minggu sesudahnya aku tidak juga menerima suratnya. Tak pernah aku harus menunggu selama itu. Mula-mula aku berpikir ada yang tidak beres dengan kantor pos, kemudian aku membayangkan ia mungkin jatuh sakit dan tidak bisa ke tempat kerjanya untuk mengambil surat. Sebulan kemudian kutulis pesan pendek untuknya, dan itu pun tidak dijawab. Bersama lewatnya hari demi hari, aku mulai merasa seperti rumah yang dasarnya kemasukan air. Mula-mula air itu masuk pelan-pelan, diam-diam, meresap hanya di lantai tetapi kemudian, dengan lewatnya waktu, air itu meresap semakin banyak, mengalir semakin kuat, membuat semennya berubah menjadi pasir. Rumah itu masih berdiri, semuanya masih tampak normal, tapi aku tahu kenyataannya tidak begitu. Satu pukulan saja, betapapun kecilnya, bisa meruntuhkan semuanya, membuatnya ambruk laksana istana kartu.


Ketika berangkat ke konferensi klub bahasa Latin-ku, aku merasa bagai bayangan diriku yang dulu. Setelah muncul sebentar di Mantova, aku langsung ke Ferrara. Di sana aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada siapa-siapa di kantornya, meskipun beberapa kali aku melewatinya kerainya selalu tertutup. Hari kedua aku pergi ke perpustakaan dan mencari-cari berita di surat kabar bulan sebelumnya. Dalam sebuah artikel singkat aku menemukan segalanya. Suatu malam, sepulang dari mengunjungi pasien, mobilnya selip dan menabrak pohon besar. Ia nyaris tewas saat itu juga. Hari dan jamnya bertepatan dengan saat penyangga di lemariku runtuh.


Pada salah satu rubrik astrologi di majalah bekas yang sesekali dibawakan Mrs Razman, aku pernah membaca bahwa Mars pada posisi kedelapan sangat menentukan kematian tragis. Menurut artikel itu, tak seorang pun yang lahir di bawah konfigurasi planet ini ditakdirkan meninggal dengan tenang di tempat tidurnya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah barangkali Ernesto dan Ilaria dilahirkan pada saat kombinasi menyeramkan ini tengah terbentuk di langit? Sebab dengan selisih lebih dari dua puluh tahun, ayah dan anak ini meninggal dengan cara yang sama: mobil mereka menabrak pohon.


Setelah kematian Ernesto, aku jatuh dalam relung depresi yang dalam. Selama beberapa tahun diriku telah bersinar terang, dan tiba-tiba aku tersadar sinar itu tidak berasal dari dalam diriku sendiri, melainkan hanya pantulan. Kebahagiaan dan cinta akan kehidupan yang kurasakan, tak pernah merupakan milikku. Ernesto-lah yang menciptakan sinar itu, dan aku hanya memantulkannya. Setelah ia pergi segalanya kembali gelap.


Kehadiran Ilaria bukannya membuatku bahagia, melainkan tertekan, aku sangat terguncang sampai-sampai aku meragukan apakah anak ini sungguh-sungguh anak Ernesto. Ilaria menyadari perubahan ini. Dengan antena kanak-kanaknya yang peka ia menyadari penolakanku, hingga ia pun jadi banyak tingkah dan sulit diatur. Sejak itu ia menjadi tanaman rambat muda yang penuh semangat hidup, sementara aku pohon tua yang sebentar lagi akan mati. Bagai anjing pelacak ia mencium rasa bersalahku, ia menggunakannya untuk memanjat lebih tinggi lagi. Rumah tanggaku menjadi neraka yang sarat teriakan dan percekcokan.


Untuk meringankan bebanku Augusto mempekerjakan seorang pengasuh untuk mengurus Ilaria. Selama beberapa waktu Augusto mencoba membuat Ilaria tertarik pada serangganya, tetapi sesudah tiga-empat kali mencoba-tahu anak itu selalu berteriak "menjijikkan!"-akhirnya ia pun menyerah. Tiba-tiba Augusto menampakkan usianya yang sesungguhnya. Ia lebih mirip kakek putrinya daripada ayahnya, ia sangat ramah kepada Ilaria namun tetap menjaga jarak. Ketika aku memandang ke dalam cermin, kulihat diriku menjadi jauh lebih tua. Dari sosokku terpancar kekerasan yang sebelumnya tak pernah ada. Menolak diri sendiri adalah salah satu caraku untuk menunjukkan betapa aku sangat memandang rendah diriku. Kini setelah Ilaria bersekolah dan kami mempekerjakan pengasuh itu, aku jadi punya banyak waktu luang. Perasaan gelisah mendorongku menghabiskan sebagian besar waktu itu dengan terus bergerak; dengan bermobil aku bolak-balik Carso, menyetir seperti orang gila.


Aku kembali membaca beberapa buku religius yang kubaca saat aku tinggal di L’Aquila dulu. Aku berharap akan menemukan jawaban di buku-buku itu. Sambil berjalan aku mengulang-ulang ucapan St Agustinus di saat kematian ibunya, "Janganlah kita bersedih karena kematiannya, melainkan berterima kasih karena pernah memilikinya."


Seorang teman mempertemukan aku dengan pastor confessore 4) dua atau tiga kali, namun setiap kali selesai bertemu dengannya, aku justru semakin sedih. Ucapannya manis dan membosankan, mendorongku agar tetap beriman, seolah-olah iman adalah sesuatu yang bisa dibeli di toko mana pun. Aku belum bisa menerima kepergian Ernesto, cahayaku telah pergi dan aku tak dapat menemukan alasannya. Kau tahu, ketika aku bertemu dengannya, ketika cinta kami lahir, aku menjadi yakin segalanya telah terpecahkan, bahwa aku bahagia dengan keadaanku, bahagia dengan segala sesuatu di sekitarku. Aku merasa telah tiba di puncak perjalananku, di titik paling stabil. Aku yakin tak ada sesuatu atau seorang pun yang dapat memindahkanku dari situ. Di dalam diriku ada keyakinan yang angkuh seperti yang dimiliki orang-orang yang mengira diri mereka telah memahami segalanya. Bertahun-tahun lamanya aku yakin, aku tiba di sini karena kekuatanku sendiri, padahal sebenarnya tak satu pun langkahku kuambil tanpa bantuan. Kalaupun aku tidak menyadarinya, di bawahku ada kuda. Kuda itulah yang melakukan perjalanan, bukan diriku. Ketika kuda itu lenyap, aku pun menyadari betapa lemah kakiku. Ingin aku berjalan namun pergelangan kaki ini terasa lemah, langkah-langkah yang kuambil sangat goyah, laksana langkah anak kecil atau orang tua. Sesaat aku berpikir untuk meraih tongkat penyangga: agama, mungkin, atau pekerjaan. Namun, itu hanya pikiran sesaat. Nyaris saat itu juga aku tahu ini cuma satu kesalahan lagi. Pada usia empat puluh tahun tak ada lagi tempat untuk melakukan kesalahan. Kalau tiba-tiba kau mendapati dirimu telanjang, kau harus memiliki keberanian untuk memandang ke dalam cermin dan melihat dirimu sebagaimana adanya. Aku harus memulai dari awal lagi. Baiklah, namun dari mana aku harus mulai? Dari diriku sendiri. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalankannya sulit. Di manakah diriku? Siapakah aku? Kapankah terakhir kali aku menjadi diriku sendiri?


Seperti kataku, sepanjang siang aku berjalan-jalan di pegunungan. Kadang-kadang, jika aku merasa kesepian akan menambah runyam hatiku, aku pun turun ke kota dan membaur di antara orang-orang, menyusuri jalanan-jalanan terkenal, mencari sesuatu yang bisa menghibur. Rasanya seolah sekarang aku menjadi wanita yang bekerja, keluar rumah ketika Augusto keluar dan kembali kala ia pulang. Dokter yang merawatku memberitahu Augusto bahwa dalam kasus-kasus depresi, keinginan untuk banyak bergerak tidaklah normal. Karena aku tidak memiliki kecenderungan untuk bunuh diri, tak ada risiko apa pun untuk membiarkan aku berjalan-jalan. Semakin aku berjalan, menurut si dokter, aku pun akan semakin tenang. Augusto menerima keterangan ini, entah ia benar-benar percaya atau mungkin ia hanya sekadar malas karena tidak ingin hidupnya terganggu. Apa pun alasannya, aku berterima kasih kepadanya karena tidak mengusikku, karena tidak memperburuk kegelisahanku yang telah demikian tebal.


Namun, dalam satu hal dokter itu benar. Meskipun depresiku berat, aku tak memiliki keinginan untuk bunuh diri. Memang aneh, namun begitulah kenyataannya. Tak pernah sesaat pun setelah kematian Ernesto, aku berpikir untuk bunuh diri. Dan itu bukanlah karena Ilaria. Telah kukatakan kepadamu, saat itu ia sama sekali tak berarti bagiku.


4) Pastor kepada siapa orang mengaku dosa (bapa pengakuan)



Itu lebih karena perasaan yang kumiliki jauh di dalam hatiku, bahwa kehilangan yang begitu mendadak itu bukanlah-tidak seharusnya, tidak boleh menjadi-sebuah akhir. Mestinya ini berarti sesuatu, namun mencari tahu maknanya rasanya bagai memanjat dinding yang tinggi. Apakah dinding itu ada supaya aku bisa memanjat dan melewatinya? Mungkin saja, tetapi aku tak dapat membayangkan apa yang mungkin ada di baliknya, atau apa yang akan kulihat bila aku mencapai puncaknya.


Suatu hari aku pergi ke tempat yang belum pernah kudatangi. Di sana ada gereja kecil dengan makam mungil di sekitarnya, dikelilingi pegunungan berhutan. Pada salah satu puncak pegunungan ini aku bisa melihat sesuatu berwarna putih, sepertinya runtuhan benteng kuno. Sedikit di belakang gereja itu ada dua atau tiga rumah petani. Ayam-ayam berkeliaran dengan bebas dan mengais-ngais di jalan. Seekor anjing menyalak-nyalak. Papan nama jalan itu bertuliskan Samatorza. Samatorza, nama itu mirip solitudine yang berarti kesepian bagiku, tempat seseorang mengumpulkan pikirannya. Aku berdiri di depan jalan setapak bebatuan itu. Aku mulai berjalan tanpa memikirkan ke mana kiranya jalan itu menuju. Matahari sebentar lagi tenggelam, tetapi semakin aku berjalan semakin aku enggan berhenti. Sesekali seekor burung menjerit dan mengejutkanku. Sesuatu menyuruhku terus berjalan, dan aku baru mengetahui siapa yang menyuruhku itu ketika aku tiba di tanah terbuka dan melihat sebatang pohon ek yang besar, tenang, dan agung berdiri di sana dengan cabang-cabangnya yang terentang bagai lengan yang siap merengkuhku.


Kedengarannya mungkin konyol, tetapi begitu melihatnya hatiku mulai bergetar aneh, lebih seperti menderu, bagai hewan kecil yang kesenangan, getarannya sama persis seperti bila aku melihat Ernesto. Aku duduk di bawah pohon itu dan membelainya. Kuletakkan punggung dan kepalaku pada batangnya.


Gnõthi seauton-begitulah tulisku di sampul buku latihan bahasa Yunani-ku saat aku masih gadis dulu. Di kaki pohon ek itu, kata-kata yang terkubur dalam ingatanku ini tiba-tiba teringat kembali. Kenalilah dirimu. Aku pun menarik napas.


***

16 Desember


SEMALAM hujan salju turun. Ketika aku bangun seluruh kebun berwarna putih. Buck berlarian di kebun seperti gila, meloncat, menyalak, membawa ranting di mulutnya dan melemparkannya ke udara. Agak siang Mrs Razman singgah dan kami minum kopi. Ia mengundangku melewatkan Malam Natal bersama. "Apa yang kau lakukan seharian?" tanyanya sebelum pergi. Aku mengangkat bahu. "Tak ada," jawabku, "nonton teve sedikit, berpikir sedikit."


Ia tak pernah menanyakan dirimu, dengan hati-hati ia menghindari topik itu, tetapi dari nada suaranya aku tahu ia menganggap dirimu tak tahu berterima kasih. Di tengah percakapan ia berulang kali berkata, "Anak-anak muda tidak punya hati, mereka tak punya rasa hormat sama sekali." Aku mengangguk dan berharap ia tidak melanjutkan ucapannya. Namun diam-diam aku yakin, sejak dulu sampai sekarang hati tak pernah berubah. Ia selalu sama. Bedanya, sekarang tidak ada lagi kepura-puraan, itu saja. Anak-anak muda tidaklah egois, sama halnya orang tua tidaklah bijaksana. Usiamu tidak ada hubungannya dengan kepekaan atau kedangkalan dirimu, ini hanyalah masalah jalan hidup yang kau ambil. Aku tidak ingat di mana, tapi belum lama ini aku membaca peribahasa orang Indian yang mengatakan "Sebelum menghakimi orang, berjalanlah selama tiga bulan dengan mengenakan sepatunya". Aku sangat menyukai peribahasa itu, sampai-sampai aku menyalinnya di notes dekat telepon agar aku tidak lupa. Dilihat dari luar, banyak kehidupan tampaknya keliru, irasional, gila. Bila kita memandang dari luar, begitu mudahnya orang menyalahpahami orang lain, hubungan-hubungan mereka. Hanya dengan melihatnya lebih dalam, hanya dengan berjalan selama tiga bulan dengan mengenakan sepatu mereka, kita dapat memahami motivasi, perasaan, serta apa yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu dan bukan yang lainnya. Pemahaman ini lahir dari kerendahan hati, bukan dari kesombongan pengetahuan.


Mungkin kau akan mengenakan sandalku setelah membaca kisahku ini? Kuharap begitu, kuharap kau akan mengenakan sandalku dan berjalan dari kamar ke kamar, kuharap kau akan berjalan-jalan di kebun, dari pohon kenari ke pohon ceri, dari pohon ceri ke pohon mawar, dari pohon mawar ke pohon pinus yang kau benci di ujung kebun itu. Kuharap kau melakukan semua ini, bukan karena aku ingin mengemis belas kasihanmu, juga bukan untuk memperoleh pengampunan dosa, melainkan karena itu penting bagimu dan juga bagi masa depanmu. Jika kau ingin melangkah ke depan tanpa dibebani oleh dusta, langkah pertama adalah memahami dari mana kau berasal dan apa yang terjadi sebelumnya.


Seharusnya aku menulis surat ini untuk ibumu, ternyata aku malah menulisnya untukmu. Jika aku sama sekali tidak menuliskannya, maka keberadaanku benar-benar merupakan kegagalan. Setiap orang melakukan kesalahan, namun jika kau meninggal dunia tanpa pernah memahami kesalahan-kesalahan itu, itu artinya kau menyia-nyiakan makna kehidupan. Segala sesuatu yang terjadi pada diri kita tak pernah sia-sia.


Setiap perjumpaan, setiap kejadian sederhana, memiliki makna. Pemahaman akan diri sendiri lahir dari kesediaan untuk menerima keadaan yang baru, dari kemampuan mengubah arah setiap saat dan menanggalkan kulit yang lama seperti dilakukan kadal pada pergantian musim.


Jikalau pada hari itu, ketika usiaku hampir empat puluh tahun, aku tidak teringat kalimat dalam catatan bahasa Yunani-ku, jikalau aku tidak menarik garis di sana dan mulai dari awal lagi, pasti aku akan mengulang terus kesalahan yang sama yang telah kulakukan hingga saat itu. Mungkin saja aku akan mencari kekasih lain untuk mengenyahkan bayangan Ernesto dari benakku, lalu kekasih yang lain lagi, terus seperti itu, mencari yang mirip dengannya. Aku akan berusaha keras menghidupkan kembali masa lalu dan untuk itu memiliki lusinan kekasih. Tak seorang pun dari para kekasihku akan sama persis dengan Ernesto, dan karenanya aku akan terus mencari, dan semakin lama aku semakin tidak puas, dan bisa jadi aku bahkan menjadi wanita tua bodoh yang dikelilingi pria-pria muda. Atau aku bisa juga mencoba membenci Augusto, karena bagaimanapun keberadaannyalah yang membuat diriku tak mungkin mengambil keputusan yang drastis. Mengertikah kau? Bila kau tidak ingin melihat ke dalam dirimu sendiri, maka yang paling mudah dilakukan adalah menciptakan dalih. Kau selalu bisa menganggapnya kesalahan orang lain. Perlu keberanian yang besar untuk mengakui bahwa kesalahan itu-atau lebih tepat tanggung jawab itu-ada pada diri kita sendiri. Lagi pula, seperti kukatakan kepadamu, inilah satu-satunya cara untuk melangkah ke depan. Jikalau kehidupan berupa jalan, maka jalan ini selalu mendaki.


Pada usia empat puluh tahun aku mengerti dari mana aku harus mulai. Memahami di mana aku harus tiba merupakan proses yang panjang, penuh hambatan namun toh menarik. Kau tahu, televisi dan surat kabar selalu bicara mengenai semakin banyaknya guru-guru religius dan tentang orang-orang yang tiba-tiba meninggalkan segalanya dan mengikuti sejenis orang suci. Betapa takutnya diriku membayangkan orang-orang yang mengangkat diri mereka sendiri sebagai guru ini bermunculan di mana-mana dan berkhotbah mengenai cara-cara menemukan kedamaian di dalam diri sendiri dan keharmonisan universal. Mereka adalah sinyal-sinyal berbahaya yang dikirimkan oleh kebingungan umum yang besar. Pada dasarnya-bahkan tidak sampai betul-betul di dasar-kita berada pada akhir suatu milenium, meski penanggalan hanyalah murni konvensi, namun toh tetap menakutkan; setiap orang menduga sesuatu yang dahsyat akan terjadi dan mereka ingin siap menghadapinya. Maka mereka pergi kepada para guru ini, mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas yang akan mengajari mereka bagaimana menemukan diri mereka sendiri, dan setelah sebulan mereka mabuk dengan arogansi khas nabi-nabi palsu. Betapa besar dan mengerikannya kebohongan ini!


Satu-satunya guru yang ada, satu-satunya yang benar dan dapat dipercaya, adalah suara hatimu sendiri. Untuk menemukannya kau harus diam dalam kesunyian-sendiri dalam kesunyian-kau harus berdiri di tanah terbuka, telanjang dan tanpa apa pun di sekitarmu, seolah-olah kau telah mati. Pada awalnya kau tidak akan mendengar apa-apa, satu-satunya yang kau rasakan hanyalah ketakutan, lalu sayup-sayup kau mulai mendengar suara. Suara itu teramat jauh dan lembut, dan mungkin mula-mula kesederhanaan suara itu mengusikmu. Aneh, sebab ketika kau mengira akan mendapatkan hal-hal besar, yang terdengar justru sesuatu yang kecil. Begitu kecil dan jelasnya hingga rasanya kau ingin berteriak, "Sebentar, benarkah cuma ini?" Jikalau hidup memiliki makna, suara itu akan memberitahumu bahwa makna itu adalah kematian; itulah pusat segalanya, dan semua hal lainnya hanya berputar-putar mengelilinginya. Betapa indahnya kesadaran ini, kesadaran yang indah dan sekaligus mengerikan, sebab orang paling dungu pun tahu dirinya harus mati. Memang benar, kita semua mengetahuinya dengan pikiran kita, namun mengetahuinya dengan pikiran sama sekali berbeda dengan mengetahuinya dengan hati. Ketika ibumu menyerangku dengan kesombongannya, aku berkata kepadanya, "Kau menyakiti hatiku." Ia tertawa dan berkata, "Jangan bodoh. Hati hanyalah otot, kalau kau tidak memaksanya, dia tidak akan sakit."


Ketika ia telah cukup besar untuk mengerti, berkali-kali aku mencoba bicara dengannya, menjelaskan kejadian-kejadian yang membuat perhatianku berpaling darinya. "Itu benar," kataku, "pada titik tertentu di masa kecilmu aku mengabaikan dirimu, aku sakit parah. Jika aku mencoba mengasuhmu ketika aku sakit, mungkin segalanya akan lebih buruk. Namun, sekarang aku telah sembuh dan kita bisa bicara, berdiskusi, memulai semua dari awal lagi." Ia tidak tertarik mendengar ucapanku. "Sekarang akulah yang sakit," katanya, dan menolak mengatakan apa-apa lagi. Akhirnya aku merasakan ketenteraman, dan ia membenci hal itu, ia melakukan apa pun untuk merusaknya, dan setiap hari ia menyeretku ke neraka-neraka kecilnya. Ia telah memutuskan ketidakbahagiaan sebagai takdirnya. Ia menciptakan sebuah gagasan mengenai hidupnya, dan ia berdiri di balik barikade sehingga tak sesuatu pun dapat mengaburkan gagasan yang diciptakannya itu.


Secara rasional, tentu saja, ia mengatakan ingin bahagia. Tetapi nyatanya, ketika usianya enam atau tujuh belas tahun, jauh di dalam dirinya ia telah menutup kemungkinan apa pun untuk berubah. Ketika aku pelan-pelan membuka diri, bergerak memasuki dimensi yang lain, ia pun berdiri tidak bergerak di sana, tangannya diletakkan di atas kepala, menunggu segala sesuatu jatuh ke atasnya. Ketenanganku yang baru membuatnya jengkel. Ketika ia melihat Kitab Suci di meja kecil di sebelah tempat tidurku, ia berkata, "Kau membutuhkan penghiburan untuk apa?"


Ketika Augusto meninggal dunia, Ilaria bahkan tidak mau menghadiri pemakamannya. Selama beberapa tahun terakhir Augusto menderita semacam arteriosklerosis yang tidak ringan. Ia berkeliling rumah sambil berbicara tidak jelas dan Ilaria tidak tahan melihatnya. "Apa sih maunya orang itu?" teriaknya begitu Augusto muncul di kamar mana pun Ilaria berada. Ketika Augusto meninggal dunia, Ilaria berumur enam belas tahun. Sejak usia empat belas tahun ia tak lagi memanggil ayahnya "Ayah". Augusto meninggal di rumah sakit pada suatu siang di bulan November. Sehari sebelumnya ia dirawat karena serangan jantung. Aku di kamar bersamanya; ia tidak mengenakan piama, melainkan baju rumah sakit dengan tali di punggung. Menurut dokter, krisisnya sudah lewat.


Perawat baru saja membawakan makan malamnya ketika ia bangkit tiba-tiba dari tempat tidur dan berjalan beberapa langkah ke jendela, seolah-olah melihat sesuatu. "Tangan Ilaria," katanya, matanya berkaca-kaca. "Tak ada seorang pun di keluarga kita memiliki tangan seperti tangannya." Kemudian ia kembali ke tempat tidur dan mengembuskan napas terakhir. Aku memandang ke luar jendela. Gerimis tipis turun. Kubelai rambutnya.


Enam belas tahun lamanya ia menyimpan rapat rahasia itu, tanpa pernah bocor sedikit pun.


Saat itu tengah hari, Matahari bersinar dan salju mencair. Di halaman depan rumah tampak petak-petak rumput kuning, dari dahan-dahan pepohonan butir-butir air jatuh tetes demi tetes. Aneh, tetapi ketika Augusto meninggal dunia aku menjadi sadar bahwa kematian itu sendiri tidak membawa perasaan getir yang sama. Ada kehampaan yang tiba-tiba-kehampaan itu selalu sama-tetapi justru dalam kehampaan yang sama inilah berbagai rupa kesedihan mewujudkan diri. Semua yang tak terkatakan mewujud dan terus bertambah, semakin banyak, dan terus semakin banyak. Kehampaan ini tanpa pintu maupun jendela, tanpa jalan keluar; apa pun yang berada di dalam kehampaan itu akan tinggal di sana selamanya, di benakmu, di dalam dirimu, di sekelilingmu, menggulung dan membungkusmu bagai kabut tebal. Fakta bahwa Augusto tahu mengenai Ilaria membuatku sangat tertekan. Betapa ingin aku berbicara kepadanya mengenai Ernesto, mengenai betapa berartinya lelaki itu bagiku. Aku juga ingin berbicara dengannya mengenai Ilaria; begitu banyak yang ingin kudiskusikan bersamanya, namun segalanya sudah terlambat.


Sekarang barangkali kau mengerti apa yang kukatakan di awal: kepergian orang-orang dalam hidup kita tidak memberati kita seperti halnya kata-kata yang tak sempat terucapkan di antara kita dan mereka saat mereka meninggal dunia.


Seperti setelah kematian Ernesto, sesudah Augusto meninggal aku mencari penghiburan dalam agama. Aku baru saja berkenalan dengan seorang Yesuit Jerman yang beberapa tahun lebih tua dariku. Menyadari bahwa pelayanan-pelayanan religius selalu membuatku jengah, ia pun mengusulkan untuk bertemu di luar gereja.


Karena kami senang berjalan-jalan, kami memutuskan berjalan-jalan bersama. Ia menjemputku setiap Rabu sore dengan mengenakan sepatu hiking dan membawa ransel tua. Aku sangat menyukai wajahnya yang matang dan serius, wajah orang yang besar di gunung. Awalnya keberadaannya sebagai pastor membuatku malu-malu, apa pun yang kuceritakan kepadanya hanya setengah-setengah, aku takut membuatnya salah tingkah atau menghakimiku dengan semena-mena. Lalu pada suatu hari, ketika kami beristirahat di atas batu, ia berkata, "Kau menyakiti dirimu sendiri! Hanya dirimu sendiri." Sejak itu aku berhenti berbohong, kubuka hatiku kepadanya, dan itulah pertama kalinya aku membuka hatiku kembali semenjak kematian Ernesto. Aku terus bicara, sampai aku lupa bahwa yang berdiri di depanku adalah pastor. Berbeda dengan pastor mana pun yang pernah kutemui, ia sepertinya tidak mengenal satu pun kata hujatan ataupun penghiburan, ia sama sekali tidak menggunakan pesan-pesan murahan yang menggunakan kata-kata manis. Ia memiliki kekerasan yang awalnya bisa tampak mengganggu. "Hanya kepedihan yang membuat kita bertumbuh," katanya. "Tetapi kepedihan itu harus dihadapi, siapa pun yang menghindar atau mengasihani diri sendiri akan kalah."


Menang dan kalah, dua istilah militer yang digunakannya itu membantu melukiskan perjuangan batin tanpa suara yang dimaksudkannya. Menurut dia, hati manusia bagaikan tanah, separuh disinari Matahari, separuh lagi ada dalam bayangan. Bahkan para orang kudus pun tidak semuanya disinari Matahari. "Semata karena kita memiliki raga," katanya, "setengah dari diri kita berada di bawah bayang-bayang. Kita mirip katak, kita hewan amfibi, sebagian diri kita hidup di bawah sini, setengah lagi ingin ke atas."


"Hidup hanyalah soal menyadari hal ini, mengetahuinya, berjuang agar bayang-bayang gelap tidak menelan cahaya. Jangan percaya kepada orang-orang sempurna, orang-orang yang memiliki semua jawaban. Jangan percaya apa pun kecuali apa yang dikatakan hatimu." Ucapannya membuatku kagum, tak pernah aku bertemu orang yang menyatakan dengan begitu tepat apa yang selama ini bergolak dalam diriku. Kata-katanya membuat pikiranku kembali menciptakan wujud, di depanku serta-merta muncul jalan; dan kini menyusurinya tidak lagi tampak mustahil.


Biasanya di ranselnya ia membawa beberapa buku yang paling disukainya. Setiap kali kami berhenti beristirahat, ia membacakan sedikit dengan suaranya yang bening dan tegas. Lewat dirinya aku mengenal doa-doa para biarawan Rusia, seruan hati, aku memahami ayat-ayat kitab suci yang hingga saat itu tampak gelap bagiku. Bertahun-tahun semenjak kematian Ernesto aku memang telah melakukan perjalanan batin, namun perjalanan itu hanya sebatas kesadaran diri belaka. Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan itu aku menemukan diriku berdiri di depan dinding. Aku tahu di balik dinding itu ada jalan yang lebih terang dan lebar, tetapi aku tidak tahu bagaimana melewati dinding ini. Suatu hari ketika hujan turun tiba-tiba, kami berlindung di mulut goa. "Apa yang harus dilakukan seorang manusia agar ia bisa beriman?" tanyaku.


"Kau tidak melakukan apa-apa, iman itu akan datang sendiri padamu," jawabnya. "Iman itu telah ada padamu, namun kesombonganmu tidak membiarkan dirimu mengakuinya. Kau mengajukan terlalu banyak pertanyaan, kau membuat hal-hal sederhana jadi rumit. Nyatanya sebenarnya kau hanya terlalu takut. Kau harus pasrah, maka apa yang seharusnya datang akan datang dengan sendirinya."


Sekembalinya dari jalan-jalan bersama itu, aku selalu pulang dengan kebingungan yang semakin tidak menentu. Ia bisa begitu keras, seperti kataku tadi, dan kata-katanya melukaiku. Berulang kali aku memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Selasa sore datang dan aku berkata kepada diriku, nah, sekarang aku akan meneleponnya dan memberi tahunya untuk tidak datang besok karena aku sedang kurang enak badan, tapi aku toh tidak pernah meneleponnya. Rabu sore tepat pada waktu yang sama aku akan menunggu kedatangannya di pintuku, lengkap dengan ransel dan sepatu hiking.


Lebih dari setahun kami berjalan-jalan bersama seperti ini, hingga pada suatu hari superiornya mengirimnya ke tempat lain.


Apa yang kukatakan kepadamu mungkin membuatmu berpikir bahwa Padre Thomas ini orang yang sombong, bahwa ada emosi dan kefanatikan dalam kata-katanya, dalam caranya memandang dunia. Tetapi, sebenarnya ia sama sekali tidak seperti itu. Ia pribadi yang paling tenang dan lembut yang pernah kukenal, ia bukanlah laskar Tuhan. Jikalau ada mistisisme dalam kepribadiannya, ia seorang mistikus yang konkret, yang selalu mengacu pada realitas sehari-hari.


"Kita di sini, sekarang," ia selalu berkata itu kepadaku.


Di depan pintu ia memberiku selembar amplop. Di dalamnya ada kartu pos bergambar padang rumput pegunungan. Di atasnya ada tulisan "Kerajaan Allah ada di dalam dirimu" yang ditulis dalam bahasa Jerman dan di baliknya ia menulis, "ketika kau duduk di bawah pohon ek janganlah kau menjadi dirimu sendiri, melainkan jadilah pohon ek, di rumput jadilah rumput, di antara umat manusia jadilah seorang manusia".


Kerajaan Allah ada di dalam dirimu, kau ingat itu? Kata-kata ini telah menyentuh hatiku ketika aku hidup di L’Aquila sebagai mempelai wanita yang tidak bahagia. Ketika itu, ketika aku memejamkan mata dan memandang ke dalam, aku tidak melihat apa pun. Setelah aku bertemu Padre Thomas, sesuatu berubah. Aku masih juga tidak melihat apa-apa, tetapi aku tidak benar-benar buta lagi, seberkas cahaya mulai berkeriap di kedalaman sana, sesekali aku bisa melupakan diriku sejenak. Cahaya itu kecil dan lemah, sepercik cahaya samar yang mudah sekali dimatikan. Namun, fakta bahwa cahaya itu ada di sana itulah yang membuatku merasa ringan; apa yang kurasakan bukanlah kegembiraan, melainkan kebahagiaan. Tidak ada eforia atau sorak-sorai, aku tidak merasa bijaksana ataupun tinggi. Kesadaran mengenai keberadaan diriku itulah yang tumbuh di dalam diriku.


Rumput di antara rumput, pohon ek di bawah pohon ek, pribadi di antara pribadi yang lain.


***

20 Desember


DENGAN ditemani Buck, pagi ini aku pergi ke loteng. Berapa tahun sudah aku tak pernah ke sana? Di mana-mana ada debu, dan sarang laba-laba besar membentang di sudut-sudut tiang penyangga. Ketika aku membongkar kotak-kotak dan kardus, aku menemukan dua atau tiga sarang ghiro. Binatang-binatang itu tertidur pulas sampai tidak menyadari apa-apa. Anak-anak senang ke kamar loteng seperti ini, tapi tidak demikian bila kau telah tua. Segala sesuatu yang tadinya misterius, penuh petualangan dan penemuan, telah menjadi kenangan yang menggetirkan.


Aku mencari-cari goa Natal lengkap dengan patung-patungnya. Setelah membuka beberapa kotak dan dua koper besar, barulah aku menemukannya.


Aku juga menemukan mainan Ilaria dan boneka kesayangannya, semuanya terbungkus koran dan kain tua.


Di bagian bawah aku menemukan serangga Augusto, masih mengilap dan terpelihara dengan sempurna, lengkap dengan kaca pembesar dan perlengkapannya yang lain. Di dekatnya ada kaleng manisan berisi surat-surat Ernesto, semuanya terikat pita merah. Tak ada barang-barang milikmu. Kau masih muda dan sarat kehidupan, kamar loteng ini belum lagi menjadi tempatmu.


Aku membuka beberapa bungkusan kecil di salah satu koper dan menemukan beberapa benda di masa kecilku sendiri, yang berhasil diselamatkan dari runtuhan rumah kami. Benda-benda itu gosong dan kehitaman, dan aku mengeluarkannya seolah semua itu peninggalan orang suci. Hampir semuanya benda-benda dapur-baskom, wadah gula dari porselen putih-biru, peralatan makan dari perak, cetakan kue, dan halaman-halaman lepas dari buku yang telah kehilangan sampulnya. Buku apakah itu? Aku tak ingat lagi. Hanya ketika dengan hati-hati aku mengangkat dan membuka halaman-halamannya, barulah segalanya kembali ke benakku. Aku menjadi sangat emosional karena buku itu bukan sembarang buku tua, melainkan buku kesayanganku semenjak aku masih kecil, buku yang dulu selalu membuatku bermimpi lebih dari buku yang lain. Judulnya Le Meraviglie del Duemila, buku fiksi ilmiah. Kisahnya sederhana, namun kaya imajinasi. Pada akhir abad ke-19 dua ilmuwan yang penasaran apakah kemajuan yang telah diramalkan orang akan benar-benar terjadi di masa depan, akhirnya membuat diri mereka tertidur hingga akhir tahun 2000. Tepat setelah satu abad berlalu, cucu teman mereka, yang juga ilmuwan, mencairkan mereka, dan mengajak mereka berkeliling dunia naik piring terbang. Tak ada makhluk maupun pesawat luar angkasa dalam kisah ini. Semua yang terjadi semata-mata hanya berkaitan dengan nasib manusia, nasib yang telah diciptakannya dengan tangannya sendiri. Dan menurut si penulis, dalam kurun waktu satu abad itu manusia telah melakukan banyak hal dan semuanya luar biasa. Tak ada lagi kelaparan maupun kemiskinan di dunia karena ilmu dan teknologi telah menemukan cara untuk menyuburkan setiap jengkal tanah dan-lebih penting lagi-telah memastikan hasilnya dibagikan merata kepada seluruh penduduk Bumi.


Banyak mesin telah membebaskan manusia dari beban pekerjaan. Kini ada banyak waktu luang sehingga setiap manusia dapat memupuk bagian paling mulia dalam dirinya masing-masing. Setiap sudut Bumi sarat dengan musik, puisi, dan diskusi filsafat yang tenang serta mendalam. Seolah semua ini belum cukup, berkat piring terbang manusia dapat berpindah dari satu benua ke benua lain kurang dari satu jam. Kedua ilmuwan tua itu tampaknya cukup puas: semua yang telah mereka ramalkan telah menjadi kenyataan. Sambil membuka-buka halaman buku itu aku menemukan gambar yang paling kusukai, yaitu dua ilmuwan perkasa dengan jenggot model Darwin dan rompi kotak-kotak, memandang senang dari piring terbang mereka.


Untuk menghilangkan segenap keraguan, salah satu ilmuwan itu memberanikan diri bertanya tentang hal yang paling mengusik hatinya, "Bagaimana dengan para anarkis, kaum revolusioner?" tanyanya. "Apakah mereka masih ada?" "Tentu saja masih," jawab pendamping mereka tersenyum. "Mereka hidup di kota khusus untuk mereka. Kota itu dibangun di bawah es di Kutub, hingga mereka tak bisa melukai orang lain kalaupun mereka ingin melakukannya."
"Dan para tentara?" bergegas yang satu lagi bertanya. "Mengapa kami tidak melihat satu pun tentara?"


"Tentara tak ada lagi," jawab si anak muda.


Kedua ilmuwan itu pun menarik napas lega karena akhirnya manusia kembali ke sifat dasarnya yang baik! Namun, kelegaan mereka hanya sebentar karena si pendamping berkata lagi, "Bukan, bukan itu alasannya. Manusia tidak kehilangan minatnya untuk merusak, mereka hanya belajar menahan diri. Tentara, meriam, dan bayonet, semua itu kini sudah tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya ada alat peledak kecil namun dahsyat. Berkat alat inilah perang kini tak ada lagi. Kau hanya perlu mendaki gunung dan menjatuhkan alat ini, maka dunia pun akan hancur berkeping-keping."


Anarkis! Kaum revolusioner! Betapa banyak hal mengerikan di masa kanak-kanakku terkandung dalam dua kata ini. Mungkin sulit bagimu untuk memahaminya, tetapi ingatlah bahwa aku berumur tujuh tahun ketika Revolusi Oktober pecah. Aku mendengar orang dewasa berbisik mengenai hal-hal mengerikan. Salah seorang teman sekolahku mengatakan orang-orang Kosak sebentar lagi akan mencapai Roma, dan di sana mereka akan memberi minum kuda mereka di air-air mancur suci. Bayangan-bayangan ini membuat benak kanak-kanakku ketakutan: di malam hari saat menjelang tidur aku bisa mendengar suara sepatu kuda mereka berlarian dari Balkan.


Siapa yang mengira bahwa aku akan terus hidup untuk menyaksikan kengerian-kengerian yang berbeda, yang jauh lebih mengerikan daripada kuda-kuda yang berlarian di jalan-jalan Roma! Saat masih kecil aku membaca buku itu, aku membuat hitungan yang rumit untuk mengetahui apakah aku akan bisa mencapai tahun 2000.


Sembilan puluh tahun tampaknya sangat jauh bagiku, tetapi bukan mustahil untuk dicapai. Seluruh gagasan ini agak memabukkan, aku merasa sedikit sombong terhadap semua yang tidak hidup cukup lama untuk dapat menyaksikan abad ke-21.


Namun sekarang ketika kita hampir tiba di tahun itu, aku tahu aku takkan menyaksikannya. Aku tidak merasakan penyesalan ataupun nostalgia apa pun, aku hanya merasa sangat lelah. Dari semua kehebatan yang dijanjikan oleh bukuku, aku baru melihat satu yang menjadi kenyataan, yakni alat peledak mungil dan dahsyat itu. Aku tidak tahu apakah setiap orang yang hampir tiba di penghujung kehidupannya sekonyong-konyong merasa dirinya telah hidup terlalu lama, melihat terlalu banyak, dan merasakan terlalu banyak. Ketika aku memikirkan kurun waktu nyaris seabad yang telah kulewati, kesan yang kudapat adalah entah bagaimana waktu mulai berjalan lebih cepat. Tapi mungkin orang yang hidup di Zaman Batu pun merasakan hal yang sama, entahlah. Panjangnya hari masih sama, panjangnya malam masih lebih panjang atau lebih pendek dibandingkan dengan siang, panjangnya siang tergantung pada musim. Semua itu tidak berubah sejak Zaman Batu. Matahari terbit dan terbenam. Kalaupun ada perubahan secara astronomis, perubahan itu sangatlah kecil.


Namun, aku merasa semuanya serba cepat sekarang. Dalam perjalanan waktu banyak hal telah terjadi, sejarah selalu membidikkan berbagai peristiwa bagi kita. Pada akhir setiap hari kau merasa lebih lelah dan pada akhir hidupmu kau kehabisan tenaga. Coba pikirkan tentang Revolusi Oktober dan komunisme! Aku melihat kemunculannya, aku tak bisa tidur karena memikirkan kaum Bolshevik; aku melihatnya menyebar ke banyak negara dan memecah dunia menjadi dua belahan besar-putih dan hitam terus berperang-dan perseteruan ini membuat kita semua menahan napas: senjata peledak itu ada, bahkan pernah dijatuhkan dan dapat dijatuhkan lagi kapan saja. Lalu tiba-tiba, pada suatu hari yang tidak berbeda dengan hari yang lain, aku menyalakan televisi dan melihat semua itu telah berakhir, mereka menghancurkan tembok, pagar, dan patung-patung. Dalam waktu kurang dari satu bulan utopia besar abad itu berubah menjadi dinosaurus. Dinosaurus itu sekarang sudah dibalsem, tidak berbahaya dan tidak bergerak, berdiri di tengah-tengah ruangan, dan semua orang lewat di depannya dan berkata, "Betapa besarnya, betapa mengerikannya!"


Yang kumaksud adalah komunisme, tetapi bisa saja aku membicarakan hal-hal lain, begitu banyak yang telah kulihat dan tak satu pun yang tersisa. Mengertikah kau sekarang mengapa aku mengatakan waktu mulai berjalan lebih cepat? Apa yang bisa terjadi pada sebuah kehidupan pada Zaman Batu? Musim hujan, musim salju, musim panas bersamaan dengan serangan serangga yang mengejutkan, beberapa perang berdarah dengan tetangga jahat, mungkin juga meteor kecil jatuh ke Bumi dan menciptakan kawah berasap. Tak ada apa-apa lagi di seberang lingkup hidupmu sendiri, atau di seberang sungai; mengingat luasnya dunia belum diketahui, maka tentu saja waktu berjalan lebih lambat.


"Semoga kau hidup dalam tahun-tahun yang kaya," demikianlah orang-orang China berkata. Apakah ini ucapan yang penuh kebaikan, cara untuk mendoakan keselamatanmu? Aku tak yakin, bagiku ucapan itu lebih mirip kutukan. Tahun-tahun yang kaya justru adalah tahun-tahun menggelisahkan, saat banyak sekali hal terjadi. Aku telah menghayati tahun-tahun paling kaya, tetapi tahun-tahun yang akan kau alami mungkin bahkan lebih kaya lagi. Pergantian milenium mungkin hanyalah rutinitas astronomikal, namun sepertinya selalu menimbulkan peristiwa yang menghancurkan dunia.


Pada tanggal 1 Januari 2000 burung-burung di pepohonan akan terbangun pada jam yang sama seperti pada tanggal 31 Desember 1999. Mereka akan bernyanyi dengan cara yang sama, dan selesai bernyanyi mereka akan mencari makan, sama seperti sehari sebelumnya. Namun, berbeda dengan manusia. Mungkin-jikalau penghukuman yang diramalkan belum tiba-manusia akan memenuhi diri mereka dengan niat baik untuk membangun dunia yang lebih baik. Mungkinkah akan demikian? Bisa jadi, tapi mungkin juga tidak. Tanda-tanda yang tertangkap olehku berbeda dan bertolak belakang. Suatu hari tampaknya manusia hanyalah kera besar yang menjadi budak instingnya, yang sayangnya mampu menggunakan mesin canggih dan berbahaya. Namun, hari berikutnya aku mendapat kesan bahwa yang terburuk telah berlalu dan bagian yang lebih agung dari roh manusia akhirnya mulai muncul. Hipotesis manakah yang benar? Entahlah, mungkin tak satu pun dari keduanya, mungkin pada malam pertama abad ke-21, langit, yang ingin menghukum manusia karena telah bersikap tolol dan menyia-nyiakan kemampuannya, menjatuhkan hujan api dan batu yang mengerikan ke atas Bumi.


Pada tahun 2000 kau akan berusia 24 tahun dan menyaksikan semua itu, namun aku telah berpulang dan membawa serta rasa ingin tahuku bersamaku ke dalam kubur. Apakah kau akan siap? Apakah kau sanggup menghadapi era yang baru? Jikalau ada peri turun dari langit sekarang ini dan menyuruhku mengajukan tiga permintaan, tahukah kau apa yang akan kuminta?


Aku akan memintanya mengubahku menjadi ghiro, cincia (5), atau laba-laba rumah, pendeknya sesuatu yang bisa hidup di dekatmu tanpa terlihat. Aku tak tahu seperti apakah masa depanmu nanti, aku bahkan tak bisa membayangkannya. Namun, karena aku menyayangimu, ketidaktahuan ini membuatku menderita. Pada sedikit kesempatan kita berbicara tentang masa depanmu, kau tidak menganggapnya menyenangkan: karena masa remajamu yang tidak menyenangkan, kau pun percaya ketidakbahagiaan yang menyiksamu saat itu akan menyiksamu selamanya. Aku justru meyakini yang sebaliknya. Tetapi mengapa, kau mungkin bertanya-tanya, apa yang bisa membuatku memiliki gagasan gila ini? Buck, sayangku, selalu Buck sejak dulu. Karena ketika kau memilihnya di tempat penampungan itu, kau mengira kau hanya memilih seekor anjing dari antara anjing-anjing yang lain. Padahal, selama tiga hari itu sesungguhnya kau telah melakukan pergulatan batin yang jauh lebih besar di dalam dirimu sendiri, yaitu antara suara eksternal dan suara hati, dan tanpa keraguan sedikit pun, dengan yakin dan mantap, kau telah memilih suara hatimu.


Pada usia yang sama dengan usiamu saat itu, sangat mungkin aku akan memilih anjing cantik yang bulunya bercahaya, anjing yang paling bergengsi dan harum yang bisa kutemui, anjing yang bisa kuajak berjalan-jalan supaya orang-orang iri kepadaku. Kepribadianku yang lemah, lingkungan tempatku dibesarkan, telah menyerahkan diriku ke tangan tirani hal-hal eksternal.


***

21 Desember


SETELAH berjam-jam membongkar-bongkar di kamar loteng kemarin, akhirnya aku hanya membawa turun goa Natal beserta patung-patungnya dan cetakan kue yang selamat dari pengeboman. Goa Natal mungkin masih masuk akal, kau akan berkata, sekarang toh sudah menjelang Natal, tetapi cetakan kue itu untuk apa? Cetakan ini milik nenekku, jadi nenek buyutmu, dan itulah satu-satunya benda yang tersisa dari seluruh sejarah perempuan keluarga kita. Karena tersimpan lama di kamar loteng, benda ini penuh karat. Jadi, segera saja aku membawanya ke dapur, meletakkannya di bak cuci dan mencoba mencucinya dengan menggunakan tanganku yang masih sehat dan penggosok yang sesuai. Bayangkan, berapa kali selama ini benda itu telah keluar-masuk oven, berapa oven berbeda dan selalu lebih modern yang telah ia saksikan, berapa banyak tangan berbeda, namun toh sama yang telah mengisinya dengan adonan. Kali ini aku membawanya turun agar ia hidup lagi, agar kau dapat menggunakannya, dan mungkin, pada giliranmu kau akan meninggalkannya untuk digunakan oleh anak-anak perempuanmu, karena sejarah cetakan kue sederhana ini merangkum dan mencerminkan sejarah generasi-generasi dalam keluarga kita.


Begitu aku melihat benda ini di dasar koper, aku teringat saat membahagiakan terakhir kita. Kapankah itu? Setahun yang lalu, mungkin lebih. Sore itu kau datang ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Aku sedang berbaring di ranjang dengan tangan tertangkup di dada. Melihatku seperti itu kau pun menangis sedih sekali. Isakanmu membuatku terbangun. "Ada apa?" tanyaku seraya beranjak duduk. "Ada apa?" "Sebentar lagi kau akan mati," sahutmu seraya menangis lebih keras. "Ya Tuhan, kuharap tidak secepat itu," kataku, tertawa. Lalu tambahku, "Tahukah kau? Aku akan mengajarimu sesuatu yang aku bisa tapi kau belum bisa. Dengan begitu kalau aku telah tiada kau bisa melakukannya dan ingat kepadaku." Aku turun dari tempat tidur dan kau memelukku. Emosi mulai menguasaiku juga, jadi untuk menenangkan diri kita, aku berkata, "Jadi, apa yang ingin kau pelajari dariku?" Sambil mengusap air mata kau berpikir sejenak lalu berkata, "Kue." Jadi kita pergi ke dapur dan memulai pergulatan yang panjang. Pertama-tama kau tak ingin mengenakan celemek. Katamu, "Kalau aku mengenakannya aku harus memakai gulungan rambut dan sandal juga. Mengerikan!" Lalu setelah mengocok putih telur pergelangan tanganmu pegal, dan kemudian kau marah karena menteganya tidak mau menyatu dengan kuning telurnya, dan ovennya tak cukup panas juga. Ketika aku menjilat sendok kayu yang habis kupakai mengaduk cokelat, di hidungku tertinggal noda cokelat. Melihat itu kau pun tertawa terbahak-bahak. "Hih, memalukan!" katamu. "Padahal, kau sudah tua begini! Lihat hidungmu cokelat seperti hidung anjing!"


Kita menghabiskan seharian itu membuat kue sederhana dan membuat dapur berantakan. Tiba-tiba saja segalanya menjadi ringan dan mudah di antara kita, kita menjadi sepasang manusia yang bahagia. Namun, ketika adonan kue itu akhirnya masuk ke oven, ketika dari balik kaca kau melihatnya pelan-pelan berubah cokelat, tiba-tiba kau teringat mengapa kita membuat kue ini dan kau pun mulai menangis lagi. Sambil berdiri di depan oven aku mencoba menghiburmu. "Jangan menangis," kataku, "memang benar aku akan pergi mendahuluimu, tapi meskipun aku telah tiada, aku toh tetap ada di sini, hidup dalam dirimu dan dalam kenanganmu yang indah. Ketika kau melihat pepohonan, kebun, bunga-bungaan, dalam pikiranmu pun akan muncul kembali saat-saat membahagiakan yang kita alami bersama.


(5) sejenis burung parkit



Hal yang sama akan terjadi jika kau duduk di kursiku, dan jika kau membuat kue yang hari ini telah kuajarkan kepadamu; kau akan melihatku di depanmu dengan hidung bernoda cokelat.


***

22 Desember


SESUDAH sarapan hari ini, aku pergi ke ruang duduk dan mulai mengatur goa Natal itu di tempat yang biasa, di dekat perapian. Mula-mula aku menggelar kertas hijau, lalu aku mengatur lumut keringnya, pohon-pohon palem, kandangnya dengan Maria dan Yusuf, lembu, dan keledai di dalamnya, serta di sekitarnya aku meletakkan para gembala, para wanita penggembala angsa, peniup seruling, babi-babi, para nelayan, ayam-ayam, domba, dan kambing. Dengan selotip kupasangkan kertas biru sebagai langit di atasnya. Kuselipkan bintang timur di saku kanan gaun tidurku, sedangkan di saku kiri kumasukkan ketiga orang Majus. Setelah itu aku menyeberangi ruangan dan menggantungkan bintangnya di atas bufet, dan di bawahnya, agak jauh, kuatur para orang Majus di atas unta-untanya.


Apakah kau masih ingat? Ketika kau masih kecil, dengan logika khas kanak-kanak, kau akan marah jika sejak awal bintang dan ketiga orang Majus sudah berada di dekat palungan. Mereka seharusnya masih jauh dan baru pelan-pelan maju mendekati palungan, bintangnya sedikit di depan dan ketiga raja itu mengikuti di belakangnya. Demikian juga kau tidak setuju jika bayi Yesus sejak semula telah berada di palungan. Karenanya, kita membuatnya turun ke kandang persis pada tengah malam tanggal 24 Desember. Sementara aku mengatur letak domba-dombanya, aku teringat sesuatu yang sering kau lakukan dengan goa Natal itu, permainan yang kau ciptakan sendiri dan tak bosan-bosannya kau ulangi. Kurasa inspirasinya kau dapatkan dari Paskah sebab pada hari Paskah aku selalu menyembunyikan telur warna-warni di kebun. Di hari Natal, sebagai ganti telur, kau menyembunyikan domba-domba kecil itu. Kalau aku tidak melihat, kau akan mengambil satu domba dan menyembunyikannya di tempat-tempat yang paling sulit diduga. Setelah itu kau mendatangiku dan mulai mengembik dengan suara memelas. Maka, pencarian pun dimulai dan aku akan meninggalkan apa pun yang sedang kulakukan, lalu masuk-keluar ruangan sambil terus berkata, "Di manakah kau, domba kecil yang tersesat? Bantulah aku menemukanmu, aku akan menjagamu, kau akan aman." Kau terus mengikutiku, tertawa dan mengembik-embik.


Dan sekarang, domba kecil, di manakah kau? Ketika aku menulis begini, kau berada di sana di antara coyote dan kaktus. Ketika nanti kau membaca tulisanku, kemungkinan kau berada di sini dan barang-barang milikku telah ditaruh di kamar loteng. Apakah kata-kataku telah membawamu ke tempat yang aman? Aku tidak cukup pongah untuk mempercayai hal itu, mungkin kata-kataku malah membuatmu jengkel, kata-kata itu bahkan meneguhkan gagasan buruk yang telah kau miliki tentang diriku sebelum kau berangkat. Mungkin kau hanya dapat memahamiku setelah kau dewasa, setelah kau selesai meniti perjalanan penuh misteri yang membimbingmu dari kekerasan menuju belas kasih.


Belas kasih, kataku, bukan sikap mengasihani! Jikalau kau mengasihani diriku, maka aku akan kembali sebagai roh jahat dan menyusahkanmu. Aku akan melakukan hal yang sama jika kau hanya bersikap sopan dan bukannya sungguh-sungguh rendah hati, atau jika kau malah mencerocoskan omongan-omongan kosong dan bukannya berdiam diri. Bohlam lampu akan meledak, piring-piring akan beterbangan dari rak, pakaian dalammu akan menutupi kap lampu, dan aku takkan membiarkan dirimu tenang sejak subuh hingga larut malam.


Tetapi semua itu tidak benar, sesungguhnya aku tidak akan melakukan apa-apa. Jikalau berada di suatu tempat, jika entah bagaimana aku bisa melihatmu, aku hanya akan merasa sedih, seperti aku pun akan sedih setiap kali aku melihat suatu kehidupan disia-siakan, kehidupan yang tidak dapat merampungkan perjalanannya menuju cinta. Jagalah dirimu. Saat usiamu bertambah, kau mungkin terdorong untuk mengubah sesuatu, mengubah yang keliru menjadi benar, namun setiap kali dorongan itu muncul, ingatlah bahwa perubahan paling penting pertama yang harus dilakukan ada di dalam dirimu sendiri. Berjuang untuk suatu gagasan tanpa terlebih dulu mengenal dirimu sendiri adalah hal paling berbahaya yang bisa dilakukan manusia.


Setiap kali kau merasa tersesat dan bingung pikirkanlah pepohonan, ingatlah bagaimana mereka tumbuh. Ingatlah bahwa pohon yang memiliki banyak dahan namun hanya sedikit akar akan tumbang terkena empasan angin pertama, sementara pohon yang memiliki banyak akar namun sedikit dahan akan selalu memiliki cukup sari makanan. Akar dan dahan haruslah tumbuh seimbang, kau harus tinggal di dalam hal-hal dan di atas hal-hal sebab hanya dengan demikianlah kau dapat memberikan kerindangan dan perlindungan, hanya dengan demikianlah kau dapat menghasilkan daun dan buah-buahan pada musim yang tepat.


Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus diambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah dan pergilah ke mana hati membawamu.



--==-==--

sumber dari koran KOMPAS tahun 2004

::

::

Tidak ada komentar: